Cerita dalam The Impossible tidak seperti cerita dalam film-film yang dibuat misalnya oleh Mel Gibson yang hampir separuh film diperuntukkan untuk membangun background cerita (coba lihat The Patriot). Bagian awal The Patriot dibuat untuk membangun ikatan emosional penonton dengan tokoh-tokoh di dalamnya, sehingga ketika prahara muncul dalam cerita, penonton mudah merasa terlibat secara emosional. Namun The Impossible tidak melakukan itu. Hanya dalam beberapa menit pengenalan tentang 2 tokohnya, Henry Bennet dan Maria Bennet (suami-istri) beserta 3 anak laki-lakinya, tiba-tiba cerita sudah beralih pada serangan tsunami yang teramat dahsyat. Saya lalu bergumam: “wah kok tahu-tahu sudah tsunami”. Saya kemudian ragu film ini bakal menarik.
Namun cerita justru dimulai dari adegan tsunami 26 Desember 2004 menyerang kota Khao Lak, Thailand ini, di mana Henry dan Maria beserta 3 anak laki-lakinya (wisatawan dari Inggris) sedang berlibur di sebuah hotel di pinggir pantai. Adegan Maria dan anaknya, Lucas yang terus digulung dan dihanyutkan tsunami justru membangun ikatan emosi penonton dengan 2 tokoh pada bagian awal film ini. Sutradara film ini, Juan Antonio Bayona, berhasil menciptakan rasa ngeri, sakit dan ngilu berada di dalam air tsunami yang bercampur dengan berbagai macam benda tajam yang merobek-robek tubuh Maria dan Lucas.
Hampir lebih dari separuh film ini adalah tentang Maria dan Lucas. Banyak adegan tentang Maria yg menjamin penonton akan merasa ngilu atau ngeri melihat kondisi luka-luka Maria, begitu juga kehancuran yang ditimbulkan tsunami. Jangan lupa untuk memperhatikan dialog antara Maria dan Lucas setelah tsunami surut yg berdebat tentang apakah mereka akan mencari dan menolong seorang anak kecil yang hanya terdengar suaranya saja di tengah puing-puing tsunami. Maria bersikeras pada Lucas, bahwa mereka harus mencari dan menolong anak kecil itu, karena Maria membayangkan dua anaknya yang lain yang entah berada di mana dan entah selamat atau tidak. Sebuah moral yang sederhana dan berlaku universal. Tanpa kerumitan namun mengharukan dan mengagumkan.
Saya kemudian teringat film Habibie & Ainun yg mungkin adalah sebuah cerita fiksi, namun Habibie & Ainun cukup membuat saya menitikkan air mata karena keharuan kisah cinta yg ditampilkan. The Impossible ternyata lebih menguras air mata karena keharuan dari gambar-gambar kemanusiaannya. Meski sebenarnya sang sutradara menggunakan pakem yang klise ketika ia menampilkan adegan-adegan di mana Henry (ayah), Lucas (anak tertua) serta Simon & Thomas (2 anak terkecil) berada pada sebuah area yang sama, yaitu rumah sakit, namun mereka secara kebetulan dan beberapa kali tidak melihat satu sama lain. Tentu itu membuat penonton menghela nafas. Ayah dan Ibu ini terpisah sejak diterjang tsunami dan tak mengetahui nasib masing-masing. Ibu bersama Lucas dan Ayah bersama 2 anak yg lain. Saat melihat adegan-adegan itu saya sudah menebak, bahwa adegan selanjutnya adalah adegan pertemuan mereka. Itu resep klise namun manjur untuk membuat adegan yg mengharukan. Meski tidak terkejut ketika adegan selanjutnya yang ternyata memang pertemuan mereka, namun saya tetap saja terharu berat dan menitikkan air mata.
Tak ada pelajaran science mengenai tsunami dalam film ini, kecuali tsunami itu sangat menghancurkan. Ini berbeda dengan film The Day After Tomorrow yang menampilkan adegan tentang true science untuk membangun cerita kehancuran bumi karena datangnya musim dingin secara mendadak dan ekstrim yg disebabkan oleh global warming. Film ini sederhana saja, yaitu tentang sebuah keluarga yg dihantam tsunami saat mereka berlibur dan tercerai-berai tanpa mengetahui keadaan masing-masing hingga akhirnya dipertemukan lagi secara ajaib di depan sebuah rumah sakit. Meski sederhana, namun film ini mampu membuat kita berada di antara keluarga itu sepanjang film.
Sejauh yang saya ingat, di dalam film yang dibuat oleh perusahaan film Spanyol ini, tak sekali pun tokoh-tokohnya menyebut kata Tuhan di saat apa pun baik saat takut, sedih atau terharu, bahkan terkejut. Saat mereka disapu gelombang tsunami, Maria (ibu) memanggil nama anaknya, Lucas. Begitu juga Lucas meneriakan ‘mom’ (ibu). Bahkan saat adegan yg paling mengharukan, yaitu saat akhirnya mereka semua bertemu kembali secara tak sengaja di depan rumah sakit tak ada satu ungkapan religius apa pun yang ditampilkan di dalam adegan itu. Nampaknya sutradara film ini bermaksud agar film ini dapat diterima secara universal, bahwa keajaiban atau keselamatan bisa terjadi pada siapa saja meski impossible atau meski sebuah keluarga tepat di pinggir pantai dan tersapu tsunami besar yang menyapu hampir semua pantai di asia bagian tenggara dan selatan.
Film ini mendapat pujian dari para kritikus untuk akting dan penyutradaraan. Bahkan Naomi Watts yg memerankan Maria dinominasikan sebagai best actress dalam Academy Award mendatang juga dalam Golden Globe Award dalam kategori drama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H