Â
Rizal Ramli (RR), Menko Maritim dan Energi belum pernah berdamai dengan Menteri EDSM, Sudirman Said (SS), salah seorang menteri yang berada di bawah koordinasinya. Pada hal sudah 8 bulan RR menjadi Menko. Setiap kali RR menyelenggarakan rapat koordinasi dengan para menteri, SS tidak mau hadir. Untuk urusan koordinasi, SS melapor langsung kepada Presiden dan Wapres JK.
Mungkin SS jengkel kepada RR yang menudingnya sebagai menteri yang lemah jika terkait urusan PT. Freeport. Mungkin SS jengkel karena RR sejak awal sudah mengkritisi program pembangkit listrik 35.000 MW. Sudah pasti SS jengkel karena RR menentang penggunaan tangki terapung raksasa untuk menampung gas yang dihasilkan Blok Masemba di Laut Maluku (off shore). Sebaliknya RR merekomendasikan pembangunan tanki penampung di darat melalui pipa-pipa (on shore). RR membangun argumentasi, pembangunan on shore memberikan dapat dampak yang besar bagi pengembangan wilayah di sekitarnya.
Keputusan akhir mengenai Blok Masemba itu akan diambil oleh Presiden Jokowi dalam waktu dekat. Adanya perbedaan pendapat dan pertentangan antara dua pembantunya itu tentu cukup merepotkan Presiden Jokowi. Presiden mengetahui bahwa SS adalah orangnya Wapres JK. Apalagi SS telah berjasa, membantunya secara politik dalam menjatuhkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR, yang berlanjut dengan rontoknya KMP.
Sedangkan RR adalah rekrutan Jokowi sendiri yang sangat berani, termasuk melawan JK dan orang-orangnya. Ia termasuk orang yang senang dengan kejatuhan orangnya JK, RJ Lino, Dirut PT. Pelabuhan II, yang kemudian dijadikan tersangka oleh KPK dan dicopot dari jabatannya. Dengan dicopotnya RJ Lino dari jabatannya, maka hambatan yang ditemui RR dalam mempercepat proses dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok berkurang. Instruksi RR untuk menaikkan tarif penyimpanan peti kemas di pelabuhan menjadi Rp 5 juta per hari mulai dilaksanakan. Pembangunan rel kereta api masuk pelabuhan berjalan lancar, sehingga proses dwelling time bisa dipercepat menjadi 2,5 hari saja.
Pertentangan antara RR dan SS mungkin juga disebabkan mazhab ekonomi yang mereka anut. RR dikenal menganut sistem ekonomi kerakyatan. Â Sedangkan SS menganut mazhab ekonomi liberal.Â
Sistem Ekonomi kerakyatan adalah sistem perekonomian yang di mana pelaksanaan kegiatan, pengawasannya, dan hasil dari kegiatan ekonomi haruslah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Sistem ekonomi kerakyatan sebenarnya sangat sejalan dengan UUD 1945 pasal 33, di mana segenap potensi ekonomi haruslah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Â
Oleh sebab itu, menurut RR, Blok gas Masela di Maluku yang sebut-sebut terbesar di dunia tidak akan memberikan keuntungan apa kepada rakyat di pulau-pulau sekitar Blok Masela, karena gas yang dihasilkan langsung masuk tanki terapung dan dari sana diekspor. Rakyat tidak dapat apa-apa. Oleh sebab itu RR menawarkan penyimpanan gas dalam tanki besar di daratan yang dapat memberikan dampak bagi pengembangan wilayah sekitar.
Sedangkan SS yang menganut mazhab ekonomi liberal berpijak pada sistem ekonomi pasar bebas. Pelakunya adalah pemilik modal sebagai investor di mana campur tangan pemerintah sangat minimal dengan regulasi sesedikit mungkin. Keuntungan terbesar akan diambil oleh para investor, sedangkan buruh hanya sekedar alat untuk mendapatkan keuntungan dan diberi gaji serta upah seefisien mungkin.
SS mungkin berpandangan bahwa Blok gas Masela pada dasarnya dimodali oleh perusahaan asing yang mendapatkan hak untuk mengelolanya. Hasilnya dibagi berdasarkan kesepakatan dengan Pemerintah. Oleh sebab itu, para investor harus diberi kebebasan untuk memilih cara yang paling menguntungkan menurut hasil studi dan kajian mereka.
Meskipun demikian, usaha eksplorasi gas di Blok Masela tidak sepenuhnya dibiayai oleh dana dari investor. Biaya yang dikeluarkan investor akan dibayar kembali dengan skema ‘cost recovery’, setelah eksplorasi gas itu berproduksi dan menghasilkan. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia berhak memutuskan sistem mana yang akan digunakan, apakah on shore atau off shore.