Ditulis untuk Retno Pratiwi, Retno Budiarti,
Budi Setiawan dan Retno Handayani.
Di manakah kalian sekarang?
NAMAKU RETNO PRATIWI, DISAPA WIWIK. AKU SULUNG DARI EMPAT BERSAU-DARA. Adik pertamaku Retno Budiarti, Atik sapaannya. Adik keduaku satu-satunya lelaki di antara kami, Budi Setiawan alias Wawan. Si bungsunya Hani, Retno Handayani.
Aku baru delapan tahun, kelas dua SD, ketika Mama mulai mengeluhkan sakit di kepalanya. Semula dikira sakit kepala biasa. Ternyata semakin lama semakin parah. Bahkan mulai mengganggu kegiatan Mama sebagai guru.
Mama pun memeriksakan diri ke dokter. Lalu dapat obat-obatan secukupnya. Ternyata sakit Mama tidak tuntas teratasi. Selama obatnya masih ada, Mama memang merasa sedikit nyaman. Tetapi setelah obat habis, serangan datang kembali.
Hari demi hari, Mama pun mulai berubah. Wajah Mama memucat. Tubuh Mama mengurus dan melemah. Sering aku menangis diam-diam menyaksikan keadaan Mama. Terutama karena aku betul-betul tidak tahu, bagaimana caranya dapat meringankan penderitaan Mama.
Puncak penderitaan Mama terjadi, ketika suatu hari Mama tak sadarkan diri, saat sedang berada di sekolah. Mama langsung dilarikan ke rumahsakit, langsung pula dirawat. Dan hari itu ternyata juga menjadi awal perpisahan kami dengan Mama. Sebagai anak-anak yang berusia dibawah tigabelas, kami tak diperkenankan menjenguk.
Tak adanya Mama di rumah tentu sangat tidak menyenangkan. Tetapi yang paling kehilangan Mama adalah Hani, yang baru dua tahun saat itu. Ada dua hari dia terus merajuk, ngambek. Di malam hari, dia hampir tidak mau makan, karena yang menyuapi bukan Mama. Tidak pula mau minum susunya, karena yang membuatkan bukan Mama. Pendeknya, semua serba salah bagi Hani.
Untungnya, di rumah kami ada Bibi Marsiti, Bibi Titi panggilannya. Bibi Titi adalah pembantu yang sudah lama ikut keluarga kami. Dulu, sebelum Mama dan Papa menikah, Bibi Titi ikut keluarga Eyang Puteri, ibu Mama, menjadi teman main Mama.. Begitu menikah, Mama minta ijin mengajak Bibi Titi ikut Mama, untuk menemani dan membantu-bantu.
Karena Mama dan Papa bekerja, sejak dari bayi, aku dan adik-adikku sudah diasuh Bibi Titi. Maka kami sangat akrab dengan Bibi Titi, serasa keluarga sendiri. Dengan bercanda, Mama sering bilang, kami berempat lebih tepat disebut “anak Bibi Titi”, karena Mama hanya sempat menemani dan mengasuh kami setelah malam hari atau hari-hari libur. Tetapi Bibi Titi memang memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Mungkin karena Bibi Titi tidak punya anak, walau pernah menikah, dengan seorang tukang listerik. Suaminya itu kemudian meninggal terkena setrum. Bibi Titi pun tak pernah menikah lagi.
Berkat kehadiran Bibi Titi, urusan rumahtangga berjalan lancar, seakan Mama tetap hadir di antara kami. Hani pun tidak lagi merajuk. Sekarang dia bisa kembali makan dengan lahap, disuapi Bibi Titi. Atau minum susunya, yang dibikinkan Bibi Titi. Bahkan Hani baru mau tidur, kalau dikeloni Bibi Titi.
Ternyata Mama tidak segera sembuh. Rupanya sakit Mama cukup berat. Sudah belasan hari Mama dirawat. Bagaimana keadaan Mama, hanya kami dengar dari Papa, yang hampir setiap hari mengawani Mama. Walau Papa selalu bilang, “Keadaan Mama baik. Mama titip cium sayang untuk kalian semua”, rupanya keadaan Mama yang sebenanya tidak seperti itu. Kulihat, wajah Papa kian murung. Malam hari, kalau berada di rumah, Papa sering tak bisa tidur. Duduk saja di depan teve.
Dan pada suatu hari, tiga minggu lebih setelah Mama dirawat, Papa pulang lebih cepat dari kantor, lalu mengajak kami menjenguk Mama. Alangkah girangnya kami. Langsung kami bersorak meriah. Dan aku sendiri, oh, aku sudah sangat rindu kepada Mama. Sampai bingung aku, bagaimana caraku nanti melampiaskan kerinduanku itu.
Tetapi, apa yang kami temui membuat kami luluh dalam kesedihan. Mama sudah tidak sadarkan diri. Mama samasekali tidak tahu lagi kehadiran kami, anak-anak yang disayanginya. Aku menyebut “Mama!” berkali-kali. Begitu pula Atik dan Wawan. Tetapi Mama tetap diam saja. Hanya napasnya yang terdengar memburu. Aku pun tak dapat lagi menahan tangis. Juga adik-adikku. Maka terisak-isaklah kami dalam dekapan Papa. Bibi Titi, yang menggendong Hani, juga nampak terisak-isak.
Sepulangnya dari rumahsakit, hatiku pun jadi kacau dan cemas. Bagaimana kalau pertemuan ini ternyata jadi pertemuan terakhir dengan Mama? Lalu Mama pergi meninggalkan kami? Aku berusaha keras menepis kekuatiran itu. Aku bilang kepada diriku sendiri, aku terlalu mengada-ada.
Tetapi memang begitulah rupanya kehendak Tuhan. Esok harinya, selepas subuh, Papa ditelpon pihak rumahsakit. Dengan bergegas, Papa pun berangkat. Baru pada saat petang sudah menjelang, Papa kembali. Matanya sembab. Wajahnya lelah.
Lalu Papa duduk bersila di karpet ruang tamu. Diajaknya aku, Atik dan Wawan duduk melingkarinya, lalu dirangkulnya kami. Hani juga hadir, dalam gendongan Bibi Titi. Dengan mata berkaca-kaca dan suara tersendat, Papa bilang, “Anak-anak, Mama sudah meninggalkan kita, lepas tengah hari tadi.” Lalu Papa menoleh kepada Bibi Titi, bilang pula, “Titi, mBakmu sudah tidak ada.”
Sekejap ruang tamu itu hening sepi, untuk kemudian dipenuhi dengan ratap tangis kami. Hani juga ikut menangis, mungkin karena terkejut melihat keadaan kami. Mungkin juga karena tubuhnya terguncang-guncang dalam dekapan Bibi Titi, yang ikut menangis tersedu-sedu.
KETIKA JENAZAH MAMA TIBA, KURANGKUL TUBUH KURUS YANG SUDAH BEKU dingin itu, sambil menjeritkan “Mama! Mama!”. Tetapi Mama tetap diam membisu. Ya, Mama memang akan tetap diam membisu selama-lamanya. Mama sudah pergi. Ke tempat yang jauh. Jauh sekali. Tak akan pernah bisa kembali. Aku pun meratap, mengeluh, bertanya, mengapa Mama tega meninggalkan aku, Atik, Wawan dan Hani? Kami masih membutuhkan kasih sayang Mama yang begitu lembut dan hangat. Mengapa, Mama? Mengapa Mama harus pergi? Dan sekarang?
Papa merangkulku, mengajakku beranjak dari jenazah Mama. Papa bilang, “Jangan meratap seperti itu, Wiwik. Tidak baik begitu. Seakan menyesali apa yang sudah terjadi. Ingat, kita ini, ya, bahkan segala sesuatunya di dunia ini, berasal dari dan menjadi milik Tuhan. Setiap waktu, jika Tuhan menghendaki, Tuhan dapat mengambilnya kembali. Seperti Mama sekarang ini. Mari kita ikhlaskan kepergian Mama. Kita doakan saja, semoga Mama mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan.”
Benarlah kata Papa itu. Maka, kepergian Mama harus kami ikhlaskan. Dengan iringan doa, semoga Mama diterima Tuhan dalam naungan kasihsayangNya, karena kasihsayang itu pulalah yang selalu diberikan Mama kepada kami, sepanjang hayatnya di dunia.
TAK BEGITU TERASA, DUA TAHUN SUDAH MAMA MENINGGAL. SEKARANG AKU sudah kelas empat SD, Atik kelas dua dan Wawan kelas satu. Sebetulnya tahun depan baru giliran Wawan sekolah, tetapi dia memaksa masuk sekarang. Sementara adik bungsuku, Hani, sudah pula masuk TK.
Tentu saja Mama selalu tetap berada dalam kenangan kami. Kasih sayangnya yang lembut dan hangat, mana mungkin kami lupakan. Kadang-kadang kami merasa pilu juga, karena sudah jadi anak tak beribu. Untunglah ada Bibi Titi. Berkat kehadirannya, tidak terasa benar beda keadaan kami sekarang dengan keadaan sewaktu Mama masih ada di antara kami.
Sepeninggal Mama, Bibi Titi yang membereskan semua urusan rumahtangga. Kata Papa, rumahtangga kami ini merupakan sebuah “pemerintahan” yang membawahi bagian-bagian “ekonomi”, “kesejahteraan”, “kesehatan”, “papan”, “pangan” dan lain-lain. Semua itu dibawah pengendalian Bibi Titi. Papa tentu juga ambil bagian. Sedikit. Papa hanya mengurusi bagian “keuangan” dan “luar negeri”.
Walau Bibi Titi selalu memperlakukan kami semua dengan perhatian dan kasihsayang yang setara, tetapi kami juga dapat merasakan, Wawan mendapat perhatian yang sedikit lebih besar. Jelasnya, Wawan adalah anak kesayangan Bibi Titi. Lihat saja, setiap Bibi Titi bikin penganan kecil, seperti misro, combro atau bakwan, Wawan pasti dapat jatah lebih. Pernah kami bilang, “Kamu memang enak, Wawan, dapat jatah lebih terus. Kami dapat dua, kamu dapat tiga.” Jawab Wawan, “Jatah lebih apaan? Itu kan jatah Bibi Titi, yang diberikan kepada Wawan. Wei, bolenye ngiri! Tak usyah, ya!”. Pernah kami mengeluh langsung kepada Bibi Titi. Jawab Bibi Titi, “Bukannya bibi tidak adil. Bibi hanya kasihan kepada Wawan. Dia kan sendirian. Cuma dia yang laki-laki, di antara kalian bertiga yang perempuan.” Jawaban yang tidak masuk akal, ya? Tetapi, sudahlah. Yang penting, jatah perhatian dan kasihsayangnya kepada kami tidak pernah berkurang.
Urusan kami yang tak banyak bisa dibantu Bibi Titi adalah soal belajar. Ya, dulu Bibi Titi memang tidak bisa sekolah dengan baik. Jadi terbatas sekali yang bisa dijawab Bibi Titi, kalau kami bertanya-tanya. Apalagi menghadapi Wawan, yang punya kebiasaan bertanya “Kenapa?”, setelah pertanyaannya sendiri dijawab. Papa saja sering kualahan, sampai sempat bilang, “Wawan, papa kepingin betul, deh, kamu itu bilang, “O, begitu, ya, Pa?”, kalau papa sudah jawab pertanyaan kamu. Jangan terus tanya, “Kenapa begitu, Pa?”, “Kok begitu, ya, Pa?”, padahal papa sudah jawab panjang lebar. Nah, pertanyaan kamu cuma satu, jawabannya bisa berjilid-jilid.”
Bibi Titi sendiri pernah berkata, “Kalian kan tahu, bibi ini cuma keluaran madrasah. Kalau soal belajar baca Qur’an, mungkin bibi bisa bantu. Kalau yang lain, bibi nyerah, deh. Apalagi kalau sudah Wawan yang nanya. Awak bibi jadi panas dingin.”
“Wawan, sih, jangan diladeni, Bibi Titi!” sela Atik, yang memang sering digoda Wawan dengan “pertanyaan berantai” itu. “Wawan kan orang yang sok tahu!”
“Tetapi sok tahu itu bagus juga, lho!” bela Bibi Titi. “Itu kan membikin orang jadi lebih banyak tahu. Nah, bibi usul, bagaimana kalau kalian bilang kepada Papa, supaya segera cari Mama baru. Tetapi orangnya harus pintar, seperti almarhumah Mama kalian. Jadi nanti kalian bisa puas belajar dan tanya-tanya.”
Aku tak senang dengar ucapan Bibi Titi itu. Kutukas segera, “Bibi Titi kepingin kami punya ibu tiri?!? Ih, tidak sudi!”
“Memangnya kenapa?” tanya Bibi Titi.
“Bibi Titi kan tahu sendiri, kayak apa ibu tiri itu. Galak. Sangar. Kejam. Pasti hidup kami akan jadi sengsara.”
“Ah, tidak semua ibu tiri begitu, Wiwik. Itu kan cuma cerita di film atau di teve. Terlalu dilebih-lebihkan. Pasti ada juga ibu tiri yang baik. Kalau Papa kalian cermat memilih, pasti akan menemukan ibu tiri yang baik itu. Bibi yakin.”
Tiba-tiba Atik menyela, “Buat apa, sih, omongin ibu tiri segala? Kan sudah ada Bibi Titi. Semuanya beres diurus Bibi Titi. Mau nyari apa lagi, sih?”
“Jangan lupa, Atik, bagaimana pun juga, bibi ini kan bukan keluarga kalian. Bibi tidak mungkin berada di rumah ini selama-lamanya. Sekali waktu, bibi mungkin harus pergi juga.”
Mendengar ucapan Bibi Titi itu, Wawan segera menghambur ke pangkuan Bibi Titi, membenamkan wajahnya di situ, lalu bilang dengan suara setengah menangis, “Tidak boleh! Bibi Titi tidak boleh pergi! Tidak boleh!”
Sejenak Bibi Titi terdiam, lalu dielus-elusnya rambut sang anak kesayangan itu, sambil berkata, “Siapa, sih, yang mau pergi, Wawan? Bibi kan cuma bilang mungkin. Baru mungkin, kok! Belum tahu jadinya kapan. Barangkali nanti, kalau kalian sudah besar-besar.”
“Tidak boleh! Bibi Titi tidak boleh pergi!” Wawan berkeras. “Bibi Titi mesti tinggal sama Wawan, kalau Wawan nanti sudah besar! Janji!”
Bibi Titi tersenyum. Didekapnya Wawan, katanya, “Iya, deh! Bibi tidak akan pergi. Bibi akan tinggal sama Wawan.”
“Sama Hani juga, dong!” kata Hani, sambil memeluk Bibi Titi.
“Enak aja!” Atik menyelak. “Memang Atik mau dicuekin? Kagak pake! Bibi Titi mesti tinggal sama Atik juga.”
Dan aku? Masak aku mesti diam saja?!? Dengan mantap aku bilang, “Jangan coba-coba tinggalkan Wiwik, ya? Bibi Titi juga harus tinggal sama Wiwik. Harus!”
KETIKA SUATU SAAT AKU DAN ADIK-ADIKKU SEDANG BERKUMPUL BERSAMA Papa, sambil bercanda aku omongkan usul Bibi Titi tentang mama baru itu. Papa menatap kami satu persatu, lalu berkata, “Papa juga sudah memikirkan itu.”
Aku terkesiap. Nah, lu, apa yang dipikirkan Papa, nih? “Pikirkan apa, Pa?!?” tanyaku tak sabar.
“Ya, sesudah dua tahun Mama kalian pergi, mungkin sudah waktunya untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Mama itu. Kebetulan, orangnya pun memang sudah ada.”
“Jadi, kami akan punya Mama baru, Pa?!?” tanyaku gugup.
“Begitulah. Tetapi jangan sebut Mama, cukup Ibu saja. Ingat, kalian hanya punya satu Mama, tak bisa digantikan oleh siapa pun.”
“Jadi, ibu tiri, Pa?” desak Atik.
“Sebut ibu saja, tak usah ibu tiri. Terdengar kurang enak.”
“Tetapi, apakah itu perlu, Pa?” aku penasaran. “Wiwik kira, sudah cukuplah kita punya Bibi Titi saja. Apa-apa sudah beres.”
“Itu betul. Tetapi jangan lupa, Wiwik, Bibi Titi itu, apalagi bagi orang luar, tetaplah cuma pembantu di rumah ini.”
“Walau pembantu, siapa yang bisa menandingi Bibi Titi? Buat Wiwik, Pa, Bibi Titi itu sudah seperti Mama saja. Jadi tak perlu ada ibu baru atau apalah namanya. Cukup Bibi Titi!”
“Ya, Pa! Cukup Bibi Titi saja!” tegas Atik.
“Sekali Bibi Titi, tetap Bibi Titi!” kata Wawan dengan suara mantap.
“Tetap Bibi Titi!” Hani ikut-ikutan.
Papa tersenyum lebar, katanya, “Semangat betul kalian membela Bibi Titi. Tetapi papa setuju, kok. Lagi pula, siapa yang bilang, kalau calon ibu baru kalian itu bukan Bibi Titi?”
Aku tertegun. Kucoba mencerna ucapan Papa itu. Segera aku paham. Setengah berteriak, aku bilang, “Jadi, Pa, calon ibu itu …….”
Papa memotong dengan tegas, “Ya, Bibi Titi! Siapa lagi!”======================
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H