Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mempolitisir Kebo, dan mengkebokan politik.

7 Februari 2010   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebo dan politik ? Bagaimana mungkin kebo ( kerbau ) bisa masuk ranah atau wacana politik ? Dan bagaimana pula politik bisa dikebokanatau diperlakukan seperti kebo.

Oh ya. Kebo adalah bahasa Jawa untuk Kerbau. Mengapa saya menggunakan kebo ? Bukan lantaran itukarena bahasa ibu ( mother tongue ) saya, tetapi penggunaan kata itu mengingatkan saya pada beberapa fakta sejarah ketika kebo dijadikan alat politik. Yang pertama adalah pada jaman Ken Arok sedang mewujudkan impiannya mendirikan Singasari. Ia memperalat temannya – Kebo Ijo – menjadi alat politik. Kebo Ijo, adalah nama dan bukan kerbau sebenarnya. Tetapi kelakuannya dan boleh jadi kebodohannya menginspirasi Ken Arok menjadikan alat politik, menutupi kecurangannya. Sebagaimana dikisahkan, dalam Sandyakalaning Majapahit, sebelum membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok meminta Empu Gandring membuat keris. Karena ketidak sabarannya, iapun membunuh Empu sakti itu yang kemudian mengutuk akan terjadinya bunuh membunuh sepanjang tujuh turunannya Ken Arok. Segera setelah mendapatkan senjata sakti itu, Keris dititipkannya kepada Kebo Ijo yang suka banyak omong dan ‘belagu’. Kebo Ijo yang buta politik itu memerkan keris itu sebagai miliknya kemana mana. Maka ketika suatu malam Tunggul Ametung dibunuh dengan keris Empu Gandring, Kebo Ijo lah yang menjadi tertuduh. Dengan alasan keamanan dan balas dendam, Ken Arok segera membunuh si Kebo Ijo, sebelum sempat membela diri. Maka dengan memperalat Kebo Ijo, Ken Arok yang sesungguhnya adalah pembunuh Tunggul Ametung segera menggantikan menjadi Akuwu dan kelak mendirikan Singasari.

Menjadikan Kebo alat politik, juga dilakukan Jaka Tingkir ketika harus kembali menjadi Komandan prajurit Demak. Dalam kisah Jaka Tingkir, kebonya adalah kebo betulan. Tetapi sebagai alat politik, kebo yang semula biasa biasa saja itu dijadikan gila dan suka mengamuk. Yang membuat mengamuk sesungguhnya adalah Ki Ageng Pengging Sepuh, ayah Jaka Tingkir. Dibuatnya kebo yang semula jinak itu menjadi liar dan mengamuk membahayakan penduduk. Tidak ada yang berhasil mengalahkannya. Maka Sultan Demakpun, atas nasehat Pengging Sepuh mengadakan sayembara. Barangsiapa, bisa menjinakkan si kebo, maka akan diangkat menjadi komandan pasukan elit kerajaan. Maka, sebagaimana sudah diatur, tampillah Jaka Tingkir. Dengan mudah ia dapat menundukkan si Kebo. Dengan begitu iapun masuk ranah politik Demak dan dikedian hari mendirikan kesultanan Pajang.

Oh iya, di lingkungan keraton Surakarta juga ada kebo. Ia diberi nama Kiai Slamet. Setahun sekali ia diarak keliling keraton untuk mengantisipasi bencana. Rakyatpun takzim mengiringinya dalam rangka mengalap berkahnya Kiai Slamet. Hingga kini Kiai Slamet dan keluarganya masih bisa dijumpai hidup dengan bebas di sebuah lapangan dekat komplek kraton. Bayangkan, kebonya saja sakti apalagi rajanya.

Terakhir adalah mengenai Kebo dari Bekasi yang oleh demonstran dinamakan Si BuYa. Si Kebo yang nggak bisa baca tulis dan bahkan, maaf, telanjang bulat itu menjadi terkenal. Televisi kembali menayangkannya. Koran mengupasnya. Media luar negeri juga ada yang memuat gambarnya.  Juga di sini di Kompasiana banyak tulisan mengenainya. Kebo Si BuYa tiba tiba memasuki ranah politik. Kenapa ? Karena orang nomor satu di negeri ini membahasnya. Pak Susilo kelihatan gundah dengan diikut ikutkannya Kebo dalam demonstrasi yang dirasa melecehkannya. Karena diwawancari wartawan pakar dan pengamat politik memberikan komentar. Politisipun ikut menanggapinya. Kebo, di era demokrasi dan reformasi, akhirnya bisa jadi alat politik.

Lantas bagaimana dengan mengkebokan politik ? Kebo, sebagaimana pak Presiden tersinggung, memang sering dikaitkan dengan kebodohan dan kelambanan. Di kampung saya masih ada orang yang menggunakan ungkapan “ Bocah kok bodo koyo kebo “. Anak kok bodohnya seperti kerbau. Di kampung saya juga, Kebo itu masuk kategori hewan yang mudah diatur. Makanya da juga peribahasa " bagai kerbau dicucuk hidung". Kerjanya, kalau tidak lagi dipaksa kerja menarik bajak, ya cuma makan, kemudian santai dan tidur tiduran atau berendam. Maka karena kegemarannya bermalas malasan berendam di lumpur lahir pula peribahasa “ Ojo cedak Kebo Gupak” ( jangan dekat kerbau yang berlumuran kotoran atau lumpur ). Hati hati ketularan kotornya.

Dalam prakteknya politik atau proses politik sering dikebokan, bukan ? Proses politik di buat bagai Kerbau yang harus menarik beban tertentu. Atau dibuat gila seperti jamannya Jaka Tingkir. Atau dijadikan alat seperti Kebo Ijo.

Jadi begitulah. Mempolitisir Kebo, mengkebokan politik.

Opo Tumon ?

Salam Hangat di Minggu Siang.

Kabul Budiono

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun