==o==
Jika lapangan pekerjaan atau profesi menghilang, lalu apa yang dikerjakan manusia? Tentu manusia masih akan terus berpikir, namun kualitas atau produk yang dihasilkan pikiran akan dikalahkan oleh AI.
Di masa sekarang ini saja kita sudah menyerahkan otak kita pada Google Maps untuk melakukan decision making saat kita akan menembus jalanan kota yang tidak bisa kita prediksi. Kita juga menyerahkan otak kita pada Google untuk menemukan informasi yang harus kita akses. Setiap hari bahkan kita membiarkan Facebook memilihkan informasi yang "sebaiknya" kita kunyah melalui berbagai wall yang muncul saat kita membuka akun Facebook. Itu juga termasuk iklan produk atau jasa yang mengikuti kita kemana pun kita pergi membuka akun kita di berbagai platform media sosial.
The rise of AI belum betul-betul terjadi, namun dampaknya sudah terasa melalui media sosial yang kita gunakan yang sudah menyelipkan unsur AI di dalamnya. Pikiran kita sebenarnya sudah bisa "dibajak" oleh media sosial, namun kita tidak menyadarinya. Masih hangat di berbagai media internasional akhir-akhir ini mengenai Frances Haugen yang menyatakan Facebook terbukti malah menjadi platform yang memicu penyebaran misinformation, kebencian atau kekerasan agar Facebook bisa lebih menangguk profit yang lebih besar.
Itu sebabnya ada beberapa pemikir yang kuatir, AI melahirkan ancaman baru bagi kemanusiaan, karena AI akan melahirkan sejumlah oligarchy baru, atau dictatorships baru, atau authoritarianism baru.
Jadi the rise of AI bukan hanya soal hilangnya lapangan kerja atau profesi. Kemanusiaan terancam, jika kita tidak berhati-hati. Apa yang akan diputuskan oleh AI saat sebagian besar manusia di permukaan Bumi ini dibuat menjadi jobless atau disebut useless class?
Banyak ahli berpendapat AI hanya butuh 2 dekade saja untuk muncul, berdasar pada kekuatan komputer yang bertambah ratusan kali lipat setiap tahun. Artinya kebanyakan dari kita yang hidup sekarang ini akan menyaksikan the rise of AI. Meski demikian, the rise of AI masih belum menjadi topik sehari-hari, karena masih menjadi topik yang eksklusif, terutama di kalangan pengusaha, saintis, pemikir, penulis, dan futurists, serta para megaloman.
Mereka yang bergerak di dunia politik bisa dipastikan akan memanfaatkan isu ini untuk penyesatan masyarakat, sebagaimana biasanya. Di Indonesia mereka sudah menyesatkan masyarakat melalui agama, sebagaimana yang terjadi di pilkada Jakarta yang lalu. Kebanyakan orang mengira pilkada itu menjadi rusak karena ulah kelompok agama yang radikal. Tanpa disadari oleh banyak orang, padahal agama (dan kelompok radikalnya) telah ditunggangi oleh politisi, dan pemilik modal untuk merusak pilkada itu. Nanti AI akan ditunggangi juga oleh para pemilik modal beserta mereka yang berada di dunia politik. Dengan modal yang besar, memang mudah sekali untuk membajak otak masyarakat dan menyesatkannya.
Bagi saintis, terutama mereka yang bergerak di bidang kesehatan mental, tentu the rise of AI menjadi concern mereka. Disruption bakal terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial, brain hacking (melalui medsos) yang sekarang sudah terjadi, munculnya dictatorships baru, hilangnya lapangan kerja di berbagai bidang, "hilangnya" pemilu atau pilkada, dunia seni yang dipenuhi oleh karya-karya dari AI, dll. Apa dampak disruption itu pada kesehatan mental? Huge! Kata mereka.
Tanpa AI, teknologi sekarang ini sudah menjadi pemicu stres yang baru. Multitasking atau task switching menjadi keseharian kita, padahal itu memicu stres. Media sosial memicu aktivitas mind-wandering, padahal mind-wandering memicu stres. Media sosial juga menggiring kita pada topik-topik negatif yang memicu stres. Ditambah pula ini: berbagai kemudahan dalam hidup telah membuat beberapa bagian penting di otak lebih jarang digunakan yang akibatnya juga memicu mind-wandering. Padahal mind-wandering menambah tingkat stress.
Ada banyak PR yang mesti kita kerjakan untuk menjalani hidup dengan teknologi yang ada sekarang. Akan ada lebih banyak PR lagi untuk menghadapi the rise of AI yang pasti datang hanya dalam dekade mendatang. Para saintis dan pemikir di luar sana sudah sibuk berkumpul dan berdiskusi. Kita di Indonesia dibuat sibuk oleh para politisi dengan hal-hal tidak produktif. Sayang sekali memang.