Pidato Jokowi di depan Sidang Tahunan MPR hari ini, 16/08/2019, menyatakan untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera tidak bisa lain kita harus menyingkirkan intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Sayangnya di pidato ini Jokowi tak menyebut ancaman atau gangguan ideologi khilafah yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah menyita waktu dan energi kita. Padahal ideologi khilafah ini adalah akar dari intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Jika ideologi khilafah ini dibiarkan terus dikampanyekan oleh segelintir orang di negeri ini, maka pembangunan SDM Unggul bakal terganggu. Kita akan terus sibuk mengatasi gangguan ini. Padahal mestinya kita sibuk dengan hal-hal lain yang lebih produktif.
Kata "SDM" cuma disebut 1 kali dalam pidato di depan Sidang Tahunan MPR ini. Sedangkan di pidato lainnya, yaitu Pidato Kenegaraan 2019 di hari yang sama, Jokowi menyebut 14 kali kata "SDM", namun tidak menjelaskan bagaimana cara membangun SDM Unggul Indonesia.
Ini kutipannya:
"Saya mengajak semua Lembaga-Lembaga Negara untuk membangun sinergi yang kuat guna menyelesaikan tugas sejarah kita. Mendukung lompatan-lompatan kemajuan untuk mengentaskan kemiskinan, menekan ketimpangan, dan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Bergandengan tangan menghadapi ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Serta ikut serta melahirkan lebih banyak lagi SDM-SDM unggul yang membawa kemajuan bangsa."
Semoga di periode kedua pemerintahan Jokowi nanti akan ada konsep yang jelas dalam membangun SDM Unggul. Setidaknya konsep itu berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan dongeng-dongeng masa lalu yang belum terbukti bisa diterapkan di mana pun, apalagi Indonesia.
Indonesia telah merdeka sepanjang 74 tahun, lebih lama daripada negeri-negeri lain di sekitarnya. Kekayaan alam Indonesia melebihi negeri-negeri lain di sekitarnya. Kekayaan budaya Indonesia melebihi tempat mana pun di dunia di beberapa abad terakhir ini.
Namun jika diukur dengan "Human Development Index" yang diterbitkan oleh PBB, Indonesia kini tertinggal jauh dari negeri-negeri lain. Indonesia juga tertinggal jauh dari negeri-negeri lain jika diukur dengan "World Happiness Report" yang diterbitkan PBB sejak 2012.
"World Happiness Report" yang dibuat oleh para pakar neuroscience ini mengukur lebih banyak indikator, yaitu 6 indikator: 1. GDP per capita, 2. Social support, 3. Health life expectancy at birth, 4. Freedom to make life choices, 5. Generosity, 6. Perception of corruption. Indonesia berada di urutan yang buruk jika 6 indikator ini digabung. Indonesia dikalahkan oleh negeri-negeri Asia lain dan negeri-negeri di Amerika Latin.
Semoga juga pemerintah Jokowi bisa menerapkan konsep membangun SDM Unggul yang sudah dibangun oleh para ahli neuroscience sepanjang 2 dekade terakhir di seluruh dunia. Konsep neuroscience adalah cara ilmiah mengembangkan potensi positif yang dimiliki otak agar lebih cerdas, penuh solusi, kreatif, inovatif, tahan terhadap depresi, dan lebih cenderung pada kebajikan, bahkan tubuh lebih sehat.