Seusai subuh pagi tadi, saya ke warung Ibu Firman, mau beli kopi instan. Bertemu dengan Pak D, sesama pensiunan. Dia beli rokok eceran.
“Mulai hari ini, Ibu Karen tidak lagi jadi Dirut Pertamina, ya,” kata Pak D.
“Betul,” kata saya. “Tanggal 30 kemarin sudah diadakan perpisahan dengan beliau di Kantor Pusat Perwira.”
“Sayang, orang sekualitas beliau tidak meneruskan tugasnya. Padahal, dengan pimpinan beliau, banyak hal yang telah dicapai Pertamina. Misalnya, tercatat di Fortune Global 500. Itu kan hasil usaha yang bukan main-main.”
“Tetapi kan beliau sendiri yang minta resign. Malah katanya sejak setahun yang lalu. Menteri BUMN, Pak Dahlan Iskan sudah juga berusaha menahan, tetapi tidak berhasil. Hanya bisa menunda, sampai akhir September ini.”
“Apa sih, alasannya?”
“Menurut yang saya baca semula, beliau hendak mengajar di Harvard. Sudah berulang kali panggilan datang dari sana. Tetapi kemarin ini, ada kabar, alasan beliau yang utama adalah agar dapat berdekatan dengan anak-anaknya. Beliau merasa, sudah terlalu lama berkutat terus dengan pekerjaan, sehingga keterhubungan dengan anak-anaknya terganggu. Ini yang ingin beliau perbaiki.”
“Saya kira, Pak J, ada alasan yang lebih elementer dari itu, terkait langsung dengan posisi beliau sebagai dirut sebuah perusahaan besar dengan peredaran uang yang jumlahnya sangat menggiurkan banyak pihak.”
“Maksud Pak D?”
“Sebagai profesional, tentu beliau berpegang teguh pada kaidah-kaidah profesionalitas yang independen dan rasional. Tidak dengan begitu saja dapat dicampurtangani atau diintervensi oleh pihak luar. Tetapi sudah menjadi rahasia umum, banyak pihak yang besar syahwatnya hendak masuk atau nimbrung ke Pertaminta, bukan dengan tujuan hendak memperbesar dan melancarkan jalan perusahaan, tetapi semata-mata untuk ikut menikmati apa yang ada di sana. Dengan tak malu-malu, mereka pamerkan mental penyerobot dan peminta-minta. Celakanya, ada kekuatan dan kekuasaan besar di belakang mereka, yang susah dilawan. Ini yang saya kira bikin Ibu Karen jenuh.”
“Analisa yang menarik, Pak D. Pikiran saya tak sampai ke sana. O, ya, Pak D dulu kan orang keuangan, ya? Pantas bisa analisa seperti itu. Sedangkan saya cuma tukang pipa dan tangki, he-he-he!”
“Bagi orang semacam Ibu Karen, memang berat menghadapi peminta-minta semacam itu. Ada fatsoen atau tuntunan tata susila yang menjadi batas. Kalau untuk orang-orang semacam kita, tentu mudah sekali penyelesaiannya. Tinggal kita semprot saja, “Apaan lu, minta-minta seenaknya! Memangnya ini perusahaan nenekmoyang lu?!?”. Selesai! He-he-he!”
“He-he-he! Bisa saja Pak D. Apa kata dunia, kalau Ibu Karen bertindak seperti itu.”
“Bagaimana pun, sayang juga Ibu Karen meninggalkan kita.”
“Meninggalkan Pertamina, tepatnya. Lha, kita ini kan sudah pensiunan, tidak berada dalam struktur Pertamina lagi, he-he-he!”
“Tetapi semangat korps harus dijaga, Pak J. Walau sudah jadi rongsokan seperti ini, umpama besi sudah jadi besi skrap, kita harus merasa masih tetap jadi bagian dari Pertamina. Nah, dalam hubungan inilah, saya merasa gumun juga.”
“Gumun?!?”
“Coba, kalau dalam masa kepemimpinan Ibu Karen, kita sempat mengalami kenaikan manfaat pensiun kita, kan elok jadinya. Ada kenangan teramat indah yang beliau tinggalkan untuk kita.”
“Wah, ini bisa dianggap semacam pamrih, Pak D, he-he-he!”
“Tidaklah! Kenaikan manfaat pensiun akan menjadi semacam hiburan bagi kita yang sudah jadi manula bangkotan ini, membikin hidup lebih tenang, sambil MPP.”
“MPP?!?”
“Menunggu Panggilan Penghabisan, he-he-he!”
Saya senyum miring. Kedatangan Izrafil disebut MPP. “Sadis” juga Pak D ini.
Setelah menyalakan rokok ketengannya, Pak D pamit. Jalannya sudah terseok. Beliau mengalami gangguan pada tulang belakangnya, sehingga harus terus menerus memakai semacam korset. Saya sendiri harus merasa bersyukur, dalam usia 76 ini secara fisik saya masih termasuk lumayan. Jalan masih tegak, masih bisa mencapai enam kilo dalam sejam. Ini rasanya berkah dari pekerjaan saya dulu. Sebagai tukang pipa dan tangki, setiap hari saya bisa memeriksa jalur pipa berkilo-kilo panjangnya atau naik turun tangki BBM yang tingginya bisa mencapai rumah bertingkat lima. Subhanallah!
Akhirulkalam, selamat jalan, Ibu Karen. Semoga Allah senantiasa melindungi Ibu dalam lingkungan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Cikunir, 1 Oktober 2014.
Eks 262612.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H