Ada banyak pembelajaran (hikmah) yang diberikan oleh Pilpres 2014. Pada tulisan ini saya akan membahas dua hikmah saja. Pertama tentulah terpilihnya Jokowi sebagai presiden ketujuh. Ia akan menjadi Presiden yang disebut teman saya, Fachry Ali dalam artikelnya di Harian Kompas, pemimpin pasca elite. Ia adalah presiden yang menggunakan motto, Jokowi adalah Kita. Berbeda dengan presiden terdahulu yang berasal dari kalangan elite, Jokowi hanyalah anak yang dibesarkan di bantaran kali, dan bahkan rumahnya pernah terkena gusuran oleh Pemda Kota Solo tanpa ganti rugi. Ia kemana-mana memakai kostum yang harganya sekitar lima ratus ribu rupiah saja, dan seumur-umur tidak pernah memakai arloji.
Rakyat rupanya sudah bosan dan pemimpin dari kalangan elite yang tidak melaksanakan janji-janji mereka sewaktu Pilpres. Rakyat sudah bosan dengan pencitraan, karena semua itu hanyalah kepura-puraan. SBY misalnya akan dikenang sebagai Presiden dan sekaligus pemimpin partai yang tidak amanah dalam janjinya akan menjadi panglima terdepan melawan korupsi. Faktanya, satu persatu orang-orang dekat SBY terlibat korupsi dan menjadi penghuni bui. Sekarang, Anas Urbaningrum, mantan Ketum Demokrat, menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor. Lalu, Sutan Bathugana, salah seorang pendiri dan petinggi Partai Demokrat sudah berstatus tersangka dalam perkara korupsi migas.
Tapi yang lebih penting sebenarnya adalah, para presiden dari kalangan elite itu gagal memenuhi janji mereka untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Penghidupan semakin susah sehingga rakyat miskin tetap tidak berkurang jumlahnya. Meski angka patokan kemiskinan sudah diturunkan kurang dari satu dollar Amerika per jiwa per hari, jumlah rakyat miskin masih 28 juta jiwa. Jika digunakan patokan Bank Dunia sebesar 2 dollar per hari per jiwa, maka jumlah rakyat miskin bisa mencapai 100 juta jiwa. Pada saat yang sama, Presiden SBY memesan pesawat terbang kepresidenan yang harganya US$ 91,2 juta setara Rp 820 miliar. Begitu pula, setiap upacara yang dilaksanakan negara terkesan sangat mewah.
Pembelajaran kedua adalah bahwa politikus Indonesia ternyata tidak sudi menerima kekalahan. Para capres memang sudah mengucapkan janji siap menang dan siap kalah dalam suatu upacara yang disaksikan rakyat melalui siaran langsung media televisi. Akan tetapi ternyata Prabowo tidak legowo menerima kekalahan. Oleh sebab itu ke depan, janji para capres itu seharusnya diucapkan sebagai sumpah bahwa mereka akan menerima kekalahan secara legowo, karena begitulah kehendak mayoritas rakyat melalui Pilpres. Dengan demikian ada sentimen keagamaan dalam mengucapkan janji yang akan menguji ketaqwaan mereka kepada Tuhan.
Yang lebih memprihatinkan adalah sikap tidak mau menerima kekalahan itu juga menjadi sikap sebagian besar politikus, termasuk yang paling senior. Akbar Tanjung misalnya adalah politikus senior Golkar, penyandang gelar S-3 dari UGM, ternyata adalah perancang skenario perlawanan Prabowo yang menyatakan tidak akan pernah menyerah. (Majalah Tempo edisi 4274 28 Juli – 03 Agustus 2014, pada tulisan berjudul Gertak Politik Pengujung Laga). Hal itulah yang diperlihatkan dan menjadi sikap pendukung Prabowo yang disampaikan oleh Jubirnya, Tanthowi Yahya didamping para sekjen parpol pendukung Jokowi. Setelah kalah dalam Pilpres dan dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena gugatan Prabowo ditolak seluruhnya, maka Koalisi Merah Putih akan melanjutkan “perang” untuk menghadang Jokowi di Parlemen.
Dengan komposisi kursi di DPR yang jauh lebih banyak dari kursi koalisi parpol pendukung Jokowi-JK (292 vs 207 kursi) meski Partai Demokrat memilih netral, mereka yakin bisa menolak setiap kebijakan yang dibuat Pemerintahan Jokowi. Dengan demikian, pemerintahan Jokowi menjadi lumpuh, karena ditolak dan anggarannya tidak disetujui DPR. Pada waktu itulah, skenario lainnya yang dirancang oleh Amien Rais dipersiapkan, yaitu skenario Estrada, mantan Presiden Filipina yang dijatuhkan setelah 2 tahun memegang kekuasaan. Dalam hal ini, yang akan dijatuhkan adalah Jokowi.
Selain itu, secara simultan, dengan kekuatan yang mereka miliki di DPR, mereka akan berusaha mendongkel Jokowi sebagai presiden melalui pembentukan Pansus yang mempersoalkan Pilpres 2014. Pansus itu akan berujung pada proses pelengseran Jokowi. Itulah rancangan skenario yang sebagian sudah berjalan, yang disusun oleh suatu tim yang dipimpin oleh Akbar Tanjung di rumahnya.
Jika hal itu yang terjadi, maka Pilpres 2014 akan menjadi malapetaka bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan terjadi stagnasi, karena semua program aksi Jokowi untuk memajukan Indonesia dan mensejahterakan rakyat kandas. Sedangkan para politikus busuk yang bergabung dalam kubu Prabowo merasa puas dan senang melihat pemerintahan Jokowi lumpuh. Mereka tidak peduli dengan rakyat yang semakin menderita. Itulah hasil karya parpol yang berkuasa sejak Indonesia merdeka.
Ciawi 25 Agustus 2014
Twitter : @mjnasti_50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H