Saat ini partai politik mulai bergerilya mencari tokoh-tokoh yang bisa diorbitkan sebagai votegather dalam pemilihan umum 2024.Â
Partai politik memilah-memilih kader-kader jagoannya untuk dijual ke publik nusantara dalam hajatan demokrasi. Kader-kader berprestasi di bidangnya menjadi primadona pemilih siap dipasang.
Dunia politik nasional selalu dikejutkan dengan anomali-anomali dari nalar politik para elitnya. Inilah pembelajaran yang sejati dari best practice jagat politik nasional.Â
Hendaknya tidak menjadi batu sandungan berikutnya siapa pun politisinya untuk tersandung oleh kasus hukum.
Perlu belajar dari seorang sarjana Jerman yang kemudian aktif dalam bisnis dan mengakhiri karirnya dalam politik, mengatakan sebaiknya karir seorang dibagi tiga, yaitu: bagian pertama kehidupan intelektual, bagian kedua kehidupan bisnis dan bagian ketiga memenuhi kehidupan politik (Ismail Sunny, Mencari Keadilan, Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982: 53).
Biaya politik yang tinggi menyebabkan lahirnya koruptor dari rahim politik di Indonesia, sudah berapa catatan praktik politik yang penuh dengan korupsi menjerat generasi muda yang terjun dalam dunia politik.
Demikian juga generasi senior, maka kearifan membangun basis intelektual sebelum terjun ke dunia politik praktis menjadi modal.
Selain itu, menguasai seluk-beluk dunia politik secara akademik maupun autodidak dan kemudian membangun bisnis sebagai pundi-pundi rupiah agar kelak pada waktunya berkiprah dalam dunia politik yang penuh dengan dinamika, maka korupsi bisa diminimalisir.
Sistem politiklah yang akan bisa mengendalikan laju korupsi seakan tidak berkesudahan.
Sebab pada diri manusia ada dua kekuatan besar yang setiap saat dalam pengambilan keputusan dirinya akan selalu bertarung, yaitu kekuatan fujur dan taqwa, fujur merupakah ilham untuk melakukan kejahatan, perilaku menyimpang dan pelanggaran moral maupun hukum. Perilaku korup ada di dalamnya.