Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Jurnalis - Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Memotret Pidato Calon Presiden

4 Juni 2014   06:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa saat acara pengundian dan penetapan nomor urut untuk pemilihan presiden Juli mendatang di kantor KPU, Jakarta Pusat, 1 Juni 2014. Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut satu sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla nomor urut dua. (TRIBUN / HERUDIN)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa saat acara pengundian dan penetapan nomor urut untuk pemilihan presiden Juli mendatang di kantor KPU, Jakarta Pusat, 1 Juni 2014. Pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan nomor urut satu sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla nomor urut dua. (TRIBUN / HERUDIN)"][/caption]

“It usually takes me more than three weeks to prepare a good impromptu speech,“ Mark Twain mengatakan ini untuk melukiskan bahwa pidato tanpa naskah (impromptu) sungguh tidak mudah. Novelis Amerika yang terkenal dengan karyanya Adventure of Huckleberry Finn ini menyatakan perlu 3 minggu untuk mempersiapkan pidato tanpa naskah dengan baik.

Berpidato dalam waktu sangat terbatas, bukan sesuatu perbuatan yang mudah. Apalagi jika harus dilakukan tanpa naskah. Melalui pidato singkat padat pembicara diharapkan mampu menyampaikan pesan secara jelas kepada khalayak atau audience. Karenanya sebagaimana dikatakan penulis terkenal itu, diperlukan persiapan yang cukup. Selain persiapan, kematangan dan cara menyampaikannya juga sangat menentukan apakah seorang pembicara dapat menyampaikan isi pesan dengan baik serta dapat meyakinkan khalayaknya.

Di negara negara maju, pidato juga digunakan untuk menunjukkan kematangan seorang calon pemimpin atau yang sudah jadi pemimpin. Masyarakat di negara maju itu menilai bahwa kepribadian, intelektualitas, dan kematangan seseorang dapat dilihat dari caranya berbicara atau berpidato. Pidato di radio dan televisi, termasuk orasi awal ketika debat publik atau cara berdebat karenanya selalu diadakan, antara lain untuk menilai cara berpikir serta strategi komunikasi seorang calon pemimpin. Karena itu di Amerika Serikat misalnya, diperlukan tim bagi para calon Presiden, Gubernur bahkan juga walikota yang bertugas memberikan masukan dan membimbing cara berpidato yang baik. Walaupun si calon itu memang sudah punya potensi dan pengalaman cukup sebagai pemimpin, politisi atau orator. Ada tim penyusun naskah pidato dan ada pula tim konsultan cara menyampaikan pidato. Pertanyaannya, bagaimana dengan di Indonesia.

Pada kenyataannya, sering sekali kita menemukan orang-orang yang berpidato. Namun dari sekian banyak pidato itu, tidak sedikit yang sulit dipahami maksudnya dengan cepat. Bahkan hampir selalu, banyak di antara hadirin yang mengantuk. Pun ketika pidatonya tidak panjang pesan yang disampaikan tidaklah sampai sesuai harapan.

Sampai saat ini, sejauh yang saya pernah saksikan atau dengar, belum ada seorang pun yang mampu berpidato seperti Bung Karno. Tidak hanya di dalam negeri pidatonya menarik dan mampu menginspirasi rakyat, tetapi di luar negeri juga diakui. Padahal Bung besar itu tidak pernah menggunakan naskah lengkap dalam setiap pidatonya. Presiden yang juga digelari Pemimpin Besar Revolusi itu boleh jadi selalu menggunakan metode extempore, yaitu menuliskan poin-poin penting saja. Yang saya yakini bernaskah adalah ketika membacakan teks Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Saya sempat membaca beberapa pidato Bung Karno yang ada dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi yang sempat dibawa Mas tertua saya yang ketika itu kuliah di Universitas Gajahmada. Juga beberapa transkrip pidato dalam bentuk naskah buku yang dimiliki Mas kedua saya yang lain yang kebetulan menjadi guru mata pelajaran CIVIC di SMP di kota kecil saya. Pada era Reformasi, saya beruntung karena dapat mendengar beberapa rekaman pidato presiden pertama kita. Diksi, intonasi, dan aksentuasinya memang luar biasa. Bung Karno memang orator luar biasa. He is really a great man within the time.

Kembali pada pidato pendek.

Untuk pidato pendek apalagi dalam acara yang resmi, nilai pidato seseorang dapat dilihat setidaknya dari 3 hal. Pertama adalah cara ia mengonstruksi pesan. Apakah sesuai dengan tema acara atau kegiatan. Ketika acara Deklarasi Pemilu Damai misalnya, maka isi pesan mestinya sesuai dengan makna kegiatan itu. Yaitu menggariskan pentingnya damai dalam Pemilu serta mengajak siapa pun untuk tidak mencederai pesta demokrasi ini. Pesan itu harus dapat dikemas secara singkat dan sistematis melalui kata-kata dan ungkapan padat yang menstimuli pendengar atau pemirsa. Kedua adalah gestur atau body language. Bahasa tubuh apalagi jika dilihat gambarnya, cukup berpengaruh pada persepsi atau penilaian khalayak. Bahasa tubuh ini juga berhubungan dengan mimik wajah. Lantas yang ketiga adalah ketenangan. Seseorang yang terkena demam panggung atau stage anxiety sangat nampak dalam tampilannya. Bagaimana ia bangkit dari tempat duduk, menempatkan diri di podium serta mengakhiri pidato serta kembali ke tempat duduk. Apa yang dilakukannya pertama kali saat duduk mencerminkan bagaimana ia melepaskan ketegangannya.

Masyarakat Indonesia boleh jadi, maaf sebagian di antaranya, belum terbiasa untuk menilai orang dari caranya berbicara dan berpidato. Termasuk mencoba menangkap isyarat dari isi dan cara berpidato dari kedua calon Presiden, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo, seusai penandatanganan prasasti Deklarasi Pemilu Damai dan Berintegritas.

Sangat boleh jadi sebagian di antara kita sekarang ini memang tidak menilai penting isi dan cara berpidato seseorang walaupun itu adalah calon presiden di negara besar ini. Saya jadi ingat pada masa dekade-dekade awal kemerdekaan.

Ketika itu saya masih di bangku awal sekolah dasar. Rakyat Indonesia di desa-desa termasuk ibu saya, selalu berusaha mendengarkan radio saat Pak Karno berpidato. Dari pidato-pidatonya itu ibu saya sangat kagum kepada presidennya itu dan menilainya sebagai pemimpin yang punya gagasan-gagasan besar. Karenanya ketika berita RRI menyatakan Bung Karno wafat ibu saya tidak percaya pada awalnya. Dan ketika sudah yakin bahwa pemimpin besarnya itu meninggal dunia, ibu saya meneteskan air mata. Air mata untuk seorang yang belum pernah sama sekali ia lihat secara langsung dan hanya ia dengar suaranya, setidaknya setahun sekali. Sebagaimana penduduk desa lainnya, ibu saya berkeyakinan kebesaran Bung Karno diketahui dari bagaimana cara ia berpidato.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun