Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Politik, Uang Mahar dan Korupsi APBD

14 Maret 2016   05:24 Diperbarui: 14 Maret 2016   07:32 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah uang mahar tidak ada dalam persyaratan Pilkada. Uang mahar sebenarnya adalah istilah dalam urusan perkawinan. Pria yang mengucapkan ijab kabul akan menyebutkan besaran uang mahar yang disediakannya untuk calon isterinya.  Di banyak negara, uang mahar itu sangat besar sehingga menyulitkan pria miskin untuk menikah.

Misalnya di negara-negara Arika dan juga negara-negara Arab. Banyak terjadi kasus pemerkosaan karena pria yang sudah masuk umur belum bisa menikah karena tidak punya uang untuk membayar mahar. Akibatnya para pria miskin yang belum nikah itu menjadi sangat bernafsu melihat perempuan. Kawan saya memberi tips tentang cara naik taksi jika berkunjung ke negara-negara Arab. Yang lebih dahulu naik taksi haruslah suami baru disusul isteri. Sebaliknya kalau turun taksi, yang turun duluan isteri baru disusul oleh suami. Ini untuk mencegah sopir taksi membawa kabur sang isteri untuk diperkosa.

Tapi di Indonesia, uang mahar itu murah sekali, cukup seperangkat  alat shalat yang harganya hanya  sekitar seratus ribu rupiah Akibatnya banyak laki-laki yang tidak bertanggung jawab bisa kawin cerai seenaknya.

Apa yang disebutkan Ahok sebagai uang mahar yang harus disediakan oleh calon kepala daerah agar diusung oleh parpol, bukan uang mahar.  Yang dimaksud sebenarnya adalah semacam uang “pelicin” agar seorang calon kepala daerah (cakada) diusung oleh suatu parpol. Tentunya parpol tersebut memiliki kursi di DPRD untuk memenuhi persyaratan jumlah kursi minimal yang ditetapkan KPU untuk mengusung seorang cakada.  Selain itu, cakada harus menyediakan dana untuk – yang mereka istilahkan - menggerakkan mesin partai  agar bekerja mengkampanyekan sang cakada. Semakin banyak kursi yang dimiliki partai semakin besar uang maharnya. Lalu semakin besar APBD suatu daerah semakin mahal uang mahar yang harus disediakan sang cakada. DKI Jakarta yang mempunyai APBD Rp 70 Triliun tentu menjadikan uang mahar yang harus disediakan cagub/cawagub sangat besar. Menurut Ahok, Gubernur DKI Jakarta, uang mahar yang harus disediakan  bisa mencapai Rp 100 milyar.

Oleh sebab itu cara berpikir atau  mindset  parpol dalam urusan uang mahar itu adalah korupsi. Mereka meyakini para cakada pasti bisa mencuri APBD atau PAD untuk menutupi ongkos-ongkos yang mereka keluarkan guna memenangkan pilkada. Caranya adalah menggarong APBD kelak setelah mereka berkuasa.

Itulah sebabnya ada uang komisi yang harus dibayar para kontraktor untuk mendapatkan proyek apa saja di setiap daerah. Para kepala daerah akan memerintahkan kepada para pimpro untuk menyetorkan sekian persen dari dana setiap proyek kepadanya, tentu melalui orang kepercayaannya. Para kontraktor tentu  tidak mau rugi. Mereka akan melakukan  penggelembungan (mark up)  biaya untuk menutup uang komisi yang dibayarkan. Akibatnya, dana yang disediakan untuk setiap proyek. Konon minimal 30% dana proyek sudah terkuras karena disunat oleh para pengusaha kontraktor untuk dibagi-bagi kepada pejabat dan para kepala daerah, dan untuk keuntungan mereka sendiri.

Presiden Jokowi berusaha agar APBD itu tidak dikorupsi dengan menerapkan e-budgeting. Tetapi belum semua daerah menerapkannya. Selain itu ada banyak sumber dana lain yang bisa manfaatkan oleh para kepala daerah dan pejabat di bawahnya.

Kalau ada parpol yang membebaskan cakada dan wacakada dari kewajiban uang mahar dan uang biaya mesin parpol, maka hal itu dapat saja terjadi jika :

Pertama, sang cakada atau wacakada adalah calon petahana yang sangat popular dan dipastikan akan memenangkan pilkada. Uang mahar itu akan dibayar nanti oleh cakada setelah dilantik, berupa proyek-proyek pemda yang diberikan untuk digarap oleh perusahaan-perusahaan milik atau terkait dengan parpol tersebut. Nantinya, sang kepala daerah akan menutup mata terhadap kinerja dan kualitas pekerjaan perusahaan milik parpol tersebut yang kualitasnya sangat buruk.

Kedua, pemilik atau ketum parpol itu sangat kaya, sehingga tidak memerlukan lagi uang mahar dari cakada. Ia mempunyai sumber dana yang tidak terbatas dari tempat lain. Hal itu dialami oleh Jokowi dan Ahok sewaktu diusung menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI pada 2012. PDIP dan Gerindra membebaskan mereka dari kewajiban membayar uang mahar.

Saya gunakan istilah pemilik partai karena partai itu memang didirikan oleh seseorang dengan uang pribadinya. Tujuannya adalah untuk menjadi “kenderaan” bagi si pemilik partai  untuk memperoleh kekuasaan. Di negara kita, sebagian besar partai politik mempunyai pemilik yang mempunyai kewenangan mutlak dalam kepengurusan partai. Misalnya Megawati adalah pemilik PDIP, SBY pemilik Partai Demokrat dan Prabowo pemilik Partai Gerindra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun