Sejarah itu berulang, katanya. Sejarah manusia dihiasi oleh kisah teknologi baru yang mengguncangkan peradaban. Era pertanian telah menghentikan kebiasaan manusia berpindah tempat dan akhirnya menetap di satu wilayah yang sama untuk berketurunan. Berbagai pemikiran yang lebih rumit pun mulai berkembang di masa itu, seperti pemikiran tentang agama, pemerintahan, sains, dll. Lalu era industri memindahkan orang-orang yang bekerja dari tanah pertanian ke pabrik-pabrik yang dimiliki pemodal.Â
Kemudian, kurang dari 10 ribu tahun sejak awal peradaban manusia, peradaban manusia akan terguncang lagi, karena AI bakal menggantikan otak manusia untuk berpikir, memiliki emosi, mencipta musik atau lukisan sekalipun, dan bahkan membuat keputusan besar, kompleks, dan berisiko tinggi. Lalu apa yang manusia kerjakan nanti?
Jika kita tidak beradaptasi pada situasi yang mengguncangkan itu, maka orang lain yang akan beradaptasi dan mendapatkan keuntungan dari setiap perubahan besar itu. Namun, "How do you adapt?" Kata Harari, filsuf dan sejarawan terkenal dari Hebrew University. Bagaimana caranya untuk memiliki kemampuan beradaptasi? Apa yang harus kita pelajari? Coding? Tentu bukan, karena saat AI muncul, coding tidak diperlukan lagi, karena coding bukan untuk AI yang memiliki kemampuan untuk self learning.
"It ain't what you don't know that gets you into trouble. It's what you know for sure that just ain't so." (Mark Twain).
Harari mengingatkan kita untuk bersiap dan tidak menganggap enteng kemunculan AI di masa depan yang tidak terlalu lama lagi. Ia bilang: tidak ada satupun yang bisa memprediksi bagaimana rupa masa depan, terutama karena AI.
==o==
Belum lama ini saya pergi ke dokter THT untuk memeriksa telinga saya yang berbunyi tik tik tik tik saat ada suara keras. Dokter menggunakan kamera yang dimasukkan ke telinga saya dan menemukan beberapa helai rambut sepanjang seperempat centimeter menempel di gendang telinga saya. Dengan mudah dokter mengambil rambut-rambut itu (secara manual) yang nampaknya masuk ke liang telinga saya karena saya memotong rambut.
Tanpa menunggu datangnya era AI yang lebih advanced, tentu apa yang dikerjakan dokter THT tadi bakal segera digantikan dengan robot THT yang bekerja lebih akurat dibanding tangan dan mata dokter. Jika otak robot THT itu terhubung dengan AI, maka akan menghasilkan data dari satu kasus saya dan akan mejadi bagian dari big data di seluruh dunia. Robot THT yang lain tentu akan semakin "pintar" berkat big data itu.
Saat seperti itu kita tidak butuh lagi dokter THT.
Dokter yang kehilangan pekerjaannya tidak akan sendirian. Supir taxi, supir truk juga akan kehilangan pekerjaannya karena munculnya self driving vehicles tidak lama lagi. Bahkan profesi lawyer pun akan menghilang. Masih banyak lagi yang bakal kehilangan pekerjaannya di berbagai bidang yang berbeda. Padahal ada multiplier effect saat satu profesi menghilang. Di rumah sakit, perawat juga ikut menghilang, di jalanan ada banyak sekali rumah makan dan penginapan akan kehilangan pelanggannya, yaitu supir truk.
Melihat prediksi itu, beberapa artikel atau buku menyebut kita harus tetap optimis, karena saat satu profesi atau pekerjaan menghilang, maka akan digantikan dengan pekerjaan atau profesi yang lain. Optimisme seperti itu mungkin karena mereka menganalogikan dengan pekerjaan di pertanian yang berpindah ke pabrik. Namun kita sedang bicara tentang AI.
Bagaimanapun situasinya, kita harus tetap optimis, bukan?
Namun, coba renungkan ini: Dalam satu dekade terakhir ini sudah banyak online learning yang memanfaatkan AI, karena:
 1. tidak dibutuhkan guru yang banyak,
 2. hanya diperlukan waktu yang amat sedikit untuk merancang modul belajar,Â
3. tiap murid mendapatkan modul belajar yang spesifik,Â
4. lebih banyak jenis pembelajaran yang bisa disediakan,Â
5. mudah melacak progres dari proses belajar,Â
6. lebih mudah merancang return of investment bagi perusahaan penyedia online learning.
Padahal mengajar adalah profesi yang sangat banyak dikerjakan orang, karena semua orang membutuhkan pendidikan macam-macam sejak lahir hingga ajal tiba, terutama di era digital sekarang yang semua cepat sekali berubah. Semua orang kadang menjadi guru bagi orang lain, namun semua itu telah mulai digantikan oleh AI.
Jadi AI akan mengambil semua pekerjaan atau profesi yang dulu dikerjakan oleh manusia di seluruh permukaan Bumi ini. Sebagaimana kita tahu, AI sudah menciptakan musik, lukisan, bahkan desain mobil yang lengkap dengan spesifikasi mesinnya.
Jadi kemampuan beradaptasi yang seperti apa yang kita butuhkan, selain harus tetap bersikap optimis? Mungkin pertanyaan itu bisa kita serahkan ke AI? Tentu itu ironi.
==o==
Jika lapangan pekerjaan atau profesi menghilang, lalu apa yang dikerjakan manusia? Tentu manusia masih akan terus berpikir, namun kualitas atau produk yang dihasilkan pikiran akan dikalahkan oleh AI.
Di masa sekarang ini saja kita sudah menyerahkan otak kita pada Google Maps untuk melakukan decision making saat kita akan menembus jalanan kota yang tidak bisa kita prediksi. Kita juga menyerahkan otak kita pada Google untuk menemukan informasi yang harus kita akses. Setiap hari bahkan kita membiarkan Facebook memilihkan informasi yang "sebaiknya" kita kunyah melalui berbagai wall yang muncul saat kita membuka akun Facebook. Itu juga termasuk iklan produk atau jasa yang mengikuti kita kemana pun kita pergi membuka akun kita di berbagai platform media sosial.
The rise of AI belum betul-betul terjadi, namun dampaknya sudah terasa melalui media sosial yang kita gunakan yang sudah menyelipkan unsur AI di dalamnya. Pikiran kita sebenarnya sudah bisa "dibajak" oleh media sosial, namun kita tidak menyadarinya. Masih hangat di berbagai media internasional akhir-akhir ini mengenai Frances Haugen yang menyatakan Facebook terbukti malah menjadi platform yang memicu penyebaran misinformation, kebencian atau kekerasan agar Facebook bisa lebih menangguk profit yang lebih besar.
Itu sebabnya ada beberapa pemikir yang kuatir, AI melahirkan ancaman baru bagi kemanusiaan, karena AI akan melahirkan sejumlah oligarchy baru, atau dictatorships baru, atau authoritarianism baru.
Jadi the rise of AI bukan hanya soal hilangnya lapangan kerja atau profesi. Kemanusiaan terancam, jika kita tidak berhati-hati. Apa yang akan diputuskan oleh AI saat sebagian besar manusia di permukaan Bumi ini dibuat menjadi jobless atau disebut useless class?
Banyak ahli berpendapat AI hanya butuh 2 dekade saja untuk muncul, berdasar pada kekuatan komputer yang bertambah ratusan kali lipat setiap tahun. Artinya kebanyakan dari kita yang hidup sekarang ini akan menyaksikan the rise of AI. Meski demikian, the rise of AI masih belum menjadi topik sehari-hari, karena masih menjadi topik yang eksklusif, terutama di kalangan pengusaha, saintis, pemikir, penulis, dan futurists, serta para megaloman.
Mereka yang bergerak di dunia politik bisa dipastikan akan memanfaatkan isu ini untuk penyesatan masyarakat, sebagaimana biasanya. Di Indonesia mereka sudah menyesatkan masyarakat melalui agama, sebagaimana yang terjadi di pilkada Jakarta yang lalu. Kebanyakan orang mengira pilkada itu menjadi rusak karena ulah kelompok agama yang radikal. Tanpa disadari oleh banyak orang, padahal agama (dan kelompok radikalnya) telah ditunggangi oleh politisi, dan pemilik modal untuk merusak pilkada itu. Nanti AI akan ditunggangi juga oleh para pemilik modal beserta mereka yang berada di dunia politik. Dengan modal yang besar, memang mudah sekali untuk membajak otak masyarakat dan menyesatkannya.
Bagi saintis, terutama mereka yang bergerak di bidang kesehatan mental, tentu the rise of AI menjadi concern mereka. Disruption bakal terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial, brain hacking (melalui medsos) yang sekarang sudah terjadi, munculnya dictatorships baru, hilangnya lapangan kerja di berbagai bidang, "hilangnya" pemilu atau pilkada, dunia seni yang dipenuhi oleh karya-karya dari AI, dll. Apa dampak disruption itu pada kesehatan mental? Huge! Kata mereka.
Tanpa AI, teknologi sekarang ini sudah menjadi pemicu stres yang baru. Multitasking atau task switching menjadi keseharian kita, padahal itu memicu stres. Media sosial memicu aktivitas mind-wandering, padahal mind-wandering memicu stres. Media sosial juga menggiring kita pada topik-topik negatif yang memicu stres. Ditambah pula ini: berbagai kemudahan dalam hidup telah membuat beberapa bagian penting di otak lebih jarang digunakan yang akibatnya juga memicu mind-wandering. Padahal mind-wandering menambah tingkat stress.
Ada banyak PR yang mesti kita kerjakan untuk menjalani hidup dengan teknologi yang ada sekarang. Akan ada lebih banyak PR lagi untuk menghadapi the rise of AI yang pasti datang hanya dalam dekade mendatang. Para saintis dan pemikir di luar sana sudah sibuk berkumpul dan berdiskusi. Kita di Indonesia dibuat sibuk oleh para politisi dengan hal-hal tidak produktif. Sayang sekali memang.
Fasten your seatbelt folks, the next decade or so is going to be a very very turbulent time. (Robin Winsor)
Selamat berlibur dan selamat menyongsong tahun baru 2022.Â
M. Jojo Rahardjo
Menulis lebih dari 500 artikel, 100 lebih video, 3 ebooks, dan menyelenggarakan diskusi online sejak 2020. Semuanya untuk mempromosikan berbagai riset sains seputar fungsi otak dan kaitannya dengan kecerdasan, produktivitas, kreativitas, inovasi, ketangguhan pada situasi sulit, kecenderungan pada altruism, dan kesehatan. Kunjungi: https://facebook.com/membangunpositivity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H