Mohon tunggu...
M. Joenoes Joesoef
M. Joenoes Joesoef Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan Pertamina. Menulis untuk "cegat" pikun dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Bangkok, Cinta Bersemi

14 Juni 2014   16:03 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:46 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

JAKARTA MEMANG TAK PERNAH TIDUR. SELARUT APA PUN KITA BERADA DI jalan, masih selalu nampak ada kehidupan dan kegiatan, hanya intensitasnya saja yang sudah jauh berkurang.

Dalam suasana seperti itulah sekarang saya berkendara, seusai rapat koordinasi ketat dan panjang tentang keamanan kota. Sepenuhnya saya coba bersikap santai. Sampai tiba-tiba saya lihat ada kerumunan di bawah jembatan penyeberangan. Naluri polisi saya menyuruh segera injak gas. Melihat ada polisi, kerumunan itu menyibak. Saya lihat Volvo biru berhenti dalam posisi agak menyerong. Sesosok perempuan tertelungkup di aspal, tepat di moncong mobil. Wajahnya berpalimg ke kanan. Lengan kiri terlipat di bawah dada. Lengan kanan terentang ke atas, hampir tepat menyangga kepala. Darah mulai membasahi lengan itu. Agaknya ada perlukaan di kepala. Saya periksa denyut nadi sosok perempuan itu. Masih cukup normal. Saya lihat perlukaan yang terjadi. Tidak terlalu fatal, hanya goresan di kening.

Salah seorang satpam perkantoran di sekitar ikut mengatur keadaan. Dia lapor, sudah hubungi “satu satu delapan”, maksudnya ambulans 118. Dia serahkan pula dompet yang dia “amankan”. Saya hubungi markas, supaya kirimkan petugas patroli ke tempat kejadian.

VOLVO ITU DIKENDERAI ANAKMUDA DUAPULUHAN, DENGAN DANDANAN PAS “semangat jaman”. Di sampingnya ada seorang gadis belia dengan dandanan tak kalah mutakhir. Mereka duduk meringkuk di dalam mobil, dengan kaca-kaca tertutup, sementara di sekeliling banyak orang berkerumun, terkesan mengepung mereka.

“Ini bukan salah kita, Pak,” kata anakmuda itu, ketika saya tanya. “Dianya nyang gitu aja ngedadak nyelonong mau nyebrang, padahal mobil kita udah deket banget. Kita udah ngerem kuat-kuat, tetep aja kagak bisa ngindarin dianya. Tetep aja dianya keseruduk. Kagak keras-keras amat, sih. Karena mobil memang kagak kita jalanin kenceng-kenceng amat, Pak. Dianya kagak sampe mental, kok. Cuman rada kedorong aja. Gitu kejadiannya, Pak. Betul gitu, Pak. Suer, Pak.”

“Memang betul begitu, Komisaris!” satpam itu menimpali.

“Anda jelas menyaksikan?” tanya saya.

“Siap, Komisaris! Jelas menyaksikan! Saya sudah perhatikan perempuan itu, sejak dia turun dari jembatan penyeberangan, karena kelakuannya rada aneh. Seperti orang bingung atau linglung. Dia jalan mondarmandir. Sekali dia naik kembali ke atas jembatan, melihat-lihat ke bawah, bikin saya degdegan, jangan-jangan dia mau lompat dari situ. Untung dia turun kembali. Tetapi, itulah, tanpa lihat kiri kanan, dia langsung menyeberang, padahal Volvo ini sudah sangat dekat. Maka kecelakaan pun terjadi.”

SAYA PERIKSA DOMPET PEREMPUAN ITU. TERNYATA DIA WARGA FILIPINA. Namanya Maria Isabella Anastasia Corazon. Usia tigapuluh dua. Pekerjaan di bidang hiburan, “entertainment”. Di samping paspor, ada surat keterangan lapor diri pada instansi kependudukan di wilayah tempat tinggalnya. Dia sudah sekitar dua tahun berdiam di Jakarta, dengan status sebagai isteri seorang warganegara Indonesia, Baharudin Jamal. Alamatnya ternyata tak jauh dari tempat kejadian. Saya putuskan mendatangi alamat itu.

Seorang laki-laki empatpuluhan tak menyembunyikan rasa herannya, melihat ada polisi datang larut malam.

“Ada apa, Pak?!?” dia tanya.

“Maaf, mengganggu. Apakah betul Mrs Corazon tinggal di sini?”

“Betul……” dia melirik label nama saya, “….Pak Hartawan. Tepatnya di sebelah. Kalau ada urusan dengan dia, saya bisa bantu bangunkan. Dia memang biasa tidur sore-sore.”

Dia buka pintu pagar, sambil berkata lagi, “Tetapi, omong-omong, ada apa dengan Mrs Corazon, Pak Hartawan? O, ya, saya Budi Hartono, Pak, panggil Budi saja.”

Saya ceritakan apa yang terjadi. Agak diluar dugaan saya, cerita itu telah membuat Budi nampak sangat terpukul. Cukup lama dia seperti nanar. Lalu dia ucapkan dengan sendu, “Poor Maria! Apalagi yang terjadi dengan kamu? Tak putus-putusnya kamu dirundung malang!”.

Saya pikir, Budi banyak tahu tentang Mrs Corazon ini. Maka saya ajak dia ke rumahsakit. Ternyata Maria – Mrs Corazon dalam sebutan Budi – belum keluar dari unit gawat darurat. Kami masih harus menunggu. Sementara waktu berlalu, Budi nampak bertambah gelisah. Dan dalam keadaannya yang seperti itulah dia bercerita tentang Maria.

BAHARUDIN JAMAL REKAN BUDI HARTONO DALAM USAHA WISATA YANG hendak menjaring wisatawan Asia Tenggara berkunjung ke Indonesia. Dalam kaitan itu, sekitar empat tahun lalu mereka menetap di Bangkok, memimpin langsung usaha promosi wisata itu. Tujuan mereka adalah memperkenalkan tanahair kita kepada para wisatawan yang lalu lalang di jalan-jalan mau pun yang sedang menikmati hiburan di klub-klub malam, bar dan tempat-tempat rekreasi lain. Mereka dibantu beberapa pegawai lokal, termasuk Maria, mantan hostess salah satu klub malam di Petchburi.

“Sebetulnya, sebagai Muslim, walau masih jelek betul, berat sekali buat saya berkunjung ke tempat-tempat hiburan seperti itu, Mas Hartawan,” kata Budi. “Keadaannya sering demikian vulgar dan blak-blakan, sangat keras menonjok keimanan dan moralitas kita. Saya tak putus tanya hati sendiri, dosa atau tidak berkunjung ke tempat-tempat orang melakukan maksiat secara terbuka dan terang-terangan seperti itu. Tetapi Baharudin bilang, segala sesuatu itu tergantung dari niat. Apakah niat kita berkunjung ke situ karena hendak berbuat maksiat juga? Tentunya tidak. Kita hanya sekadar mencoba mencari celah dan kesempatan mempromosikan usaha kita. Apa jeleknya itu? Tidak ada. Tetapi saya selalu merasa waswas, kalau-kalau tanpa disadari, tiba-tiba saja kita sudah berada di sisi yang lain. Dan terjerumuslah kita kedalam dosa.”

Dalam setiap kunjungannya, Budi selalu memesan minuman non-alkohol. Diprovokasi bagaimana pun oleh hostess yang menemaninya – salah seorangnya Maria --, pilihannya tidak pernah berubah. Kata Budi, “Kalau ada yang minta ditraktir minum, saya tidak keberatan. Tetapi yang dipesan tetap harus minuman non-alkohol. Saya bilang dengan gaya Singapura, “You like, you take. You don’t like, you don’t take”. Di sana saya dikenal sebagai Mister Softdrink. Tak urung, kebiasaan saya itu mereka protes dan keluhkan terang-terangan, hal yang dapat saya pahami, mengingat mereka akan dapat penghasilan tambahan sekian persen dari harga minuman yang dibeli tamu. Maka mereka sering saya beri kompensasi dengan tip yang melebihi biasanya.”

Maria pernah menanyakan, apa alasan Budi yang paling logis, maka pilihannya selalu minuman non-alkohol. Budi bilang, demi menyelamatkan kantong dan memelihara kesehatan. Maria mengkelahnya, “Omongkosong soal berhemat dan jaga kesehatan itu, Budi. Sekali-sekali mencicipi Johny Walker atau vodka, pasti tidak akan bikin kamu jatuh miskin atau menggeletak sakit. Lagi pula, apakah minuman non-alkohol pasti tidak merugikan kesehatan? Siapa tahu, kamu bisa dapat diabetes karenanya. Come on, Budi. Tell me the truth!”

“Kalau kamu mau tahu juga, Maria, alasan yang sebenarnya adalah larangan agama. Tetapi saya tak mau membicarakan hal itu lebih lanjut, apalagi di tempat seperti ini.”

“Apakah karena tempat ini penuh dosa dan pendosa, maka kamu anggap semua orang di sini tidak beragama, Budi? Janganlah begitu. Sejelek-jeleknya pekerjaanku, aku tetap merasa seorang Katolik, tetap merasa beragama. Jadi, apa susahnya bicara soal agama denganku atau di hadapanku? Come on!”

“Maria, saya harus bilang, sebagai Muslim, saya dilarang keras tanpa dapat ditawar-tawar, diharamkan, mengkomsumsi minuman beralkohol, berapa pun kadarnya. Siapa saja yang melanggarnya, berdosa. Tuhan akan mengganjarnya dengan hukuman setimpal.”

“Mengapa harus ada larangan seperti itu, Budi?”

“Mungkin kalau hendak dijawab secara rasional dan empirik, tentulah karena minuman seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi manusia, malah merugikan kesehatan. Tetapi inti tanya kamu itu sesungguhnya menyentuh soal keimanan, soal percaya atau tidak, soal yakin atau tidak, terhadap apa yang sudah diputuskan Tuhan untuk dijalankan manusia. Kalau Tuhan sudah melarang, taatilah. Tak usah tanya-tanya lagi soal mengapa, apa sebabnya dan macam-macam lagi. Tak akan pernah ada jawabannya. Kalau pun ada, sangat parsial, bagian per bagian, yang berpotensi menimbulkan pertanyaan berikutnya.Itulah sebabnya, kepada kami, sebagai muslim, diajarkan supaya mendengarkan atau menyimak apa yang sudah jadi ketetapan Tuhan, lalu menaatinya.”

Maria sangat terkesan dengan jawaban Budi itu. Tak disangkanya samasekali, hal yang semula dianggapnya sepele itu ternyata ada dasar-dasarnya yang fundamental. Dia merasa harus lebih menghargai Budi. Dan itu diejawantahkannya dengan sapaan “Brother”, sapaan yang dikembangkan kalangan “Black Moslem” di Amerika.

“Hubungan saya dengan Maria berkembang menjadi keakraban yang mempribadi,” kata Budi. “Ada hal-hal tentang dirinya yang dia beberkan secara terbuka kepada saya. Makanya saya tahu, maksud utama berangkatnya Maria ke Bangkok adalah untuk menghindarkan tindakan kurangajar bapak tirinya. Dia berharap, di Bangkok dia bisa bergabung dengan seorang sepupu, yang bermain band pada salah satu tempat hiburan di Petchbury. Maria adalah penyanyi yang baik. Sayang, dia diberitahu, sepupunya itu sudah tewas, ketika terlibat perkelahian dengan serombongan preman pemeras. Maria merasa tergelincir jatuh ke lubang gelap pekat. Tangannya segera menggapai-gapai apa pun yang dapat tergapai, untuk menghambat dia jatuh tergelincir lebih dalam. Bagaimana pun, dia perlu mempertahankan hidupnya. Dan jadilah dia seorang hostess. Dan dalam posisi seperti itulah dia saya jumpai pertamakali. Apa pun pandangan orang, sendiri Maria merasa, dirinya termasuk orang yang beruntung. Banyak orang yang seperti dia harus berjumpa dengan nasib yang lebih malang. Jadi penari bugil. Jadi gadis panggilan.”

Mengalir begitu saja, tumbuh simpati Budi kepada Maria. Dia, seorang penganut Katolik baik, yang sejak kecil sudah diajarkan tentang kesucian dan dosa, ternyata harus menjalani hidup di kutub yang sangat bertentangan. Tragis. Sering Budi mereka-reka, bagaimana kira-kira yang harus dilakukan, agar Maria terbebaskan dari kehidupan seperti itu. Pernah diajaknya Baharudin diskusi. Sayang, sambutan rekannya itu sinis sekali. Kata Baharudin, “Bud, kubilangi kamu, ya? Sebaiknya kamu tidak terlalu terlibat secara emosional dengan orang-orang semacam Maria itu. Kita tahu, dalam kehidupan macam apa mereka berada, norma-norma macam apa yang mereka pegang, teknik-teknik macam apa yang mereka pakai untuk memikat pelanggan. Sudahlah, Bud. Dunia mereka itu kan dunia yang sangat khas. Di situ sudah sangat susah membedakan antara fact, fake dan false. Semuanya sudah campurbaur. Salah-salah, diri kita ini yang jadi korban. Sial betul, kalau sampai terjadi seperti itu. Sudahlah, kalau kamu mau pake mereka, pake saja. Setelah itu, forget them!”

Baharudin memang bukan orang yang mau berpikir dalam-dalam atau berpegang erat pada prinsip-prinsip keagamaan. Seperti yang sering dikatakannya sendiri, dia orang yang pragmatis dan adaptif. Gampang sekali dia sesuaikan diri dengan tempat dan suasana apa pun. Jelas Budi tidak bisa seperti Baharudin. Maka dia tak bisa menghentikan pikirannya tentang Maria. Lebih-lebih setelah pada suatu hari, dengan panik, Maria menemuinya dan langsung bilang, “Brother, tolong aku! Boss memaksaku melayani laki-laki yang telah membayar kepadanya. Tetapi aku tidak mau. Aku bukan penjual diri. Tidak akan pernah begitu. Kalau aku dipaksa, aku akan bunuh diri! Brother, help me, please!”

Budi terlecut dengan sangat keras. Dan syukurnya, dalam suasana kritis seperti itu, Baharudin ternyata ikut terlecut juga. Dia setuju kantor mereka dijadikan semacam tempat suaka bagi Maria. Dan sadar terhadap hal-hal buruk yang mungkin dilakukan tukang-tukang pukul bayaran sang boss, disediakanlah pengawal-pengawal khusus. Mereka adalah pemuda-pemuda Indonesia yang tidak jelas identitasnya dan gentayangan seenaknya di Bangkok, entah mengerjakan apa, tetapi diduga ada hubungannya dengan peredaran narkoba. Mereka orang-orang nekad, sedikit sekali menghargai hidup, juga hidupnya sendiri. Dan ini rupanya membuat pihak lawan respek. Tidak ada gerakan apa pun dilakukan. Maka amanlah Maria. Kemudian hari Maria malah menjadi bagian dari perusahaan mereka.

BAHARUDIN SEMULA TIDAK MENUNJUKKAN KEPEDULIAN KHUSUS TERHADAP keberadaan Maria. Sikapnya sangat seadanya. Mungkin dia pikir, apalah Maria, dengan latar belakang hidupnya selama ini.

Maria menyadari sikap Baharudin itu. Tetapi dia tidak berburuk pikir. Dia malah mengolah unsur-unsur positif dalam dirinya dan mengejawantahkannya dalam kerja sehari-hari. Hasilnya nyata. Banyak sasaran menggaet wisatawan dapat terpenuhi, karena kinerja Maria.

Fakta inilah yang mungkin menyebabkan pada suatu saat Baharudin berubah sikap. Dia mulai memperhatikan Maria. Dia mulai mendekati Maria, bahkan dengan sikap rancu, seolah-olah baru pada saat itulah dia mengenal Maria. Dan dia pun mulai mengajak Maria berkencan.

Semula Budi waswas, jangan-jangan apa yang dilakukan Baharudin itu hanya terdorong oleh gejolak kesepian kelelakiannya semata. Apa dia bukan cuma mau meneruskan kebiasaannya selama ini, pake, lalu forget them? Kalau begitu benarlah yang terjadi, Budi bertekad hendak turun tangan, ikut campur, intervensi. Soalnya, dia yakin sekali, Maria bukan perempuan yang dapat diperlakukan seperti itu. Akan menyakitkan betul bagi Maria, kalau Baharudin sampai salah tindak.

Ternyata waswas Budi itu semacam peringatan dini yang rada-rada paranoid. Baharudin tidaklah seburuk itu. Bahkan dia kemudian memberi pernyataan resmi, bahwa dia mencintai Maria, karena “betapa pun kehidupannya di masalalu berwarna abu-abu, pada diri Maria aku mendapati seorang perempuan yang punya prinsip dan mau berkelahi untuk mempertahankan prinsip itu. Aku sangat menghargai perempuan seperti itu. Karena itu aku menganggap Maria pantas kujadikan isteri dan kawan hidupku. Dia akan cukup handal mendampingiku dalam perjuangan hidup nanti. Aku akan mengawininya, Budi. Tolong beri doa restu, ya?”

Kata Budi, “Terus terang, Mas Hartawan, pengakuan Baharudin itu sangat mengejutkan saya. Sudah cukup berpikir panjangkah dia tentang keputusannya hendak mengawini Maria itu? Sudah dia pertimbangkan dengan matangkah segala konsekuensi yang bakal dihadapinya? Soalnya, saya tahu betul, Baharudin berasal dari suatu kaum, yang masih sangat ketat memelihara dan melaksanakan adat istiadat nenek moyang. Banyak urusan yang tak dapat dilakukan dengan sertamerta. Segala sesuatu harus melalui pertimbangan yang panjang dan berkeliuk berkelindan. Salah satunya adalah urusan perkawinan. Apalagi kalau dikaitkan dengan beda bangsa dan beda agama. Saya coba ajukan itu kepada Baharudin. Tetapi rupanya dia sudah mantap dengan niatnya itu. Dia siap menghadapi segala resiko. Demikianlah, Baharudin pun mengawini Maria. Delapan bulan kemudian mereka kembali ke tanahair. Enam bulan sesudah itu saya menyusul. Dan segera saya saksikan, apa yang saya kuatirkan selama ini, sudah menjelma jadi kenyataan.”

Perkawinan Baharudin dengan perempuan asing, Nasrani pula, memarakkan kemarahan di kalangan keluarga besarnya. Tidak seorang pun yang mau menerima kenyataan itu, apa pula merestuinya. Bahkan ibu kandungnya yang begitu lembut hati menolak kunjungan silaturahmi dari dirinya dan Maria. Dia merasa tersiksa juga. Tetapi dia pun merasa perlu menunjukkan, sebagai laki-laki dia harus punya prinsip. Orang lain selayaknyalah menghargai prinsipnya itu. Lihatlah, dia telah memilih Maria dan dia akan berketetapan hati dengan pilihannya itu. Tidak dia gubris apa pun yang dikatakan keluarganya. Juga tidak dia acuhkan tindakan pengucilan yang dilakukan kemudian.

Tetapi sesungguhnya yang lebih menderita dan tersiksa adalah Maria. Di tanah airnya yang baru ini dia merasa tidak disambut dengan tangan terbuka, apa pula dengan hati yang hangat dan bersahabat. Bahkan seperti sebaliknyalah yang terjadi. Kaku dan dingin. Nyaris beku. Betapa jadi sempitnya dunia ini terasa. Jadi terbatas betul ruang tempatnya bergerak. Satu-satunya manusia lain yang selalu ada di sisinya cuma Baharudin. Cuma dia. Ah, sepi sekali.

Budi bilang, “Pulangnya saya ke tanah air cukup melegakan perasaan Maria. Dia merasa punya teman untuk curhat dan berbagi rasa. Sekaligus juga tempat berlindung, karena saya masih seorang “Brother Budi” baginya. Tetapi saya merasa perlu cepat-cepat merevisi persepsinya itu. Betapa pun, dia sekarang sudah bersuamikan Baharudin. Maka Baharudin itulah yang harus dia jadikan satu-satunya tempat berlindung. Tidak ada orang lain, siapa pun, yang boleh dijadikan andalan. Begitulah yang saya coba yakinkan kepada Maria. Sayang sekali, di kemudian hari terbukti saya “salah baca” tentang Baharudin. Dia tidaklah sekokoh yang saya bayangkan. Tidak pula segagah saat masih di Bangkok dulu, ketika dia ucapkan kesanggupannya untuk hadapi segala resiko. Dia mulai goyah terhadap sikap yang sendiri telah diambilnya, ketika keluarganya berbisik-bisik yang sengaja dikeraskan, untuk dia sebetulnya telah disiapkan calon isteri, masih termasuk sepupunya sendiri. Dan bukan calon isteri yang sekadar rupawan, tetapi juga menjadi pewaris tunggal dari seorang usahawan kayaraya, yang berniat meninggalkan dunia usaha, karena hendak menekuni dunia keagamaan semata. Seseorang semacam Baharudin tentu paham sekali, keandalan materi macam apa yang bisa disediakan oleh kesempatan semacam itu. Dia jadi tergoda sekali, meski dia paham pula, itu berarti perpisahan dengan Maria, perempuan asing dan Nasrani itu. Maka mulailah keadaan berubah. Baharudin menawarkan perpisahan dengan Maria, tentu saja dengan semacam kompensasi atau apalah namanya. Tetapi Maria menolak keras. Dia ingatkan semua janji yang pernah diucapkan Baharudin. Dia ingin janji itu ditepati. Tetapi perspektif pandangan Baharudin sudah menjadi sempit dan Maria sudah keluar dari perspektif itu. Dia tidak menggubris permintaan Maria. Malah dia mulai cari-cari dalih dan cara, agar Maria tersudut. Maka mulailah hidup Maria bagai terterungku dalam labirin, berputar ke arah mana saja, selalu bertemu jalan buntu. Rasanya insiden yang dialami Maria malam ini adalah akibat kemelut yang telah mencapai puncaknya. Poor Maria!”

“Jangan pesimistis, Mas Budi. Sepanjang yang saya lihat tadi, keadaan Maria tidak terlalu mengkuatirkan. Dokter pasti bisa mengatasi.”

“Itulah yang saya harapkan, Mas Hartawan. Saya sudah mereka-reka, bila semua kemelut ini telah berlalu, saya akan berikan Maria kehidupan baru. Kehidupan yang sesungguhnya sudah lama saya bayang-bayangkan, saya cita-citakan, akan saya jalani bersama Maria seorang.”

“Maksud Mas Budi?” tanya saya, karena ucapannya itu menurut saya out of context.

Dia tergelagap. Wajahnya jadi gimana, gitu. Agaknya dia terlanjur mengucapkan sesuatu, yang sesungguhnya tak ingin diucapkan. Cukup lama dia terdiam, baru kemudian bilang, “Ya, saya kira, saya harus terus terang sekarang. Maria punya arti khusus buat saya. Lebih dari hanya perempuan, tempat saya bersimpati. Saya mencintainya, mengasihinya, sejak masih di Bangkok dulu, terutama setelah dia tunjukkan keinginannya untuk menjadi orang baik-baik, dengan berani melawan perintah jual diri itu. Tetapi maksud mengutarakan perasaan saya itu selalu terganjal oleh kekuatiran, jangan-jangan kalau toh dia merespons, itu semata-mata karena merasa harus balas budi kepada seorang “Brother Budi”. Itulah yang saya tak mau. Saya tak ingin, kalau apa yang sudah saya lakukan itu dianggap punya pamrih di belakangnya. Ternyata saya keliru. Keliru sekali. Rupanya Maria juga mencintai saya. Cinta dengan segenap hati nuraninya. Dia sudah bukakan pintu gerbang hatinya selebar-lebarnya, siap menerima cinta saya utuh menyeluruh, kapan saja saya menyatakannya. Tetapi pernyataan saya itu tak kunjung datang. Ah, saya buta, saya dungu! Saya baru sadari semuanya, ketika Baharudin memutuskan melamar Maria. Dengan penuh sedu dukalara, Maria menemui saya. Dia bilang, tak mungkin dia menerima permintaan Baharudin itu, karena dia mencintai saya, karena dia mengharapkan sayalah yang melamarnya. Bahkan dia sudah bertekad menjadi muslimah, karena pada “Brother Budi” dia telah melihat contoh, betapa sebuah agama dapat membentuk pribadi yang tangguh, tak mempan cobaan dan godaan. Sayang, sudah terlambat. Perkembangan perasaan Baharudin terhadap Maria sudah jauh dan dalam. Sukar membayangkan, bagaimana akan terpukulnya dia, kalau fakta antara saya dan Maria ini dikemukakan kepadanya. Saya tak sanggup lakukan itu. Ada kedekatan khusus antara saya dan Baharudin. Bukan semata sebagai rekan usaha, dia sudah seperti saudara bagi saya. Maka saya memutuskan untuk mengalah. Saya malah sarankan dan dorong Maria untuk menerima lamaran itu. Saya yakinkan dia, Baharudin amat bersungguh-sungguh dengan keinginannya itu, yang tentu akan memberikan kebahagiaan yang menyeluruh kepada Maria. Ternyata saya melakukan kekeliruan lagi. Kekeliruan yang lebih parah. Saya telah menjebloskan Maria ke jurang dalam dan penuh penderitaan. Saya harus menebus dosa itu. Karena itulah saya bertekad, kalau segala karutmarut ini telah berakhir, saya akan ciptakan untuk Maria sebuah kehidupan baru. Semoga Allah membantu saya, amin!”

Saya termangu panjang. Kisah cinta yang seru dan rumit, pikir saya. Ada kekuatan menahan diri yang tangguh, ternyata sikap yang keliru. Ada rasa setia kawan dan kesediaan berkorban, ternyata diganjar dengan tak semestinya.

Tiba-tiba saya ingat sesuatu, saya bilang, “Mas Budi, dimana kita bisa hubungi Baharudin?”

“Sebaiknya Baharudin tak usah diajak ikutcampur, Mas Hartawan. Terutama pada saat-saat ini. Dia pasti akan merasa sangat terganggu.”

“Mengapa?”

“Karena malam ini adalah malam resepsi perkawinannya dengan saudara sepupunya itu, dirayakan secara meriah di Convention Hall.”====================================

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun