Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sidang Ahok dan Tuduhan Penistaan Agama Tanpa Tabayyun

8 Januari 2017   05:15 Diperbarui: 8 Januari 2017   06:55 3021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Habib Novel, salah seorang pentolan FPI  menjadi saksi pelapor perbuatan penghinaan agama Islam yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Jakarta Utara menyampaikan pendapat bahwa masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu itu, iman mereka masih lemah. Sehingga mereka tidak memberikan reaksi apa-apa dengan pidato Ahok yang terselip di dalamnya penghinaan terhadap agama Islam. Hal itulah yang saya baca pada sebuah artikel yang ditulis oleh seorang kompasioner.

Itulah pendapat keblinger dari sesesorang yang tidak tahu bahwa hanya Allah yang mengetahui kadar iman setiap orang termasuk dirinya. Habib Novel yang selalu berpakaian Arab itu,  sangat membenci Ahok, dan menginginkan Ahok segera ditahan karena menghina al-Quran, kitab suci Umat Islam.  Ia hakkul yakin Ahok telah menghina agama Islam, karena demikianlah pendapat  Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia tidak peduli dengan penilaian bahwa fatwa MUI tersebut dikeluarkan tanpa didahului oleh tabyyun yang cukup,  yang justru diperintahkan langsung  oleh al-Quran. Jadi tanpa tabayyun, fatwa MUI  itu menjadi tidak sah dan merupakan perbuatan orang-orang  yang tergolong fasik, karena bisa menimbulkan fitnah dan bencana,  sebagaimana dijelaskan dalam surat  [al-Huijurât/49:6].

 Ayat itu mempunyai asbabun nuzul yang jelas. Dikisahkan seorang tetua suatu kaum yang baru masuk Islam  bernama  al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i,  menjanjikan kepada Nabi akan mengumpulkan zakat dari kaumnya. Zakat yang dikumpulkannya itu diminta untuk diambil pada hari tertentu oleh utusan Nabi. Maka pada hari yang ditetapkan itu, Nabi mengutus seorang sahabat,  al-Walîd ibnu `Uqbah, untuk meng-ambilnya.

Akan tetapi, setelah menempuh separuh perjalanan,  utusan Nabi itu berbalik pulang. Ia menemui Nabi, dan justru mengarang cerita palsu. Ia melaporkan bahwa ia tidak berhasil membawa zakat itu, karena ia diancam akan dibunuh oleh warga kaum itu. Pada waktu itulah ayat itu turun, memerintahkan Nabi untuk melakukan tabayyun, karena bisa saja  kabar itu disampaikan oleh seseorang yang fasik. Maka Nabi mengirim satu pasukan kecll untuk menemui al-Harits. Ternyata al-Harist  bersama sejumlah orang dari kaumnya juga berangkat untuk menemui Nabi untuk menyerahkan zakat yang berhasil dikumpulkannya.  

Di tengah jalan kedua rombongan itu bertemu. Al-Harits menanyakan mengapa tidak ada utusan yang menjemput zakat yang dijanjikannya, karena ia sudah menunggu kedatangannya sejak kemarin pagi. Jadi jelaslah bahwa kabar yang disampaikan utusan Nabi itu merupakan berita palsu. Al-Quran menyebut orang yang menyampaikan berita palsu itu  sebagai orang yang tergolong fasik. Al-Harits pun menemui Nabi dan bersumpah tidak pernah bertemu apalagi memberikan ancaman kepada al-Walîd ibnu `Uqbah.

Oleh sebab itu, tabayyun merupakan tindakan yang wajib dilakukan sebelum mengambil keputusan. Tindakan itu diperlukan untuk menghindarkan fitnah dan bencana yang bisa saja terjadi sabagai akibat  tidak dilakukannya tabayyun.

MUI sebagai pihak yang mengeluarkan fatwa jelaslah telah mengabaikan perintah Tuhan untuk melakukan tabayuun sebelum menerbitkan fatwa itu. Buktinya, MUI tidak pernah memanggil Ahok untuk mendapatkan klarifikasi.  Tanpa tabayyun maka tindakan MUI tersebut jelaslah telah merendahkan dan mengabaikan salah satu ayat dalam al-Quran. Maka sebagaimana yang dituduhkan kepada Ahok, MUI juga telah melakukan penghinaan kepada kitab suci Al-Quran. Maka yang terjadi adalah fitnah. Yang terjadi adalah penghamburan dana yang tidak sedikit untuk membiayai 3 kali demo besar umat Islam yang terprovokasi oleh fatwa MUI tersebut. Maka sudah sepantasnya kita meragukan intergritas orang-orang yang disebut Nabi sebagai pewarisnya (al-‘ulama warisatul anbiyaa’).

Para ulama  yang berhimpun di MUI itu berani melecehkan ayat-ayat al-Quran yang datangnya dari Allah. Apalagi jika ketentuan itu dibuat oleh Negara berupa ketentuan perundang-undangan. Maka Tuhan yang tidak pernah tidur langsung memberikan bukti nyata kebobrokan dalam tubuh MUI.  Salah seorang ulama anggota pengurus MUI ditangkap oleh KPK. Ia terkena OTT, melakukan korupsi berupa pemberian uang suap kepada seorang petinggi di Bakamla.

Sekian dulu, salam kompasiana

M. Jaya Nasti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun