Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Penjelasan Neuroscience tentang Otak Pelaku Kekerasan yang Mengerikan?

31 Oktober 2020   16:08 Diperbarui: 31 Oktober 2020   17:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.planetdolan.com/

Sebagaimana sudah sering disebut dalam Page ini (Membangun Positivity), bahwa Positivity adalah sebuah kondisi di otak saat berfungsi maksimal, sehingga lebih cerdas, lebih penuh solusi, lebih kreatif dan inovatif, lebih tahan stres dan depresi, membuat tubuh lebih sehat, lebih cenderung pada altruism (kebajikan) atau lebih spiritual. Mereka yang memiliki positivity besar ini terbukti bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Mereka yang yang rajin meditasi terbukti dalam berbagai riset memiliki empathy yang lebih besar atau perasaan oneness, berpegang-teguh pada golden rule (cari arti golden rule ini), atau bahkan memiliki spirituality yang lebih besar. Artinya mereka ini kurang memiliki pandangan eksklusif pada dirinya atau kelompoknya sendiri. Mereka cenderung merasa menjadi bagian dari apa pun di sekitarnya atau dari kelompok lain. Mereka menjadi tak sanggup berbuat kekerasan pada yang lain atau kelompok lain. Juga mudah menolong daripada mengacuhkan yang lain yang artinya juga menjadi lebih berguna bagi orang lain.

Meditasi (meditasi sekuler yang tidak terkait dengan keyakinan apapun) hanya salah satu cara untuk memiliki positivity yang besar. Menurut berbagai riset, berdoa pun bisa menghasilkan positivity yang besar. Begitu juga bersyukur, terutama bersyukur yang didefinisikan oleh neuroscience, yaitu menulis 'jurnal positif' yang isinya adalah pengalaman positif dari diri kita sendiri atau apa yang positif di di sekitar kita.

Masih ada banyak praktik lain yang menurut riset bisa digunakan untuk menghasilkan positivity yang besar. Kebanyakan praktik ini adalah praktik yang sudah biasa kita lakukan sehari-hari, sehingga kita hanya tinggal memprogramnya untuk menghasilkan positivity yang besar. Apa saja itu? Silahkan baca ratusan artikel dan tonton puluhan video di Page ini.

Positivity adalah kata lain dari kata kebahagiaan, happiness, wellbeing. Meskipun Posivity adalah kata lain dari kata kebahagiaan, namun Page ini menghindar untuk menggunakan kata kebahagiaan, karena kata kebahagiaan memiliki arti yang sangat luas. Coba saja Googling kata 'kebahagiaan' itu, maka akan muncul definisi dari kata kebahagiaan menurut berbagai bidang, misalnya filsafat, agama, sosial, psikologi, kedokteran, politik, sains, dan lain-lain. Page ini menggunakan kata positivity untuk menggantikan kata kebahagiaan karena memiliki definisi yang lebih sempit atau khusus, yaitu seperti yang sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini.

Dari definisi positivity itu, maka amat kecil kemungkinan mereka yang memiliki positivity yang besar bisa melakukan kekerasan, apalagi pembunuhan yang mengerikan. Lalu mengapa ada yang orang yang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan itu? Apakah fungsi otaknya sedemikian melenceng dalam berfungsi? Bagaimana penjelasan neuroscience untuk mereka yang otaknya tak berfungsi maksimal sehingga bisa melakukan kekerasan yang mengerikan itu? Jawabannya seharusnya memang sederhana.

Otak yang tak berfungsi maksimal memang tidak cenderung memiliki empathy yang lebih besar atau memiliki perasaan oneness, juga tidak berpegang-teguh pada golden rule. Artinya mereka ini lebih memiliki pandangan eksklusif (mengenai dirinya atau kelompoknya). Mereka tidak cenderung merasa menjadi bagian dari apa pun di sekitarnya atau dari kelompok lain yang berbeda. Mereka ini menjadi sanggup berbuat kekerasan yang mengerikan pada orang lain atau kelompok lain. Itu artinya mereka tak punya empathy sehingga cenderung menghindar untuk berbuat baik pada orang lain atau kelompok lain yang berbeda. Orang seperti itu sebenarnya hanya menganut ideologi politik yang ditanam oleh para pemuka kelompoknya, namun orang seperti itu merasa dirinya beragama dan orang-orang lain pun mengira orang seperti itu beragama.

M. Jojo Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun