Tulisan saya sebelumnya tentang caleg milenial mempertanyakan apakah mereka bisa memikul peran untuk memperbaiki rangking Indonesia di "World Happiness Report" (WHR) yang diterbitkan oleh PBB setiap tahun.Â
Mengapa WHR? Karena itu adalah cara baru bagi dunia untuk menghitung atau mengukur kemajuan sebuah negeri, yaitu dengan 6 indikator:Â
- GDP per-capita,Â
- Social Support,Â
- Healthy life expectancy,Â
- Freedom to make life choices,
- Generousity,Â
- Perceptions of corruption.
Sebelum WHR, PBB dulu menggunakan HUMAN DEVELOPMENT INDEX untuk mengukur kemajuan sebuah negeri. Laporannya diterbitkan setiap tahun dengan mengukur: Life expectancy, Education, dan Income per-capita. Negeri-negeri Skandinavia selalu menduduki tempat pertama dalam laporan ini.
Lalu sejak tahun 2012 lalu PBB mulai menerbitkan WHR untuk mengukur kemajuan sebuah negeri. Report ini dirancang oleh neuroscientists dan ilmuwan dari ilmu pengetahuan lainnya. Kata HAPPINESS sering disebut oleh neuroscientists dengan kata POSITIVITY untuk memberi arti yang khusus, yaitu keadaan positif di otak yang mempengaruhi brain, mind dan body. Lagi-lagi negeri-negeri Skandinavia menduduki tempat pertama dalam laporan ini.

Baca juga:Â Caleg Milenial untuk Indonesia yang Lebih Baik? Mungkinkah?
Saya meragukan caleg milenial pernah membaca, bahkan mempraktekkan apa yang disarankan oleh neuroscience untuk memiliki positivity. Jika belum memiliki positivity yang besar, maka caleg milenial ini juga tak bisa diharapkan untuk bisa menularkan positivity ke rakyat yang diwakilinya.
Tidak hanya itu, caleg milenial ini juga perlu dipertanyakan kemampuannya dalam strategi kampanye. Caleg milenial mungkin terbuai dengan angka yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bahwa jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta--80 juta jiwa dari 193 juta pemilih atau sekitar 35-40 persen dari populasi pemilih.Â
Pemilih milenial ini mungkin dianggap bisa  dibujuk untuk memilih caleg milenial, karena memiliki kesamaan karakter atau kesamaan kecenderungan, misalnya dalam menggunakan media sosial.

Survey yang dilakukan LSI Denny JA baru-baru ini menyebut pemilih muslim berjumlah 87,8%. Itu jumlah yang harus diperhitungkan dengan baik. Sebagian dari mereka tentu adalah pemilih milenial.Â