Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merdeka dari Cengkeraman Sistem Ekonomi Pasar Bebas, Bisakah?

9 November 2015   11:08 Diperbarui: 10 November 2015   10:37 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para tokoh parpol, dalam berpidato tidak lupa meneriakkan kata Merdeka!. Pada hal Indonesia sudah 70 tahun merdeka, untuk apa lagi kata merdeka diteriakkan?.

Indonesia memang sudah 70 tahun merdeka secara politik. Apalagi Negara kita menganut prinsp bebas dan aktif dalam politik luar negeri. Tetapi Indonesia secara perlahan tapi pasti,  terjerumus dalam penjajahan di bidang ekonomi oleh  negara-negara kapitalis kuat. Indonesia akhirnya tunduk pada paham neoliberalisme karena kuatnya tekanan politik multirateral melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan bebas seperti WTO, IMF dan Bank Dunia. 

Paham Neoliberalisme berhasil menekan seluruh Negara di dunia untuk masuk dalam system ekonomi pasar bebas. Akan tetapi sistem ekonomi pasar bebas telah menjadikan Negara-negara yang lemah menjadi semakin lemah. Hal itu disebabkan adanya ketergantungan Negara lemah kepada Negara kuat dalam bidang keuangan, pasar, teknologi dan SDM. Masalahnya, Negara-negara lemah tersebut sama sekali tidak siap untuk memasuki pasar dan perdagangan bebas.

Maka secara regional ASEAN, sejak 2015 ini sudah memasuki era pasar bebas secara penuh. Lalu pada 2020, seluruh Negara di dunia harus membuka batas-batas kenegaraannya, terutama menghapus bea masuk yang menjadi hambatan bagi berlakunya perdagangan bebas itu.

Suatu pelajaran dari kondisi pelemahan ekonomi yang dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, dan memuncak pada 6 bulan ini, bahwa kita seharusnya sadar  Indonesia berada dalam cengkeraman sistem ekonomi pasar bebas yang serakah.

Salah satu efek negatif dari sistem pasar bebas itu adalah adanya mata uang kuat dan mata uang lemah. Negara-negara besar yang mata uangnya kuat telah menciptakan perekonomian Indonesia melemah.  China membuat kebijakan moneter yang menguntungkan bagi pemasaran hasil produksi industrinya. Dampaknya,  kurs rupiah melemah. Gubernur The Fed (Bank Central Amerika Serikat)  berunding di Washington dan memutuskan tidak jadi menaikkan suku bunganya. Dampaknya, mata uang kita bertambah anjlog nilainya.

Pada sisi lain, sistem ekonomi bebas menjadikan Negara-negara miskin yang memiliki sumber daya alam yang kaya seperti Indonesia menjadi sasaran pengurasan. Negara-negara kaya datang ke Indonesia dengan teknologi, kapital dan SDM untuk menguasai kekayaan sumberdaya alam kita. Mereka sebenarnya masuk secara sah dan legal sesuai UU Penanaman Modal Asing yang kita buat.

Akan tetapi mereka dengan licik membodohi pejabat Indonesia yang imannya kurang kuat. Akibatnya mereka mendapatkan bagian yang jauh lebih besar. Sedangkan Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam itu hanya kebagian ampas-ampasnya saja.

Misalnya Freeport dari Amerika mendapatkan konsensi tambang emas dan tembaga di Papua dengan kewajiban membayar royalty hanya 1% dari hasil tambang emas dan tembaga yang mereka keruk. Pada hal di negara-negara lain mereka harus membayar royalty sampai 7%.

Misalnya juga lapangan gas Tangguh di Papua yang dikelola Inggeris dan China. Mereka berhasil mengkadali pemerintahan Megawati dalam perundingan, sehingga mendapatkan gas dengan harga sangat murah untuk jangka waktu 30 tahun. Baru belakangan disadari bahwa Indonesia ketipu. Maka dilakukan renegosiasi yang hasilnya tidak jelas sampai sekarang.

Mereka, melalui pemerintahnya ikut mengatur kita dengan kedok memberikan nasehat teknis (technical assistance), agar ketergan-tungan kepada asing terus berlanjut. Mereka memberikan nesehat, agar dalam APBN tidak perlu dialokasikan dana untuk keperluan investasi pengelolaan sumberdaya alam. Nasehat itu diikuti oleh Pemerintah Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun