Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tekanan Hidup Orang Kaya? Kok Bisa?

13 Juli 2021   09:10 Diperbarui: 15 Juli 2021   22:45 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://filthylucre.com/

Uang Ternyata Tak Bisa Membeli Cara Mengatasi Tekanan Hidup

Sepasang selebriti baru saja ditangkap polisi karena penyalahgunaan narkoba. Selebriti yang kaya raya ini mengaku, bahwa hidupnya penuh tekanan, sehingga mereka menggunakan narkoba untuk mengatasi tekanan hidup itu. Tekanan hidup adalah kata lain dari stres. Di zaman digital seperti ini, di mana berbagai informasi bisa diperoleh dengan mudah, namun ternyata mereka gagal menemukan cara untuk mengatasi stres dalam hidup mereka.

Mungkin mereka beruntung, karena polisi menangkap mereka. Dengan begitu, mereka punya kesempatan untuk merenungi apa yang salah dalam hidup mereka. Jika tidak, maka mereka akan terus gagal mengatasi stres dalam hidup mereka. Tentu akibatnya bisa lebih buruk daripada sekedar ditangkap polisi.

Stres seringkali disangkal oleh banyak orang. Menurut mereka, stres tak ada dalam hidup mereka. Yang ada adalah tekanan hidup saja. Tulisan ini mengenai apa itu stres dan pengaruh buruk yang ditimbulkannya, serta cara menghadapi stres.

Stres mungkin tak terlihat kasat mata, namun stres sebenarnya merusak kesehatan tubuh dan kesehatan mental. Tulisan ini mengenai dua hal itu.

==o==

Satu kerabat saya baru-baru ini wafat, karena kanker. Selama berbulan-bulan terakhir hidupnya ia bergantung pada orang-orang di sekitarnya. Bergantung pada orang lain itu mungkin satu yang biasa, karena manusia adalah makhluk sosial yang bertahan hidup karena interaksinya dengan yang lain di sekitarnya. Namun bergantung pada orang lain karena sakit keras tentu berbeda.

Apa yang saya lihat selama berbulan-bulan hidupnya sebelum wafat adalah bukan yang pertama. Setidaknya saya melihat ayah dan ibu saya juga mengalami sakit keras berbulan-bulan sebelum ajal menjemputnya. Saya juga melihat 2 sepupu saya yang didahului oleh sakit keras karena kanker selama berbulan-bulan sebelum akhirnya menemui Yang Maha Kuasa.

Masih ada beberapa lagi orang yang saya kenal yang akhirnya wafat setelah sakit keras berbulan-bulan sebelumnya.

Ayah dan ibu saya memiliki asuransi yang membuatnya mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Apalagi sepupu saya yang memiliki asuransi yang membuatnya bisa terbang ke mana saja di luar negeri untuk memperoleh layanan kesehatan terbaik di dunia. Namun mereka semua harus mengalami "sakit keras" sebelum akhirnya mendapat tempat terbaik di sisiNya.

Baru-baru ini kita juga membaca berita tentang bos oksigen terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan pabrik penghasil oksigen di seluruh Indonesia. Bos ini berpulang ke rahmatullah karena ternyata oksigen tak bisa memasuki pembuluh darah di paru-parunya yang digerogoti COVID-19.

Apakah hidup mereka penuh stres sehingga hidup mereka berakhir kurang bagus? Saya tak ingin menjawab pertanyaan itu, namun riset sains menunjukkan akibat yang paling menonjol dari stres adalah keluarnya hormon cortisol. Jika cortisol keluar terlalu banyak dan terlalu lama, maka akan mempengaruhi kesehatan tubun secara umum.

Tentu saja kita tahu benar dan meyakini Tuhan lah yang menentukan segalanya, termasuk menentukan apakah kita bisa mengalami perburukan kesehatan di usia tua atau tidak. Namun apakah benar tak ada yang bisa lakukan untuk menghindari situasi itu? Yakni situasi mengalami sakit keras sebelum ajal menjemput? Tak adakah yang bisa kita lakukan agar Tuhan bersedia menukar takdir kita? Tentu ada dong, karena kita wajib berusaha untuk memiliki kesehatan hingga akhir hayat kita.

==o==

Tentu kita semua tahu untuk memiliki kesehatan tubuh adalah dengan mengikuti semua yang disarankan oleh ilmu kesehatan atau kedokteran. Apa saja itu? Tentu daftarnya kita bisa temukan dari berbagai sumber. Kita pasti tahu beberapa makanan dan minuman bisa membuat kita bertambah sehat atau menjadi sakit. Kita juga tahu olahraga bisa membuat kita bertambah sehat. Dan lain-lain.

Semua juga tahu, bahwa stres bisa merusak kesehatan. Namun tahukah kita apa itu stres? Juga tahukah kita tentang cara mengatasi stres atau menghindari stres?

Sains tentang stres nampaknya tidak cukup populer dibanding sains tentang kebahagiaan. Meski menurut positive psychology, stres otomatis menghilang saat kita memiliki kebahagiaan. Itu sebabnya positive psychology amat fokus untuk mencari tahu apa saja yang bisa kita lakukan untuk memperoleh kebahagiaan.

Sayangnya tak banyak juga yang serius mempelajari sains kebahagiaan. Padahal sains kebahagiaan itu menawarkan berbagai tips yang sederhana untuk dipraktikkan dan akan berbuah hilangnya kondisi stres.

BERSYUKUR UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES?

Tak banyak yang tahu, bahwa praktik bersyukur yang diajarkan oleh berbagai agama di dunia sejak lama sekali adalah praktik yang sering diteliti oleh positive psychology dan neuroscience. Mereka menemukan praktik bersyukur ini adalah praktik yang bagus untuk memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menurunkan tingkat stres.

Kata kebahagiaan yang dimaksud di sini memiliki definisi khusus sebagai berikut: "kondisi di otak saat berfungsi maksimal, sehingga memberi pengaruh positif pada kesehatan tubuh, juga mental, hingga kecerdasan, dan kecenderungan pada altruism". Sementara itu stres menghasilkan kondisi yang kebalikan daripada kebahagiaan.

Bersyukur sudah menjadi kajian penting bagi neuroscience dan positive psychology. Para ahli kemudian mendefinisikan kembali apa itu bersyukur menurut sains. Menurut riset sains, bersyukur adalah berlatih untuk menyadari adanya hal-hal positif pada diri kita, pada orang lain, atau apa pun di sekitar kita. Menurut riset sains pula, kita lebih terbiasa untuk menyadari adanya hal-hal negatif daripada yang positif.

Tentu itu alamiah, karena itu adalah cara kita untuk bertahan hidup atau untuk menghindari bahaya. Namun efek sampingnya dari itu (terus menyadari adanya hal-hal yang negatif) adalah stres yang memicu keluarnya hormon cortisol terlalu banyak dan terlalu lama yang pada gilirannya mengganggu kesehatan tubuh dan kesehatan mental.

Sebagaimana kita tahu, stres yang terlalu sering dan terlalu lama mendorong munculnya potensi berbagai penyakit mematikan, jantung, darah tinggi, diabetes, hingga kanker. Mengenai ini, kita bisa menemukan banyak sekali tulisan yang menjelaskannya.

Bersyukur hanya salah satu dari berbagai tips yang disediakan oleh riset sains untuk menghadapi stres yang dipicu oleh berbagai aspek kehidupan, terutama di zaman digital sekarang ini. Masih ada banyak lagi tips lain yang beberapa di antaranya bahkan jauh lebih memiliki efektivitas.

Satu cara bersyukur yang disarankan dari berbagai riset sains adalah ini: Setiap hari, tulis satu atau dua paragraf pendek yang isinya hal-hal positif pada diri Anda, orang lain, atau apa pun di sekitar Anda yang bisa Anda temukan dalam 24 jam terakhir. Lakukan satu kali atau lebih dalam sehari. Semakin sering semakin bagus. Hal positif yang Anda tulis harus terus berganti.

M. Jojo Rahardjo
Menulis 300 artikel, 100 video, dan 3 ebooks untuk mempromosikan berbagai riset sains seputar memaksimalkan fungsi otak dan kaitannya dengan kesehatan tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun