Mungkin Anda sudah membaca di berbagai media, ada seorang ibu yang hidup menggelandang meminta sedekah di beberapa kota di Jawa Barat. Ibu ini menjadi berita, karena beberapa warga sempat memviralkan video ibu itu yang sedang memaki-maki orang yang tidak memberinya sedekah. Berkacamata dan mengenakan pakaian yang baik dan bersih, ibu ini selalu terlihat menenteng beberapa kantong plastik yang agak besar. Menurut ibu itu, ia tidur di mesjid selama menggelandang dari satu kota ke kota lainnya. Beberapa hari lalu ia sudah dimasukkan oleh petugas ke panti rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan, karena diduga mengalami gangguan jiwa.
Bagi beberapa orang, mungkin tidak aneh melihat ibu dengan perangai pemarah itu, karena ada kerabatnya atau orangtuanya sendiri yang berubah menjadi pemarah setelah berusia lanjut. Biasanya mereka hanya memaklumi, karena dianggap sudah mulai pikun atau mengalami dimentia. Namun ibu ini tidak terlihat sudah berusia lanjut. Usianya hanya kira-kira di angka 50an saja. Belakangan terungkap usianya 56 tahun.
Apa yang terjadi dengan ibu itu?
Hasil investigasi yang dilaporkan media mengenai latar belakang ibu ini sejauh ini belum terlalu banyak. Belum banyak konfirmasi yang diberikan oleh orang-orang yang pernah mengenal ibu itu sebelumnya. Sementara menurut ibu itu, ia sudah menggelandang sepanjang beberapa tahun terakhir. Menurut warga di sebuah wilayah di Bandung, ibu itu pernah tinggal di wilayahnya sekitar 14 tahun lalu. Sehingga latar belakang ibu itu masih gelap.
Sebagai citizen scientist, sejak 2015 saya sudah menyimak dengan serius berbagai buku, artikel, video, ceramah, kuliah, news, seputar neuroscience yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir ini. Sudah ada ratusan artikel dan video yang saya bagikan untuk melaporkan semua perkembangan itu. Mungkin apa yang saya tulis di bawah ini bisa berguna untuk memahami fenomena yang sebenarnya ada di sekitar kita itu.
Otak dan Stress
Bukan mau menyederhanakan, tapi apa yang terjadi di otak memang menjadi akar dari Karakter, perilaku, personality, kecerdasan, moralitas, empati, dan lain-lain.
Bahkan kemampuan seseorang dalam Emotion Regulation bisa "diutak-atik" oleh neuroscientists di berbagai riset. Itu karena Emotion Regulation adalah soal bagaimana beberapa bagian penting di otak berinteraksi satu sama lain. Satu buku paling best seller di seputar topik Emotion Regulation adalah "Emotional Intelligence" yang ditulis oleh Daniel Goleman pada tahun 1995.
Ini lebih "sederhana" lagi: menurut neuroscience, stress adalah faktor paling utama yang mengubah otak dan mengubah fungsi utamanya. Otak berubah, gara-gara stress, lalu personality juga berubah, bahkan kecerdasan, kewarasan berubah ke arah negatif, juga kemampuan dalam Emotion Regulation.
Tentu bukan stress saja yang mengubah otak. Faktor lain yang mengubah otak, misalnya penyakit di otak seperti tumor, trauma (benturan) pada otak, atau juga trauma berat berupa kejadian, parenting, atau juga praktik "brain washing" yang terjadi di media sosial (medsos) tanpa banyak disadari oleh pengguna medsos. Juga faktor keturunan yang menentukan bagaimana otak berkembang di masa bayi, anak-anak, hingga dewasa.
Lalu, apa yang menyebabkan atau memicu stress? Cuma 2 sumbernya:
1. Dari luar diri Anda (apa terjadi di sekitar, atau terjadi menimpa Anda.
2. Dari dalam diri kita sendiri, yaitu dari pikiran kita yang cenderung menerawang kesana-kemari tanpa arah dan tanpa kita sadari serta tanpa kita bisa kendalikan. Para neuroscientists menyebut itu dengan mind-wandering.