Artikel ini sebuah sudut pandang berbeda seputar kajian pada parenting yang buruk, atau dampak memanjakan anak, atau juga anak yang dibesarkan dengan previlese yang lebih besar. Di mana akarnya?
Pernah dengar emotional intelligence atau sering disebut dengan EQ? Emotional Intelligence atau EQ dipopulerkan oleh Daniel Goleman di tahun 1995 melalui buku yang ditulisnya dengan judul yang sama (baca intisarinya di sini).
Menurut Goleman, emotional intelligence (EQ) itu sama penting seperti IQ. Untuk mencapai target atau tujuan, cita-cita yang kita idamkan atau sekedar hidup yang ideal kita membutuhkan IQ dan EQ sekaligus, karena EQ membantu kita "mendapatkan" lingkungan (kerja) yang sehat, bahagia atau kondusif, kata Daniel Goleman.
Di era buku itu diterbitkan (1995) masih belum banyak ada riset neuroscience seputar peran happiness pada kesuksesan. Belum banyak yang meyakini bahwa happiness menghasilkan otak yang berfungsi maksimal, sehingga menjadi modal besar untuk meraih sukses. Tanpa otak yang berfungsi maksimal, maka akan sulit menjadi tangguh, cerdas, penuh solusi, kreatif, inovatif, dll.
Daniel Goleman sejak muda sudah akrab dengan meditasi, sehingga tidak mengherankan jika ia mampu mengkaitkan kondisi emotions dengan prestasi atau kesuksesan dalam hidup. Bahkan sebelum buku "Emotional Intelligence" ia sudah menulis buku berjudul "The Meditative Mind" di tahun 1973. Hingga sekarang Daniel Goleman adalah penganjur meditasi yang gigih.
Apa sih emotional intelligence itu?
Salah satu artinya adalah kemampuan menyadari munculnya (adanya) emotions pada orang lain dan meresponnya secara tepat. Misalnya saat melihat orang lain takut, sedih atau menderita, maka kita meresponnya dengan menolongnya atau menghiburnya. Atau misal yang lain: saat melihat orang lain senang, maka kita respon dengan ikut merasa senang, bukan meresponnya dengan marah atau iri hati, atau malah menyerangnya.
EQ tentu bisa diajarkan atau dilatih, namun ada orang yang tidak mampu menyerap EQ meski diajarkan atau dilatih. Mereka sering disebut psychopath atau sociopath. Mereka sulit mengenali emotions orang lain, sehingga mereka tidak bisa merespon dengan tepat. Padahal kebanyakan orang mampu mempelajari dasar EQ secara natural (tidak diajarkan secara khusus). Itu sebabnya seorang psychopath mampu melakukan kekejaman yang tidak terbayangkan oleh orang normal.
Orang yang doyan melakukan flexing juga bisa disebut sebagai orang yang kurang memiliki EQ.