TELPON DI RUANGAN DISCHARGE ITU BERDERING. SARJU, FOREMAN DISCHAR-GE, sigap mengangkatnya, bilang “Discharge. Dengan Sarju.”
“Dengan saya, Ju.”
“Ada apa, Bos?” Sarju langsung kenal suara Edison Rambe, Supervisor Discharge.
“Saya sedang di PM Beta, baru selesai sonding MFO di “Buaya Laut”. Semuanya OK. Siap bongkar tigapuluh menit ke depan. Tetapi ada perubahan di darat. Kita tidak langsung pakai T15, tetapi T22 dulu, sampai safe capacity, baru switch ke T15. Jelas?”
“Waduh, kita belum sonding T22, Bos!”
“Nah, itu tugas kamu, Ju! Kerjakan segera! Awas, Ju, kalau sampai ada delay, kamu yang harus tanggungjawab, he-he-he!”
Sarju melihat jam. Pukul 01.30 dinihari sekarang! Betul-betul waktu yang tidak tepat untuk bekerja. Apalagi untuk melakukan sonding, memeriksa isi tangki timbun secara manual, menggunakan pita ukur baja. Untuk mendapatkan hasil dengan ketepatan maksimal, dibutuhkan ketelitian mengukur sampai ketinggian per milimeter. Kalau tangki timbun itu berdiameter besar, perbedaan ketinggian satu milimeter saja bisa berarti ribuan liter. Dan serunya, T22 itu punya diameter lebih dari tigapuluh lima meter!
Sarju menuju ke ruang anggota regunya. Dia menanyakan Ponco Nugroho. Seseorang menjawab, “Sejak aplusan tadi, Ponco langsung menghilang, Pak Sarju. Pasti dia sekarang lagi nongkrong di booster pump. Hobi dia sekarang kan bersepi-sepi, cari hepi, he-he-he!”
Memang betul. Ponco yang sehari-hari periang dan banyak candanya, akhir-akhir ini jadi pendiam dan pemurung. Agaknya Ponco sedang dilanda masaalah. Entah apa.
“Lha, ini mBah Sarwo juga tidak kelihatan. Ke mana beliau ini?” Sarju menanyakan Sarwo Sampurno, anggota regu paling tua, yang sekitar dua bulan lagi akan memasuki MPP, Masa Persiapan Pensiun.
“Sekarang ini kan malam Jumat Kliwon, Pak Sarju. Tentu saja mBah Sarwo tidak alpa bersamadi. Entah di atap tangki mana beliau bertengger sekarang.”
Sarwo Sampurno memang penganut aliran kebatinan yang yakin dan teguh. Giliran tugas malam adalah saat-saat yang paling dia senangi. Apalagi di waktu yang akhir-akhir ini, ketika praktis dia sudah dibebaskan dari tugas rutinnya sebagai anggota regu discharge. Edison bilang, “Saya tidak mau disalahkan, kalau sampai terjadi apa-apa pada mBah Sarwo, menjelang beliau purna tugas.” Maka dia pun leluasa bersamadi di atap tangki penimbun mana saja. Di sana, tak akan ada yang mengusik atau mengusili, sehingga dia bisa khusuk sekhusuk-khusuknya.
Ponco memang sedang berada di ruang operator booster pump. Ruang itu sangat hening, karena dinding-dinding kaca rangkap membuatnya kedap suara. Sengaja dibuat begitu, supaya para petugas tidak jadi korban kebisingan yang sudah melewati ambang batas, ketika pompa-pompa berdaya ratusan tenaga kuda itu dioperasikan.
Wajah Ponco letih dan kuyu. Matanya merah berkaca-kaca. Ya, Tuhan, dia mendesah, harus beginilah rupanya kemelut ini diakhiri. Aku tak punya jalan lain, tak punya lagi pilihan. Ampuni aku, Tuhan.
SEMUA BERAWAL SETAHUN LALU, SAAT DIA DITELPON AYAHNYA DARI SOLO. Ayahnya bilang, Bagong Sanyoto sudah bebas dari penjara. Ponco supaya hati-hati dan waspada. Ada kemungkinan Bagong Sanyoto hengkang ke Jakarta, karena ruang geraknya di Solo sudah sangat sempit.
Bagong Sanyoto itu pamannya, adik bungsu ayahnya dari lain ibu. Sepanjang hidupnya, laki-laki itu tak pernah jadi orang baik-baik. Dia terus keluar masuk penjara. Terakhir, dia dihukum delapan tahun, karena merampok toko emas, sekaligus membunuh pemiliknya.
Dan memanglah, pada suatu hari, Bagong Sanyoto sudah mencogok saja di kediamannya. Sambil melihat-lihat rumah kreditan BTN itu, dia berkomentar, “Kamu ini sangat beruntung, Cok. Umurmu baru tigapuluhan, tetapi lihatlah, hidupmu sudah cukup mapan. Pekerjaan, rumah, kendaraan, semuanya kamu sudah punya. Coba lihat diriku. Sudah hampir setengah abad, tetapi apa yang kupunya? Tidak satu pun.”
Tanpa basabasi, Bagong Sanyoto bilang, dia mau ikut tinggal di situ, sambil cari-cari rejeki. Ponco maklum belaka, apa yang dimaksud pamannya dengan cari-cari rejeki itu. Tentu perbuatan maksiat lagi. Tetapi mau bilang apa dia? Sulit menghadapi orang yang tak punya acuan moral semacam pamannya itu. Kalau merasa diusik atau terusik, pasti dia bisa berbuat apa saja.
Bagong Sanyoto cepat menemukan “komunitas” yang cocok. Lalu mulailah olah cari-cari rejeki itu. Lalu mulailah pula dia pulang dalam keadaan mabuk, lengkap dengan omong dan perilaku sembarangan. Maka hampir setiap malam Ponco merasa risih terhadap para tetangga. Sampai akhirnya terpaksa juga dia berbicara terbuka kepada pamannya.
“Apa hak kamu melarang aku minum-minum dan mabuk, Cok?!?”
“Saya bukan melarang atau apa, Paklik. Mau minum atau mabuk itu urusan Paklik sendiri. Saya cuma minta, jangan lakukan itu di sini. Kita harus menjaga perasaan tetangga, Paklik. Harap Paklik mengerti.”
“Kalau aku tidak mau mengerti?!?”
“Ya, jangan tinggal di sini!”
Maka memberangsanglah Bagong Sanyoto, berkoar dia, “Lho, kamu mengusir aku, Cok?!? Jangan semberono, lho, kamu! Bisa kualat kamu! Jangan mentang-mentang hidupmu sekarang sudah mapan, kamu mau perlakukan aku seenak udelmu. Ingat, Cok! Aku bisa saja menghancurkan kemapananmu itu dalam sekejap mata, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku. Paham kamu?!?”
Semacam rasa dingin tiba-tiba mengaliri tubuh Ponco saat mendengar ujaran pamannya itu. Dia sadari, ke arah mana pamannya itu hendak membawa pembicaraan itu. Dan seperti itulah yang memang terjadi.
“Kamu jangan pura-pura lupa, Cok, bahwa aku, bapakmu dan kamu sendiri sama-sama masih punya sangkutan dengan Karyonyoto, mbahmu itu, orang yang KTP-nya diberi tanda OT,” Bagong Sanyoto menandaskan. “Yang membedakan antara aku dan kamu itu cumalah keberpihakan nasib saja. Nasib baik berpihak kepada kamu, sedang aku terlempar ke sisi nasib yang jelek. Seumur hidup aku tak punya kesempatan menjadi orang baik-baik, karena cap yang sudah ditempelkan ke jidat bapakku itu. Kemana-mana aku selalu terhalang jalan buntu. Beda dengan kamu, Cok! Segala-galanya nampak mudah buat kamu, padahal tanda OT itu mestinya mengimbas juga kepada kamu. Ya, nasib itu memang tidak adil! Maka aku akan menggugatnya. Habis-habisan! Dan supaya gampang, aku akan memulainya dari diri kamu saja, Cok. Ingat-ingat itu!”
Ucapan Bagong Sanyoto itu bagai tangan-tangan kasar yang mengoyak paksa tabir-tabir yang sudah rapi dipasang Ponco sejak lebih sepuluh tahun yang lalu. Saat itu dia harus menjalani Litsus, Penelitian Khusus, ketika akan mulai bekerja di tempatnya sekarang ini. Dia sampaikan semua fakta dan data tentang keluarganya. Tentang bapak dan kakeknya. Tetapi tentang tanda OT yang melekat di KTP kakeknya, tidak dia sampaikan. Dia sadar betul, itu adalah sebuah perjudian yang sangat besar taruhannya, karena di perusahaan vital begini, samasekali tak ada tempat bagi mereka yang ada bau-bau hubungan dengan organisasi progresif revolusioner, sesedikit apa pun. Kalau pun dia lakukan juga perjudian itu, sandarannya hanyalah fakta tentang betapa masih lemahnya keterpaduan sistim administrasi di segala lapangan. Terbongkarnya kasus semacam itu acapkali hanya karena kebetulan belaka. Atau karena adanya laporan dari orang yang usil. Dan Bagong Sanyoto tak pelak berpotensi menjadi orang semacam itu.
Dan sejak koaran Bagong Sanyoto itu, mulailah hidup ini menjadi tidak terlalu nyaman bagi Ponco. Ada malam-malam, ketika dia bangun tergeragap, karena memimpikan Bagong Sanyoto datang menyeringai, sambil menyorong-nyorongkan KTP kakeknya yang bertanda OT itu. Kegalauan mulai membayangi hidup kesehariannya. Dan yang paling menikmati kegalauan Ponco itu adalah sang paman sendiri. Bagong Sanyoto memang orang yang sangat pintar menggunakan kesempatan, lebih tepatnya menyalahgunakan kesempatan. Sekarang ini, tanpa risih sedikit pun, dia bisa bilang kepada Ponco, “Cok, aku sedang kangen sama perempuan. Sudah lama aku tidak ketemu mereka. Tapi duitku tidak cukup, jadi kamu tambahilah. Sekalian dengan duit buat minum-minum. Tidak usah banyak-banyak. Duaratus saja sudah cukup.”
Dalam ketidakberdayaannya, Ponco berusaha mendamaikan diri dengan perilaku sang paman. Sampai akhirnya mencapai batas yang tak mungkin lagi dapat dibiarkan. Dan itu terjadi pada suatu saat, ketika pacarnya mampir dan Bagong Sanyoto memaksakan diri ikut berbincang. Dan cara pamannya itu memandangi pacarnya membuat dada Ponco serasa hendak meledak. Sungguh, pandangan pamannya itu adalah bagai pandangan ular sawah yang hendak menelan kodok mangsanya. Penuh keinginan dan nafsu. Dan tidak berhenti di situ saja, begitu pacarnya pamit, Bagong Sanyoto bilang tanpa sungkan, “Tak kusangka, Cok, kamu bisa punya pacar secantik Laksmi. Wajahnya sungguh nJawani, wajah yang sekian lama jadi impianku. Sungguh, rasanya aku sudah kepincut sejak pandangan pertama.”
“Kok Paklik omong ngawur seperti itu! Alangkah tak pantas!”
“Lho, jangan marah dulu, Cok, he-he-he! Apa yang aku bilang itu kan sebentuk pujian dan penghargaan kepada Laksmi. Dia betul-betul cantik, Cok. Kamu sungguh beruntung kalau sampai terkabul kawin dengan dia.”
“Mengapa tidak harus terkabul?!? Saya sudah meniatkannya sungguh-sungguh!”
“Ah, kamu jangan terlalu percaya diri, Cok! Jangan terlalu percaya diri!”
Bagong Sanyoto menyambung ucapannya dengan tertawa pendek, terdengar amat mengejek dan meremehkan di telinga Ponco. Apa maunya bajingan ini?
Beberapa waktu kemudian, menjadi jelaslah semuanya bagi Ponco, ketika Laksmi menelponnya. Laksmi bilang, pamannya itu datang begitu saja ke pemondokannya, sangat berbau minuman keras, dengan tingkahlaku memalukan. Bagong Sanyoto bicara macam-macam, memuji-mujinya setinggi langit, lalu bilang, perempuan seperti Laksmi adalah perempuan yang selalu menjadi idamannya. Laksmi malu sekali kepada rekan-rekannya sesama pemondok.
Begitu pamannya itu pulang, Ponco muntahkan segenap kejengkelan dan kekesalannya. Hampir saja dia tak kuasa menahan diri untuk menerocoskan seluruh perbendaharaan kata-kata kasarnya, kalau tidak tiba-tiba ingat, bagaimana pun juga, orang yang ada di hadapannya ini adalah pamannya sendiri, yang tetap harus dituakan.
Mengherankan juga bagi Ponco, sekali ini Bagong Sanyoto tidak reaktif menghadapi sikapnya itu, tidak ditunjukkannya keberingasan untuk memukul balik, seperti kebiasaannya selama ini. Pamannya itu malah tersenyum panjang, memasang wajah teduh, seakan mengerti sepenuhnya, mengapa kemenakannya itu terbakar dalam kemarahan seperti itu. Tetapi semua itu sebenarnya hanya kepalsuan semata. Wataknya yang asli, manusia tanpa moral, dia tunjukkan kembali dalam ujarannya kepada Ponco, “Cok, aku tahu Laksmi itu pacar kamu sejati. Aku juga tahu, kamu memang sungguh-sungguh berniat hendak mengawini dia. Tetapi, Cok, aku harusterus terang kepada kamu tentang perasaanku kepada Laksmi. Seperti yang pernah aku bilang, sejak pertama kali melihat dia, aku sudah kepincut amat sangat. Makin lama aku makin tidak dapat melupakan dia. Wajahnya terus saja terbayang-bayang. Rupanya aku sudah jatuh cinta kepada Laksmi, Cok. Maafkan kekurangajaranku ini, Cok, kalau kamu menganggapnya begitu. Tetapi aku tidak bisa – dan tidak boleh – mendustai perasaanku sendiri, kan? Ah, Cok, aku betul-betul mencintai Laksmi. Aku sudah banyak bergaul dengan perempuan, Cok. Dari golongan apa saja. Tetapi belum pernah perasaan seperti ini menguasai diriku. Aku belum pernah jatuh cinta kepada mereka. Perempuan-perempuan itu hanya kupakai. Tidak lebih dari itu. Tetapi sekali ini lain sekali. Aku betul-betul menginginkan Laksmi mendampingi hidupku, menjadi teman hidupku, bukan hanya sekadar sebagai perempuan yang kuperlukan untuk memenuhi hasratku. Kamu tentu mengerti, Cok, bagaimana rasanya orang yang jatuh cinta. Rasanya aku tidak bisa hidup wajar, kalau aku tidak didampingi Laksmi. Maka aku meminta kepadamu, Cok, bahkan memohon, supaya kamu merelakan Laksmi untukku. Tolong beri paklik kamu ini kesempatan, sekali saja dalam hidupku yang moratmarit ini, untuk menikmati kebahagiaan hidup sebagaimana sudah dikenyam oleh banyak orang lain. Aku yakin, kamu mengerti apa yang jadi kehendakku ini, Cok, sehingga kamu akan merelakan Laksmi untukku. Kamu sendiri kan masih muda, Cok. Masih banyak kesempatan untuk mencari penggantinya.”
Tak tahu Ponco, bagaimana dia harus menggambarkan perasaannya, saat mendengarkan pengutaraan pamannya itu. Dia seperti kehilangan kata-kata. Hanya ada satu kata yang tersisa. Itulah yang didesiskannya, “Bajingan!”
Bagong Sanyoto cuma tertawa pendek mendengar makian itu, tertawa mengejek, lalu meneruskan hantamannya, “Terserah kamu mau bilang aku ini apa. Tetapi satu hal sudah jelas, Cok. Kamu tidak punya pilihan. Betul-betul tidak punya pilihan. Laksmi harus kamu serahkan kepadaku. Malah seharusnya kamu bersyukur, Cok, karena aku hanya ngrusuhi pacarmu. Bagaimana kalau aku juga ngrusuhi karirmu? Kalau itu yang kulakukan, kamu pasti akan jatuh terjerembab dan babakbelur. Karena kamu akan kehilangan dua pilar sekaligus, kemapananmu dan Laksmi. Jadi, Cok, pilihlah salah satu. Saranku, bertindaklah arif dan bijaksana.”
Tentu saja Ponco tidak mau kehilangan satu pun. Maka dia memang harus bertindak “arif dan bijaksana”. Apa yang dilakukannya kemudian sebetulnya hanya pengejawantahan dari naluri hewan yang berusaha membebaskan diri, setelah terjebak dalam perangkap.
Dan seperti itulah yang dilakukan Ponco siang tadi. Begitu Bagong Sanyoto jaga dari tidurnya, setelah masa mabuk beratnya yang panjang, langsung dia suguhi satu mangkok kopi panas, manis dan kental. Tetapi, sebelumnya, kedalam kopi itu sudah dilarutkannya berbutir-butir obat tidur yang keras. Dan kemudian selesailah segala sesuatunya, sesuai dengan yang direncanakan. Bagong Sanyoto nampak tenang terbaring di ranjang, bagai sedang tertidur nyenyak, sekali ini untuk selama-lamanya. Dan esok pagi, sepulangnya dari tugas malam, dia akan bikin sedikit ribut-ribut, kalau perlu ditambah dengan jeritan pilu, tangis dan airmata. Tetapi dia sendiri yakin, kabar itu tak akan mendapati tanggapan yang dramatis. Orang-orang yang mendengarnya malah mungkin akan merasa lega, karena orang brengsek itu sudah tidak ada lagi di lingkungan mereka.
DERING TELPON DI RUANG KEDAP SUARA ITU TERDENGAR LUAR BIASA KERAS, sehingga Ponco terlonjak kaget. Sarju memintanya segera kembali ke kantor. Dia harus sonding T22.
Dengan kepala dan hati yang masih berbuncah kacau, hati-hati Ponco menapaki staircase, tangga yang melingkar di dinding tangki. Anak tangga dari plat baja itu bisa menjadi licin karena dibasahi embun malam. Tangan kirinya memegangi railling, pagar tangga, sementara tangan kanannya menjinjing peralatan sonding.
Begitu sampai di atas tangki, Ponco mengatur dulu napasnya yang tersengal. Tepat pada saat itulah dia mendengar namanya diserukan. Tergeragap dia menoleh. Dan di sana, di penutup manhole – lubang laluan orang – yang terletak tepat di puncak tangki, ada seseorang duduk bersila. Dan orang itu adalah Bagong Sanyoto! Ya, Bagong Sanyoto! Dengan seketika Ponco kehilangan kendali dan keseimbangan diri. Dia terguncang amat sangat. Sambil menjeritkan kata “Tidak! Tidak!”, dia melompat kembali ke staircase. Dia lupakan anak tangga yang licin dan curam itu. Maka dia pun tergelincir. Jatuh berjumpalitan. Terbentur-bentur. Lalu terkapar di landasan beton yang keras dan pejal.
DENGAN TUBUH GEMETAR, mBAH SARWO TERPANA. TANGANNYA ERAT-ERAT memegangi pagar pengaman di atap tangki T22 itu. Tak bisa dia membayangkan, apa yang tadi merasuki kepala Ponco, hingga anak itu jadi begitu panik, ketika tadi dia menyapanya, menyebut namanya. Hanya sekadar itu.================================================
Catatan :
Discharge – bagian pembongkaran BBM (Bahan Bakar Minyak) pada instalasi perminyakan.
PM – Perancah Minyak, kade khusus tempat sandar kapal pengangkut BBM/tanker.
MFO – Marine Fuel Oil, minyak bakar/residu.
Safe capacity – kapasitas aman, batas pengisian tangki timbun yang diijinkan.
Delay – penundaan bongkar BBm dari tanker.
Booster pump – pompa pemindah BBM antar tangki, biasanya berkapasita besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H