Hari ini (Selasa 13/12/16) akan digelar sidang perdana untuk mengadili Ahok yang dituduh melakukan penghinaan terhadap agama Islam. Tentu persidangan itu akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Banyak saksi yang harus didengarkan keterangan mereka, sesuai bidang keahlian masing-masing. Semula diumumkan sidang itu bersifat terbuka untuk umum. Tetapi karena desakan berbagai pihak dengan berbagai argumentasi, maka persidangan itu diputuskan tertutup. Jadi belum ada apa-apanya, Pengadilan Jakarta Utara sudah termakan provokasi. Pada hal jauh lebih banyak yang menginginkan sidang terbuka, karena proses hukum dan rasa keadilan lebih mudah diungkap dan dipahami oleh publik. Saya sendiri sangat mendukung sidang terbuka, agar alasan dan argumen hakim dalam memutus perkara benar-benar berpihak kepada keadilan, bukan karena tekanan massa.
Saya mendengarkan uraian seeorang ustad di Youtube tentang ada tidaknya penghinaan agama dari sudut bahasa, dari satu kalimat dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang dituduhkan menghina agama Islam. Setelah uraian panjang lebar termasuk dengan memberikan contoh-contoh, ustad tersebut memberikan kesimpulan. Potongan pidato Ahok yang dipermasalahkan tersebut, baik menggunakan kata “pakai” ataupun tidak, maknanya sama saja, mengandung makna merendahkan ayat 51 surat Al-Maidah. Jika menggunakan kata pakai, maka subjeknya adalah orang-orang yang membodoh-bodohi masyarakat dengan menggunakan ayat itu, sebagai dalil haramnya memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sedang jika tidak menggunakan kata “pakai” maka ayat itu sendiri yang membodoh-bodohi masyarakat untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Saya setuju dengan kesimpulan si Ustad dari sudut kebahasaan. Jadi Ahok bersalah karena menyisipkan kalimat itu dalam pidatonya. Akan tetapi untuk mengetahui kesalahan tersebut diperlukan penjelasan ahli bahasa, bukan kesimpulan yang bisa dipahami langsung oleh masyarakat awam. Termasuk Kapolri yang sempat diprotes karena mencoba memberikan analisa dari sudut bahasa, pada hal ia tidak dalam kapasitas untuk menilainya. Itu pula sebabnya, seminggu lamanya, sebelum Buni Yani mengupload transkrip kalimat pidato Ahok di akunnya di facebooknya dengan membuang kata pakai, tidak ada warga masyarakat yang marah dan protes kepada Ahok.
Tapi sang Ustad tidak meninjaunya dari sudut yang lain, misalnya makna dari kata awliya pada ayat itu dari sejumlah buku tafsir terkenal. Soalnya ada pendapat bahwa hanya pada terjemahan al-Quran di Indonesia saja, khususnya terbitan Kementerian Agama, yang mengartikan kata awliya dengan pemimpin. Pada kitab-kitab tafsir yang lain, kata awliya diterjemahkan teman, wali dan sebagainya. MIsalnya dalam “Tafsir Quran Karim” buku Tafsir al-Quran pertama di Indonesia, karya Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, kata awliyya diterjemahkan sebagai wali, bukan pemimpin.
Selain itu perlu juga ada tinjauan dari sudut sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) secara benar. Yang pasti ayat itu diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke kota Madinah. Pada waktu itu terjadi 3 kali perang dengan kaum Kafir Mekkah dan sekutunya yaitu perang Badr, Perang Uhud dan Perang Khandak. Terjadi permusuhan secara diam-diam di kalangan Yahudi yang telah lebih dahulu bermukim di Madinah. Jadi sudah seharusnya ada ayat yang mengingatkan umat Islam untuk tidak mengangkat orang Yahudi atau Nasrani sebagai wali dalam berbagai urusan.
Tapi sayangnya, meskipun Nabi Muhammad memberikan status sosial yang tinggi kepada para ulama, sebagai “warisatul anbiyaa”, para ulama tidak mampu menjalankan peran itu. Para ulama masih berpegang pada dalil-dalil tanpa memandang situasi dan kondisi sosial ekonomi yang sudah berubah dan terus berubah. Lalu mereka menerbitkan fatwa-fatwa yang sebagian besar tidak diikuti oleh sebagian besar umat Islam itu sendiri, misalnya fatwa tentang bank syariah. Setelah 23 tahun fatwa MUI diterbitkan, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih berkisar pada angka 5% saja.
Si Ustad tidak membahasnya dari sudut situasi dan kondisi sosial politik yang sudah berubah itu. Ia tidak melakukan analisa sosial politik yang menyebabkan Ahok menyelipkan kalimat itu dalam pidatonya. Juga tidak ada pembahasan dari ucapan Ahok adakah ia punya niat menghina al-Quran, karena memang hanya Allah yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ahok.
Saya percaya Ahok tidak punya niat sama sekali untuk menghina al-Quran. Saya percaya dengan penjelasan Ahok, sebagai cagub DKI Jakarta, menghina al-Quran yang menjadi kitab suci umat Islam artinya ia bunuh diri. Soalnya lebih 85% konstituennya adalah penduduk DKI Jakarta yang memeluk agama Islam. Saya percaya karena Ahok minta maaf segera setelah menyadari kesalahannya. Saya percaya Ahok karena sebagai gubernur ia juga telah melakukan banyak hal untuk membangun Jakarta yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan Ahok telah membangunan fasilitas publik yang dilupakan oleh gubernur sebelumnya, seperti pembangunan masjid raya di Balaikota DKI, yang kapasitasnya 10 kali lipat dari masjid sebelumnya. Ia mengirim para penjaga masjid (marbot) melakukan umrah ke Mekkah. Bahkan ia menutup Kalijodoh sebagai pusat lokalisasi pelacuran di Jakarta Barat.
Ahok menyelipkan satu kalimat dalam pidato panjang berdurasi 1 jam lebih, sebenarnya untuk membalas provokasi yang sudah dilakukan para tokoh Islam dan ulama radikal. Mereka menjadikan ayat 51 tersebut sebagai dalil dan senjata agar umat Islam hanya memilih cagub muslim pada Pilkada DKI 201. Para ulama radikal sudah berbulan-bulan lamanya dalam setiap ceramah dan khutbahnya selalu mengingatkan umat Islam untuk hanya memilih cagub muslim dengan menggunakan ayat itu sebagai dalil. Ustad Bachtiar Nasir misalnya, berani-beraninya mengkafirkan muslim yang memilih pemimpin non muslim, sepertinya ia adalah wakil Allah di muka bumi. Bahkan ada peristiwa sebelumnya yaitu terbitnya Risalah Istiqlal yang salah satu butirnya menyeru umat Islam untukku hanya memilih pemimpin muslim dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Jadi saya berkesimpulan, Ahok menyisipkan kalimat itu sebagai balasan kepada orang-orang tertentu, dalam hal ini para ulama radikal dan sejumlah tokoh politik Islam, yang selalu menyerangnya dalam berbagai pertemuan dan kesempatan. Ahok terprovokasi untuk melakukan serangan balik. Hanya saja ia tidak sadar bahwa kalimat yang disisipkannya itu mengandung makna penghinaan terhadap al-Quran dalam hal ini al-Maidah ayat 51.
Melakukan kesalahan berupa penghinaan agama karena terkena provokasi mengingatkan saya pada kasus Perfectus, seorang biarawan di Kordoba ibukota Kerajaan Islam di Andalusia (Spanyol). Dalam buku “Sejarah Muhammad” karya Karen Amstrong, diceritakan, Prefectus yang berbelanja di pasar Kordoba. Perjalanannya ke pasar dikuntit oleh sejumlah orang Arab muslim, yang kemudian mengajukan pertanyaan, siapakah yang lebih besar, Yesus Kristus atau Muhammad. Prefectus sadar bahwa ia sedang diprovokasi. Jika ia menjawab Yesus, maka artinya ia merendahkan Nabi Muhammad, pada hal ia berada di suatu kerajaan Islam. Mula-mula Perfectus bersikap tidak melayani pertanyaan itu. Tetapi karena didesak terus untuk memberikan jawaban maka meledaklah kemarahannya. Ia dengan suara keras mencaci-maki Nabi Muhammad sebagai dukun klenik, petualang seks dan anti kristus.