Dari hampir 8.000 caleg tingkat DPR setidaknya lebih dari separuhnya adalah caleg yang berumur di bawah 30 tahun. Selain di tingkat DPR, caleg milenial juga ada di tingkat DPRD. Para caleg milenial ini konon baru terjun ke dunia politik. Apakah mereka bisa membawa perubahan baru yang lebih baik?
Siapa mereka yang disebut generasi milenial ini?
Disebut generasi milenial karena mereka lahir antara tahun 1980-1994, jadi mereka berumur sekitar 25-39 tahun saat ini. Apa yang terjadi atau berkembang pada tahun-tahun mereka lahir dan kemudian tumbuh berkembang tentu berbeda dengan sebelumnya. Saat di usia anak-anak, mereka mungkin masih mengalami masa sebelum jaman digital datang. Mereka masih sempat mengenal audio cassette, film seluloid, telpon dengan kabel, radio transistor, mesin tik manual dan lain-lain. Meski kemudian saat lebih besar sedikit mereka dikenalkan dengan dunia digital yang mulai berkembang di akhir tahun 80-an.
Mungkin generasi milenial atau tidak semua mengalami transisi dari masa non-digital ke masa digital. Teknologi yang mereka sentuh di masa remaja dan dewasa tentu berbeda dengan teknologi yang disentuh oleh generasi baby boomer yang lahir di 1944-1964 dan generasi X yang lahir di 1965-1979. Generasi milenial tentu lebih sedikit mengalami masa non-digital dibanding generasi sebelumnya (baby boomer dan gen X). Masa remaja generasi milenial ada di jaman digital sebagaimana kita tahu awal tahun 90-an ditandai dengan munculnya perangkat elektronik digital seperti pemutar musik dan video LD yang lalu disusul dengan VCD dan DVD. Juga alat komunikasi seluler tanpa kabel (HP), siaran TV digital, serta Internet. Semua teknologi ini tentu berpengaruh pada wawasan mereka, karena mereka memiliki akses pada informasi yang lebih luas dan berbeda dengan generasi sebelum mereka.
Apakah jaman digital yang mereka alami itu berguna bagi mereka? Apakah itu berguna juga bagi rakyat yang diwakilinya? Apa karakter para caleg milliennielas ini?
Dugaan saya tak banyak dari mereka yang memiliki critical thinking, karena sejak lahir mereka sudah dididik untuk memiliki authoritative thinking. Agama (tertentu) berperan melahirkan cara berpikir authoritative thinking ini. Banyak hal penting dalam hidup ini harus bersandar pada apa yang dikatakan pemuka agama. Pemuka agama ini tentu bersandar pula pada kitab-kitab suci. Akses pada berbagai sumber informasi yang luas melalui teknologi digital tak mengubah mereka untuk memiliki critical thinking, bahkan mereka tetap terkotak-kotak dalam dunia digitalnya seperti terjadi pada generasi sebelum mereka. Mereka menggunakan teknologi digital untuk membentuk kelompoknya sendiri atau masuk ke dalam kelompok dengan concern yang sama. Sekali lagi teknologi digital hanya sedikit mempengaruhi mereka untuk menjadi lebih ciritical.Â
Kita bisa melihat gejala ini di perguruan tinggi negeri. Mereka menyelenggarakan kegiatan di dalam kampus untuk menyatakan pro kepada khilafah. Kita juga bisa melihat bagaimana mereka menggunakan media sosial untuk membentuk kelompok pro khilafah dan menyebarkan pahamnya. Mereka juga mencoba menunggangi tokoh seperti Prabowo untuk melawan Jokowi yang telah membekukan organisasi mereka.
Jadi apakah caleg milenial ini memiliki karakter yang lebih bagus untuk mewakili rakyat dibanding caleg dari generasi yang lebih tua? Apa yang dibutuhkan untuk memiliki karakter bagus bagi semua generasi? Apakah agama? Pendidikan tinggi? Pendidikan moral atau budi pekerti? Penegakan hukum?
Dunia yang lebih baik dengan neuroscience
Lebih dari 20 tahun neuroscience berkembang di negeri-negeri maju, berkat teknologi yang lebih dahulu berkembang, seperti terknologi fMRI dan EEG. Sekarang ilmuwan bisa lebih mudah mengamati apa yang terjadi di otak saat kita melakukan suatu aktivitas tertentu. Kita juga bisa mengamati apa yang terjadi pada pikiran (kecenderungan atau karakter) dan juga pada tubuh saat otak dalam kondisi tertentu. Neuroscience sekarang memiliki berbagai tips atau cara agar kita memiliki kecenderungan tertentu, seperti misalnya kecenderungan pada kebajikan, atau kecenderungan pada produktivitas, juga kecerdasan.
Sayangnya apa yang dihasilkan oleh neuroscience ini belum mencapai semua orang sehingga belum banyak dipraktekkan, terutama oleh mereka yang hidup di negara berkembang. Indonesia masih di urutan yang buruk dalam daftar yang dikeluarkan PBB setiap tahun: "World Happiness Report". Kata "happiness" dalam laporan itu berarti juga "positivity" atau kondisi positif di otak yang menghasilkan berbagai kecenderungan baik dalam berperilaku atau dalam berpikir dan bertindak.