Mohon tunggu...
M. Joenoes Joesoef
M. Joenoes Joesoef Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan Pertamina. Menulis untuk "cegat" pikun dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujung Tempuhan Nurul Fajriah

4 Februari 2014   07:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

UJUNG TEMPUHAN NURUL FAJRIAH.

Cerpen : M. Joenoes Joesoef

SEBETULNYA DIA SUDAH HAFAL TUNTAS KATA DEMI KATA YANG TER-NUKIL dalam warkah birumuda itu. Tetapi, setiap kali dia ulang baca, selalu dia merasa, surat itu baru diterimanya sekejap lalu.

“Nurul yang baik, saya akan pulang ke Palembang, memenuhi panggilan orang tua. Belum jelas, apa maksud panggilan itu. Saya duga, ada kaitannya dengan fakta ini : saya sudah tigapuluh dua dan masih saja sendiri. Padahal, sudah sejak sepuluh tahun lalu saya diingatkan, supaya mulai pikirkan soal jodoh. Tetapi saya hanya senyum panjang saat itu. Soal jodoh ini belum saya pikirkan. Samasekali belum. Saya masih ingin menuntaskan mimpi saya : ke Mesir, ke Al-Azhar.

Alhamdulillah, saya sampai juga ke sana. Dan jadilah saya seperti sekarang ini. Tetapi bagaimana kehidupan pribadi saya selanjutnya? Ini yang membuat saya gamang. Terutama karena adanya panggilan dari orang tua ini.

Nurul yang baik, dalam usia tigapuluh dua, rasanya terlalu mengada-ada, kalau saya masih belum juga memikirkan soal jodoh ini. Masaalahnya, kalau orang tua saya tanya, siapakah yang sudah saya pilih, bagaimana saya mesti menjawab? Tidak ada satu nama pun yang bisa saya sebutkan.

Nurul yang baik, setelah lebih dari satu setengah tahun kita bergaul, saya berkesimpulan, pertemuan denganmu adalah semacam anugerah Allah kepada saya. Jujur saja, dalam batas-batas tertentu, saya juga sudah mengenal beberapa gadis lain sebelum kamu. Tetapi semuanya seperti perpapasan orang lalu saja, tak meninggalkan kesan khusus pada saya. Mereka datang dan pergi, lalu lenyap begitu saja dari hidup saya. Tetapi setelah bertemu dengan kamu, keadaan berubah, Nurul. Setiap kali kita berjumpa kembali, bagai ada dawai halus di kalbu saya yang langsung tergetar dengan begitu saja, melantunkan gita merdu, mempesona, menghanyutkan, menyangsaikan, bahkan sampai menenggelamkan saya dalam lautan pembayangan masadepan yang indah. Dan nun di sana, saya mendapati diri ini berdiri tegak dengan kaki-kaki yang kukuh menapak bumi, teguh dan perkasa, siap menghadapi pergelutan dan pertarungan seru hidup ini, Insya Allah dalam naungan rahmat dan ridha Illahi. Dan, lihatlah itu, ada sesosok perempuan yang turut berdiri di sisi saya. Juga bersikap tegak dengan kaki-kaki yang kukuh menapak bumi, teguh dan perkasa. Selalu siap mendampingi saya. Dan perempuan itu adalah dirimu, Nurul.

Sambil mengharap maafmu karena cara saya ini yang mungkin tidak wajar, sembrono, tidak sopan, bahkan kurangajar, maka dengan ini saya, Rafiq Alfajri bin Abdul Malik, secara resmi dan sungguh-sungguh melamar dirimu, Nurul Fajriah binti Hasan Mubarak. Saya mengharapkan kesediaanmu untuk mendampingi hidup saya selanjutnya, menjadi isteri saya, menjadi ibu dari anak-anak saya. Dan perkenankanlah saya menyebut namamu, jika nanti orang tua saya menanyakan, apakah saya sudah menemukan dan memilih seorang perempuan yang akan saya peristeri dan akan saya jadikan ibu dari anak-anak saya. Yakinlah, Nurul, saya akan menyebutkan namamu dengan mantap, dengan sangat mantap, sehingga akan terpateri langsung ke dalam sanubari beliau-beliau itu, sekaligus menghapus nama-nama lain yang mungkin pernah tercatat di situ. Dan kemudian mereka akan menyampaikan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, karena telah mempertemukan anak laki-lakinya dengan seorang perempuan yang terpantas di antara perempuan-perempuan yang ada.

Ya Allah, ya Rabbi, bukakanlah pintu hati Nurul, lapangkanlah kalbunya, bebaskanlah dia dari rasa waswas, bimbang dan ragu, sehingga dia akan memberikan jawaban “Ya!” yang mantap terhadap permintaanku ini.

Ya Allah, ya Rabbi, Engkau pengabul segala doa. Kabulkanlah juga kiranya doaku ini. Amin, Allahumma, Amin!”.

NURUL MENATAP SURAT ITU DENGAN PANDANGAN MENERAWANG. ADA bagian-bagian hidupnya yang sudah terlarut dan tidak mungkin lagi dipisahkan dari keberadaan surat itu. Surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang jelas dan rapi, diakhiri dengan tandatangan berhuruf Arab yang distilisasi, menampilkan nama “Fiky”. Nurul senyum. Dia ingat, bagaimana dia membalas surat itu dengan segera dan singkat, “Mas Fiky, suratmu itu memang tidak umum dan rada sembrono, mungkin karena ditulis secara impulsif, tanpa merenung atau berpikir panjang lebih dahulu. Tetapi kalau lalu sampai menjadi tidak sopan, apalagi kurangajar, kukira tidaklah. Bagaimana pun, kamu memang luar biasa berani, nekad tepatnya, untuk mengajukan lamaran dengan caramu itu. Selain itu, kamu agaknya luar biasa pula percaya diri, bahwa aku tidak akan menolak lamaranmu itu. Tetapi dalam hal ini kamu memang benar, Mas Fiky. Aku tidak menolak!”.

Dan setelah itu, segala sesuatunya pun berjalan mulus. Disertai restu keluarga masing-masing, kedua anak manusia itu dipersilakan mempersiapkan masa depan mereka sendiri. Tetapi tidak boleh terlalu lama, “ancam” kedua pihak orang tua. Ada yang ingin segera mereka timang-timang : cucu.

NURUL – DENGAN DIDAMPINGI DIAN, TEMAN SEJAWATNYA – UNTUK pertama kali bertemu Rafiq Alfajri, Master perbandingan agama dari Al-Azhar, ketika sebagai juruwarta BALQIS, majalah dwimingguan khusus Muslimat, mendapat tugas meliput kegiatan PUSDIK CERGAM, Pusat Pedidikan Cerdas Beragama. Lembaga itu baru ditubuhkan oleh Rafiq bersama sekelompok aktivis dakwah, dengan tujuan mencetak dan membina kader-kader handal guna membendung dan memberangus kegiatan pihak-pihak yang melakukan penggerogotan iman dan akidah umat. Aksi kontra itu harus melalui cara-cara yang ilmiah dan bermartabat. Selama ini, cara menerpabalik yang dipakai biasanya sangat reaktif, hanya mengandalkan doktrin dan keyakinan hafalan. Umumnya, para pendakwah di lapangan jarang sekali yang mengetahui, mendalami, apalagi menguasai doktrin-doktrin dan argumentasi yang dipakai pihak lawan. Cuma mengandalkan kefasihan bicara dan hafalan normatif yang statis, rasanya bukan cara yang masih tepat dan memadai untuk melakukan penerpabalikan. Salah-salah malah akan membangkitkan emosi ummat, yang sering berujung pada amuk. Di PUSDIK CERGAM itu akan diberikan pembekalan yang lengkap dan menyeluruh. Diharapkan, setelah terjun ke lapangan nanti, para kader itu tidak akan gagap dan gugup lagi bila menghadapi serangan, bahkan jika pun mereka memang sengaja diserang. Tidak lagi menerpabalik dengan kalap dan histeris, berang tak terkendali, ajak adu otot, tetapi melalui cara-cara yang cerdas dan anggun. Pokoknya, pembekalan di PUSDIK CERGAM akan menimbulkan sikap percaya diri, sehingga “lagu apa pun yang dimainkan pihak sana, kita akan tetap terus bisa ikut menari”.

RAFIQ DAN NURUL MENYADARI, MENJADIKANNYATA RENCANA MEREKA untuk bersatu dalam sebuah rumahtangga, membutuhkan persiapan yang sungguh-sungguh. Terutama secara finansial. Kalau tergantung semata dari mereka berdua, sebetulnya tak ada yang perlu direpotkan. Mereka siap menerima keadaan yang paling sederhana dan paling seadanya sekali pun. Tetapi, itulah, mereka tidak mungkin bersilantasangan dengan mengabaikan saja orang-orang yang ada di sekitar mereka. Ada keterhubungan dengan mereka yang harus tetap dipelihara dan tetap disegarkan. Tidak boleh diabaikan dengan begitu saja. Maka tidak ada pilihan lain. Mereka harus kerja keras.

Pekerjaan utama Rafiq adalah rektor sebuah perguruan tinggi Islam, bagian dari Lembaga Pendidikan Islam “Andalusia”. Selain itu, dia juga menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi lain. Tetapi kegiatan-kegiatan itu belum memberikan penghasilan yang ideal, terutama karena dia harus ikut urun dana untuk memberlangsungkan kegiatan di PUSDIK CERGAM, yang disebutnya “medan pengabdian”.

Dan kini, menghadapi masaalah pribadi yang rada mendesak ini, Rafiq kembali merambah bidang penerjemahan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak terlalu asing, karena sudah pernah dilakoninya juga, hanya tidak dijadikannya prioritas. Dia jadi agak antusias, karena minat orang terhadap buku-buku agama yang diterjemahkan langsung dari bahasa Arab cenderung naik. Dia juga menawarkan diri untuk jadi editor tamu pada penerbit buku-buku terjemahan itu, untuk “membersihkan” dan “meluruskan” naskah-naskah yang hendak diterbitkan.

Nurul sendiri cukup beruntung. Pemimpin redaksinya orang yang sangat tanggap dan penuh perhatian. Ketika dia melihat Nurul amat betah berlama-lama berada di kantor, walau jam kerja sudah usai, dia tanya persoalannya. Dengan tersedak dan terbata-bata, Nurul bilang, dia menyiapkan tulisan-tulisan yang hendak dikirimkan ke media lain, untuk mendapatkan imbalan tambahan. Dia sangat memerlukan uang itu. Dia jelaskan duduk persoalannya. Pemimpin redaksi itu nampak sangat terkesan. Buntutnya, Nurul “dipromosikan” sang pemred ke kakak iparnya, yang jadi pemimpin majlis taklim wanita di sebuah bank asing. Dan sejak saat itu, setiap hari Jumat, bakda Zuhur, Nurul pun jadi penceramah di majlis taklim itu. Bagi lulusan Tarbiyah IAIN seperti dirinya, pekerjaan itu tentu membuatnya “enjoy aja!”. Yang penting, imbalannya jauh lebih memuaskan, dibandingkan dengan honor yang diterimanya dari sebuah naskah. Tetapi yang lebih penting lagi, adalah hikmah sampingannya : isteri para pembesar bank itu – yang Muslim tentunya – bergiliran memintanya memberikan ceramah-ceramah keagamaan (disebutkan dalam acara sebagai “Siraman Rohani”) pada acara-acara pribadi mereka, entah semacam majlis taklim juga atau sekadar arisan keluarga. Dan dana yang terkumpul dari waktu ke waktu, membuat Nurul bisa mengumbar senyum lebar.

TETAPI ALLAH RUPANYA PUNYA RENCANA LAIN UNTUK MEREKA. DAN tidak akan pernah ada seorang manusia pun yang tahu, apa yang ada di balik rencana Allah itu. Apa saja yang terjadi terhadap manusia, adalah atas kehendak Allah semata.

Kegiatan sampingan itu rupanya terlalu banyak menguras tenaga Rafiq. Daya tahannya runtuh. Dia pun jatuh sakit. Dokter yang dikonsul menetapkan, dia hanya dapat gangguan lambung, mungkin karena makan yang tidak teratur. Dia harus cukup banyak istirahat, sambil menjaga asupan makanannya. Nurul menanggulangi langsung masaalah asupan makanan itu.

Ketika seminggu berlalu dan keadaan Rafiq masih belum juga membaik, Nurul mulai risau. Bagaimana kalau Rafiq dirujuk ke rumahsakit saja? Rafiq malah tersenyum lebar, sambil bergurau, apakah dia sudah mulai kelihatan sekarat? Akhirnya Nurul hanya bisa berdoa, sambil menguat-nguatkan hatinya yang kian risau. Cemas, malah.

Sampai akhirnya tiba jugalah musibah itu. Masih subuh, pada hari ke delapan, rekan sekamar Rafiq menelpon. Dia memberi tahu, Rafiq sudah dibawa ke rumahsakit. Sejak lewat tengahmalam, dia terus meracau, suhu tubuhnya meninggi, geraknya tak terkendali.

Dan di Ruang Rawat Intensif itu Nurul menyaksikan Rafiq terlentang di tempat tidur, masih terus meracau. Kaki dan tangannya dikebat ke tempat tidur, supaya geraknya terkendali. Ternyata Rafiq bukan hanya sekadar terkena gangguan lambung, tetapi diserang oleh tifus. Ada indikasi, ususnya sudah terperforasi. Beberapa orang dokter dengan seksama sekali mengamati segala sesuatu. Tetapi tak nampak ada kemajuan yang berarti. Sepanjang hari krisis terus berlangsung. Dan selepas magrib, Allah rupanya memutuskan, yang terbaik bagi Rafiq adalah memanggilnya pulang, kembali keharibaan-Nya.

Nurul berusaha sekuatnya mengendalikan diri. Tak kunjung putus dia beristighfar. Terus beristighfar. Tetapi ketika jasad Rafiq mulai disucikan, sampai tiba juga dia pada batas daya tahannya. Dia pahami betul, seusai tindakan penyucian itu, maka perpisahan abadi di antara mereka akan segera terjadi. Membayangkan Rafiq berdiri di sisinya, tegak bersama menghadapi tantangan masa depan, hanya tinggal impian yang tak akan pernah mewujud. Dia tak kuat menghadapi pembayangan itu. Dia tak sadarkan diri.

SUDAH LIMA TAHUN BERLALU, SEJAK RAFIQ PERGI UNTUK SELAMA-LAMANYA. Tetapi Nurul masih saja terapung-apung dalam telaga kebimbangan dan ketidakpastian. Belum juga dapat memastikan arah, ke mana dia hendak menuju.

“Tahun ini aku tigapuluh dua,” desisnya kepada diri sendiri.--------------------------

===============================================================

M. Joenoes Joesoef, 75

Pensiunan Pertamina

Menulis untuk “cegat” pikun dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun