Sertifikasi Ulama itu Perlu dan Wajib
Di negara kita yang penduduknya mayoritas muslim, belum jelas betul siapa yang boleh dan layak diberi predikat ulama. Soalnya orang yang pandai bicara dan menghapal sejumlah ayat sudah bisa tampil sebagai ulama. Mereka mengajarkan Islam dengan pengetahuan keislaman yang dangkal atau bahkan dengan pemahaman yang salah kepada masyarakat luas. Selama ini semua orang dengan kualifikasi demikian bisa diberi predikat ulama. Soalnya di negara kita belum ada ketentuan perundangan tentang ulama, termasuk belum adanya lembaga sertifikasi ulama.
Misalnya, banyak pelawak yang menjadi ulama, Mereka menjadi selebriti di televisi. Materi dakwah mereka adalah banyolan untuk mengocok perut pendengarnya di rumah. Semakin lucu mubalig selebriti itu, semakin tinggi rating acaranya, dan semakin tinggi honor yang mereka peroleh. Apakah materi dakwah yang disampaikannya sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan al-Quran dan al-Hadist tidak terlalu penting.
Lalu apakah seseorang yang menjadi khatib tetap di sebuah masjid kampung sudah dapat disebut ulama juga. Membaca bacaan arab saja masih belepotan, dan materi khobahnya selalu hanya mengenai shalat. Ia diangkat menjadi khatib tetap karena masjid itu dibangun sebagian besarnya dengan sedekah dan infak dari kekayaannya. Sampai mati, ia tidak boleh digantikan.
Saya lalu jadi teringat dengan cerpen yang ditulis oleh A.A .Navis pada 1960-an, dengan judul “Robohnya Surau Kami”. Pada cerpen itu diceritakan kisah H. Saleh, seorang ulama di kampungnya. H. Saleh telah mengabdikan dirinya sebagai ulama, mengisi acara dakwah di seluruh masjid di desanya, baik khutbah jumat maupun pengajian-pengajian. Karenanya H. Saleh yakin betul bahwa jika meninggal kelak, ia pasti masuk surga.
Akan tetapi setelah har kiamat, di padang mahsyar, oleh malaikat yang menjadi petugas, ia dimasukkan dalam barisan orang yang akan menuju ke neraka. Pada mulanya H. Saleh beranggapan bahwa malaikat petugas pastilah melakukan kekeliruan.Maka H. Saleh mengajukan komplain kepada malaikat itu. Ia meyakini ada kekeliruan karena seumur hidupnya di dunia justru diabdikan untuk mengajarkan iman, dan ibadah Islam serta kebaikan kepada masyarakat. Lalu malaikat membaca kembali catatannya. Ternyata H. Saleh memang berada di barisan orang yang akan masuk neraka. Kesalahannya adalah selaku ulama hanya berdakwah tentang akhirat melulu. Ia mengabaikan kondisi masyarakat di desanya yang kumuh, miskin dan hidup dalam kekurangan. Itulah sebabnya ia harus dijebloskan ke dalam neraka.
Saya secara prinsip setuju dengan substansi tujuan cerpen itu. Untuk menjadi ulama, seseorang haruslah memiliki pengetahuan yang luas, dan mampu mengidentifikasi dan bahkan merasakan masalah-masalah yang dihadapi oleh jamaahnya. Ulama harus turun tangan dan membukakan akses yang dimilikinya untuk memberikan solusi dari masalah social ekonomi yang dihadapi masyarakat. Bukannya mengabaikannya. Ada masalah sosial yang dihadapi masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Ada masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat, baik berupa terbatasnya lapagan pekerjaan, maupun usaha ekonomi yang dijalankan tidak bisa memberikan penghasilan yang memadai untuk hidup layak. Lalu ada masalah ketinggalan di bidang teknologi dan sebagainya.
Sayangnya sekarang jarang sekali kita terpuaskan oleh ceramah agama dari para ulama di masjid atau televisi. Barang kali itu pula yang menggelitik Abdillah Toha, seorang pengusaha dan politisi menulis masalah ini di Kompasiana. Ia menulis bahwa paling sedikit seminggu sekali kita mendengar khotbah ulama di mimbar sholat Jum'at. Nyaris dari mulut khatib di mana pun tidak terdengar khotbah yang memberi semangat untuk hidup di sini dan di masa kini.
Ulama tidak memberikan dorongan untuk menuntut ilmu dan bergiat dalam usaha. Yang kita dengar adalah ancaman neraka, tawaran surga, dan kecaman terhadap "musuh-musuh" Islam. Dalam kategori musuh-musuh Islam itu pun dimasukkan mereka yang alirannya tidak sejalan dengan pengkhotbah. Sementara para ulama kita tak henti-hentinya berkhotbah menyampaikan penguatan akidah dan ancaman neraka, bangsa lain berlomba memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan taraf ekonominya. Para ulama kita masih berselisih tentang cara beribadah, sedangkan kemiskinan dan keterbelakangan di sekitarnya diacuhkan. Ketika kita sibuk berebut akhirat, orang=orang non muslim merebut dunia.
Saya berpandangan, ulama itu juga harus mempunyai latar belakang yang bersih dari politik. Hal ini untuk menjamin keputusan dan nasehat keagamaan yang ditetapkannya betul-betul murni sesuai ajaran agama dengan mengikuti tauladan Nabi, para sahabat dan Tabi’in.
Misalnya terbukti latarbelakang politik KH a’ruf Amin selaku Ketua Umum MUI tidak bersih. Ia mantan kader PPP dan PKB yang dalam Pilkada DKI mendukung pasangan Cagub nomor satu. Ia juga ternyata adalah anggota Watimpres Presiden SBY selama 10 tahun. Terkuak pula info ada pembicaraan via telpon SBY dengan KH Ma’ruf Amin sehari menjelang diterbitkannya pendapat keagamaan MUI tentang Ahok sebagai Cagub Nomor dua. Semua fakta dan informasi persidangan itu terkumulasi menjadi kecurigaan terhadap obyektifitas MUI dan terutama KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Umum. Ia dicurigai menerbitkan pendapat keagamaan itu demi melempangkan jalan bagi Pasangan Cagub Nomor satu dalam memenangkan Pilgub DKI. Lalu muncul desakan dan demo besar-besaran agar ZAhok segera ditangkap dan dimasukka ke penjara.