Terbetik berita bahwa Program BPJS Kesehatan pada bulan Desember 2016 telah berhasil menjangkau 70% penduduk Indonesia. Sekitar 171 juta rakyat Indonesia telah menjadi peserta Program BPJS Kesehatan.
Memang Program BPJS Kesehatan itu adalah warisan dari era Presiden SBY, karena dimulai persis 1 Januari 2014. Tetapi Presiden Jokowi meneruskannya dengan sungguh-sungguh, dan menjadi prioritas pertama setelah beliau menjabat Presiden. Hanya dalam tempo 3 tahun, BPJS Kesehatan telah menjadi andalan rakyat Indonesia di bidang layanan kesehatan. Jumlah peserta BPJS yang mencapai 171 juta orang tersebut, sama dengan 4 kali jumlah penduduk Negara tetangga Malaysia, atau 35 kali penduduk Singapura.
Itulah salah satu keberhasilan nyata Pemerintahan Presiden Jokowi yang baru 2 tahun menjabat sebagai presiden. Sedangkan presiden sebelumnya, SBY, selama sepuluh tahun berkuasa, tidak memberikan apa-apa yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat dalam pelayanan kesehatan. Pada masa itu, biaya kesehatan sangat mahal, sehingga ada idiom, “orang miskin dilarang sakit”. Banyak orang miskin yang oleh keluarganya diikhlaskan mati karena tidak sanggup membayar biaya perawatan kesehatan rawat jalan sekalipun. Apalagi jika harus menjalani tindakan operasi, cuci darah mingguan dan sebagainya.
Bagi saya dan isteri, keberadaan Program BPJS Kesehatan sangat dirasakan manfaatnya. Saya tidak perlu lagi mengeluarkan uang berjuta-juta rupiah untuk membayar biaya perawatan di rumah sakit. Bahkan saya tidak perlu lagi ikut program asuransi kesehatan lain, yang preminya mahal dan manfaat yang disediakan terbatas. Soalnya BPJS Kesehatan menyediakan hampir seluruh layanan kesehatan secara gratis, selain membayar iuran bulanan secara teratur, hanya Rp 80 ribu untuk kamar kelas-1.
Respon masyarakat terhadap BPJS Kesehatan ternyata sangat tinggi. Setiap hari, setiap RS yang menjadi peserta layanan BPJS didatangi oleh tidak kurang dari 350 orang. Kondisi ini tentu menimbulkan masalah antrian panjang untuk mendapatkan nomor panggilan di poli-poli yang tersedia di RS. Tetapi mengenai antrian ini, sudah menjadi ciri khas Indonesia, di mana saja, termasuk rumah sakit swasta yang mahal sekalipun, antrian panjang tetap terjadi. Anak saya yang menggunakan fasilitas dari asuransi kesehatan lain yang preminya mahal, tetap saja harus antri panjang berjam-jam.
Pada bulan Desember 2016 ini saya terpaksa memanfaatkan kartu BPJS Kesehatan secara optimal. Hal itu berawal karena saya pergi ke dokter gigi praktek swasta untuk perawatan gigi yang mulai banyak goyah dan sering berdarah. Di Puskesmas sebenarnya tersedia Poli Gigi. Tapi pelayanannya terbatas hanya pada cabut gigi. Dokter gigi praktek swasta tersebut menyarankan agar saya pergi ke dokter Spesialis Penyakit Dalam (SPDP) untuk mengontrol penyakit diabetes yang saya idap sejak 10 tahun terakhir. Katanya, sakit gigi saya disebabkan oleh penyakit diabetes yang saya idap yang kemudian menyebabkan sakit pada gigi, ginjal, mata dan sebagainya.
Maka saya pergi ke Puskesmas untuk mendapatkan surat rujukan ke dokter SPD di RSUD Ciawi. Pada hari berikutnya saya ikut antrian untuk mendapatkan pemeriksaan dokter SPD. Saya disuruh pergi ke laboratorium untuk pemeriksaan darah dan urine. Lalu berdasarkan analisis terhadap hasil lab, dokter SPD itu memberikan obat, sekaligus surat rujukan ke poli dokter Spesialis Gigi (SPG) di RSUD Ciawi tersebut . Sedangkan Dokter SPD memberikan dua jenis obat dan saya harus datang lagi untuk mengharuskan saya datang untuk kontrol diabebeter setiap tiga bulan.
Maka pada hari berikutnya saya mendaftar di Poli Dokter Spesialis Gigi (SPG). Dokter SPG itu merawat gigi saya. Ia menambal satu gigi yang berlobang, yang memerlukan beberapa kali datang sampai penambalan permanen.
Selain itu, sudah lama pula saya merasa adanya gangguan pada prostat, maklum karena saya sudah manula. Tapi karena kondisinya masih bisa saya tolerir, saya belum pergi berobat. Pada bulan Desember ini saya putuskan untuk melakukan pemeriksaan penyakit prostat itu. Maka saya kembali mendatangi Puskesmas untuk mendapatkan surat rujukan. Karena surat rujukan cepat keluar, saya langsung mendaftar di RSUD Ciawi pada hari yang sama. Di Poli Urologi saya diperiksa oleh dokter spesialis bedah urologi. Dengan alat USG yang canggih, saya diperiksa. Dokter menyimpulkan belum diperlukan tindakan operasi. Saya diberi resep obat untuk diambil di apotik. Dokter memberikan obat untuk satu minggu. Jika dengan obatan itu dirasakan ada perbaikan, akan dilanjutkan dengan pemberian obat selama satu bulan.
Seluruh pemeriksaan dan perawatan kesehatan melalui Program BPJS Kesehatan tersebut, termasuk pemeriksaan laboratorium dan obat-obatan, saya tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali. Semua gratis. Yang saya keluarkan hanya biaya transportasi pp dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit. Memang saya harus membayar iuran bulanan yang tidak seberapa nilainya. Hanya 80 ribu per bulan karena saya mengambil perawatan rawat inap kelas-1. Sedangkan untuk kelas-2 hanya membayar iuran R60.000 dan kelas-3 Rp 30.000,- setiap bulan.
Selain itu, juga dengan memanfaatkan fasiilitas BPJS Kesehatan, saya secara rutin, setiap enam bulan, menjalani kontrol di RSAL Mintohardjo. Di RSAL tersebut saya menjalani pemeriksaan dengan alat canggih endoscopy untuk melihat kondisi pembuluh darah saya yang terkena penyakit varises asefarus. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan fungsi hati yang disebutkan sebagai sirosis hati. Penyakit ini menyebabkan terjadinya pembengkakan pada usus yang akan mengantarkan darah ke hati. Jika terjadi pembengkakan pada pembuluh darah itu, maka dokter akan melakukan tindakan pengikatan pada benjolan itu agar kempes kembali. Untuk pelayanan pemeriksaan dan tindakan menggunakan endoscopy tersebut, jika tanpa fasilitas BPJS, saya harus menyediakan dana sekitar Rp 10 juta. Tapi dengan fasilitas BPJS, semuanya gratis, termasuk biaya obat dan rawat inap di rumah sakit.