Maria Ressa adalah seorang jurnalis yang sepanjang hidupnya memperjuangkan freedom of expression, namun kemudian di era industrial revolution 4.0 ia terkejut, karena berhadapan dengan social media yang telah berkembang menjadi sama berbahayanya dengan authoritarianism atau dictatorship.
Dalam ceramahnya di Oslo saat menerima Nobel Peace Prize, ia antara lain menegaskan: Jaga agar media sosial tidak menjadi tempat untuk menumbuhkan kebencian, kekerasan  & potensi negatif dalam diri kita.
Dalam konteks Indonesia, media sosial memang malah lebih bermanfaat bagi para penganut ideologi yang merusak kemanusiaan. Sementara itu orang-orang baik diam saja, karena mengira kebaikan akan selalu berpihak pada mereka. Padahal kebaikan harus diperjuangkan dengan keras, atau ajaran kebencian akan dianggap sebagai sebuah ajaran kebenaran, bahkan ajaran dari Tuhan.
Ini sedikit kutipan dari ceramah Maria Ressa:
Journalists is the old gatekeepers. The other is technology with its god-like power is the new gatekeepers.
This technology has allowed the virus of lies to infect each of us pitting us against each other bringing out our fears, anger, hate, and setting the stage for the rise of authoritarians and dictators around the world.
Our greatest need today is to transform that hate and violence, the toxic sludge that's coursing through our information ecosystem prioritized by AMERICAN INTERNET COMPANIES (social media) that make more money by spreading that hate and triggering the worst in us.
(Nobel Lecture given by Nobel Peace Prize laureate 2021 Maria Ressa, Oslo, 10 December 2021)
Ceramah Maria Ressa seharusnya mengejutkan kita semua. Jika media sosial menjadi ancaman bagi masa depan kemanusiaan, bagaimana cara menghadapinya ketika kita masih sibuk dengan berbagai topik yang menggambarkan seolah kita masih berada di era sebelum era industrial revolution 4.0 sekarang ini?
Saat ini kita sedang melihat perkembangan komputer yang semakin kuat dan semakin cepat yang bakal mendukung diciptakannya Artificial Intelligence (AI) dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade saja. Jangan lupa blockchain technology sudah menjadi keseharian kita beberapa tahun terakhir ini.
Bahkan saat ini kita sedang mencoba membayangkan sisi buruk apa saja yang bisa muncul dari AI yang tak terelakkan itu. Namun ternyata masih ada yang membuat program besar penerjemahan buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Atau "menerbitkan" kembali berbagai buku besar dari masa lampau. Apakah berbagai program seperti itu sejalan dengan program: "bersiap menghadapi masa depan dunia yang akan didominasi oleh AI yang tak seorang pun bisa memprediksinya?"