Pada suatu hari di minggu pagi, saya bersama isteri dan anak tertua berjalan kaki ke kampung-kampung di desa tempat kami bermukim sejak 20 tahun lalu. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Udara masih sejuk. Kemarau panjang rupanya tidak begitu  berpengaruh bagi usaha cocok tanam yang dijalankan para petani.
Di kampung-kampung itu umumnya lahan pertanian dimanfaatkan untuk menanam sayuran. Ada kacang buncis, kacang panjang, terong, bayam dan sebagainya. Lalu kami menyaksikan sejumlah petani sedang menyemprot sayuran dengan pestisida untuk membunuh hama. Tentu saja pestisida itu akan lengket di sayuran, baik di daun maupun buah. Â Tentu saja pestisida itu akan menyelimuti daun dan buahan yang dihasilkan para petani.
Kesimpulan kami sehabis berjalan-jalan ke kampung itu, rupanya selama ini kami memakan aneka sayuran yang mengandung racun pestisida. Tentu sayuran itu tidak sehat dan sewaktu-waktu bisa menimbulkan penyakit karena terus menerus memakan sayuran yang mengandung racun pestisida.
Isteri saya mengatakan bahwa kalau mau makan sayur yang sehat yang bebas dari racun pestisida, kami harus membeli sayuran organik atau hidroponik. Karena belum paham, saya pelajari di google. Menurut Wikipedia, pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Sedangkan tanaman hidroponik adalah yang menggunakan nutrisi air secara persis tanpa tanah untuk pertumbuhannya.
Masalahnya, sayuran dengan teknik budidaya organik atau hidroponik tidak tersedia di pasar. Kalaupun ada, misalnya di  toko buah Total, harganya mahal sekali.
Anak saya yang kost di Jakarta, mencari informasi tentang sayuran organik di internet. Ternyata ada yang menjualnya dengan system online. Maka anak saya menjadi pelanggan petani sayur organik itu. Ia benar-benar menghentikan mengkonsumsi sayuran non organik yang banyak bahan kimianya itu.
Sedangkan isteri saya menggunakan pendekatan berbeda. Di toko buku Gramedia dia membeli buku tentang budidaya tanaman organik dan hidroponik. Dia  juga mencari di google dan memperoleh banyak informasi tentang teknik budidaya sayuran organik dan hidroponik. Lalu ia mencoba mempraktekkan keduanya sekaligus, baik organik maupun hidroponik. Tugas saja adalah mengantarkannya membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk budidaya sayuran, baik organic maupun hidroponik. Saya juga bertugas mengerjakan hal-hal yang tidak biasa dilakukan isteri saya, misalnya memotong dan melubangi paralon sebagai media budidaya sayuran hidroponik.
Pada mulanya gagal karena masih belajar. Tetapi sekarang isteri saya boleh berbangga, bisa memproduksi sendiri beberapa jenis sayuran organik dan juga hidroponik. Dengan teknik budidaya tanaman organik, isteri saya menghasilkan daun singkong muda, bayam, kangkung, cabe rawit dan cabe keriting. Â Sedangkan dengan teknik budidaya hidroponik, isteri menghasilkan sawi, copcoi, kangkung dan juga bayam. Memang ada jenis sayuran favorit saya yang belum berhasil dibudidayakan, yaitu terung dan tomat. Saya terpaksa berpuasa memakan kedua jenis sayuran.
Demikianlah, sejak 3 bulan yang lalu kami menikmati sayuran organik dan hidroponika hasil budidaya tanaman yang dilakukan isteri saya. Kalau kompasianer berminat, silahkan coba sendiri, dan hasilnya panen sayuran yang sehat tanpa harus membeli.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H