RUU Pilkada adalah masalah besar,perlu perenungan mendalam,perlu waktu dan tidak boleh terburu-buru memutuskannya. Demikian pernyataan Surya Paloh,se-perti yang terbaca pada running textMetrotivi. Kenapa harus buru-buru, dan tidak menyerahkan saja urusan itu kepada DPR baru yang akan dilantik pada 1 Oktober mendatang?
Parpol Koalisi Merah Putih tentu punya kalkulasi politik untuk memaksakan RUU Pilkada perwakilan. Setidaknya, KMP akan memenangkan 31 gubernur jika RUU itu disetujui DPR. Dengan demikian, konsep yang dirancang Akbar Tanjung untuk menguasai kepala daerah guna melumpuhkan pemerintahan Jokowi-JK akan kesam-paian. Untuk itu, KMP menggunakan argumen Sila keempat Pancasila yang menekankan azas musyawarah/ perwakilan.
Yang menjadi soal, ternyata UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 juga menegaskan kedaulatan di tangan rakyat yang diatur melalui UU. Pasal itu diperkuat dengan pasal yang menjelaskan sistem pemerintahan yang bersifat presidensial. Presiden dan DPR memiliki kekuatan yang sama, karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak bisa membubarkan DPR, dan sebaliknya, DPR tidak bisa melengserkan presiden semaunya.
Dengan demikian, konstitusi Indonesia mengenai kedaulatan rakyat masih bersifat multitafsir. Karenanya berdasarkan UUD 1945 sebenarnya kedua sistem pemilu bisa dilaksanakan. Sejarah juga mencatat bahwa kedua sistem itu pernah dijalankan.
Pada awalnya pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres)Â dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
Demikianlah yang terjadi sejak pemilu pertama (1955) sampai dengan pemilu pada 1999. Presiden dipilih oleh MPR. Hanya saja selama pemerintahan rezim Orba ada penyimpangan. Tidak semua anggota MPR dipilih melalui pemilu. Selain ada jatah tetap untuk ABRI, sebanyak 25% anggota MPR diangkat sendiri oleh Presiden. Hal itu dimaksudkan agar Presiden Soeharto selalu mendapat dukungan suara mayoritas di MPR. Hasilnya, Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun sampai dijatuhkan oleh demontrasi besar-besaran mahasiswa dan rakyat pada Mei 1998.
Setelah Soeharto berhasil dilengserkan pada 1998, maka dimulailah era reformasi, yang salah satu tujuannya adalah mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Rakyat sudah jera dengan pemerintahan otoriter dan represif tetapi tidak bisa diganti melalui pemilu. Untuk itu diselenggarakan empat kali Sidang MPR yang dimaksudkan untuk merevisi dan melengkapi sejumlah pasal dalam UUD 1945. MPR sepakat adanya pembatasan kekuasaan. Karenanya, dalam Amandemen keempat UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan  hanya boleh dipilih untuk dua kali masa jabatan. Lalu tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat sendiri oleh presiden. Gantinya adalah anggota DPD yang juga dipilih langsung bersamaan dengan pemilu legislatif. SBY adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung (2004 dan 2009). Dilanjutkan oleh Jokowi (2014).
Begitu juga halnya dengan Pilkada. Ada kehendak kuat untuk juga memilih kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pada akhirnya DPR dan Pemerintah  menyepakati diterbitkannya UU No 32 tahun 2004, di mana  Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Pilkada langsung itu pertama kalinya terlaksana pada Juni 2005 dan berlangsung sampai 2014 ini.
Jadi Pilkada langsung sudah berjalan 9 tahun. Ada kegairahan rakyat untuk berpartisipasi. Rakyat bisa melihat dan menilai siapa capres atau calon kepala daerah (cakada) yang memiliki rekam jejak dan program kerja yang bagus. Ratusan kepala daerah telah dipilih langsung oleh rakyat. Banyak kepala daerah yang yakin jika melalui DPRD, mereka pasti tidak terpilih. Tapi karena melalui pilkada langsung, rakyat menilai mereka adalah calon kepala daerah (cakada) yang lebih baik dari calon lainnya. Melalui Pilkada perwakilan, Jokowi (DKI Jakarta dan Ridwan Kamil (Bandung) pastilah tidak terpilih. Tetapi rakyat memilih mereka.
Jika kita melakukan perbandingan ke negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi, kedua sistem sebenarnya juga digunakan. Negara-negara yang meng-gunakan sistem presidensial, seperti Amerika Serikat, Perancis, Korea Selatan dan lain-lainnya  melakukan pemilu langsung oleh rakyat. Tetapi negara-negara yang menganut sistem parlementer melaksanakan pemilu dengan sistem perwakilan. Negara-negara tetangga kita yang menganut sistem parlementer  seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, dan India, perdana menteri dipilih oleh parlemen.
Dengan demikian, pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung sebenarnya dijalankan pada sistem presidensial. Sedangkan pemilihan tidak langsung melalui DPR umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut sistem parlementer, di mana seorang perdana menteri bisa dijatuhkan oleh mayoritas suara di DPR.
Oleh sebab itu, mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD sebenarnya langkah mundur, dan bersifat pemaksaan karena KMP merasa memiliki kekuatan untuk menggolkannya. Pilkada tidak langsung berarti kembali ke sistem politik rezim orde baru yang bersifat otoriter. Hal itu dapat dimengerti karena tokoh-tokoh penting KPM adalah pentolan rezim Orba, seperti Akbar Tanjung, Prabowo dan ARB.
Selain itu, selama 9 tahun ini pilkada langsung sudah berjalan dengan kegairahan rakyat yang cukup tinggi. Karenanya, mengembalikannya kepada sistem pemilihan perwakilan akan dirasakan sebagai penjegalan terhadap kedaulatan yang sudah berada di tangan rakyat. Di samping itu, ada inkosistensi, presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi kepala daerah yang seharusnya sangat dekat dengan rakyat, justru dipilih oleh DPRD.
Yang menjadi masalah di negara kita, Pemilu selalu dikaitkan dengan politik uang yang berujung dengan korupsi. Kedua sistem pemilu rentan dengan politik uang, yang diwarnai oleh politik transaksional dengan pihak pengusaha, dan berujung pada korupsi. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa korupsi akan bisa hapus melalui pilkada  melalui DPRD, seperti yang dijanjikan Amien Rais dari PAN.
Oleh sebab itu, yang diperlukan saat ini sebenarnya adalah membenahi pelaksanaan pilkada langsung untuk meminimalisir korupsi. Untuk itu, diperlukan ketentuan yang mewajibkan para cakada transparan tentang sumber dana yang mereka gunakan untuk meme-nangkan pilkada. Selain itu, UU Pilkada perlu ditambahkan dengan pasal yang berisi sanksi tegas kepada calon kepala daerah (cakada) yang terbukti melakukan politik uang, dengan mendiskualifikasi mereka sebagai cakada. Panwaslu dan KPK diberi tugas untuk mengawasi kemungkinan terjadinya politik uang tersebut.
Ciawi 15 September 2014
Twitter : @mjnasti_50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H