Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencermati  Sikap Parpol Terhadap Revisi UU KPK

23 Februari 2016   17:26 Diperbarui: 24 Februari 2016   16:41 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi dan pimpinan DPR sepakat untuk menunda pembahasan Revisi UU KPK. Hal di atas dapat ditafsirkan, Pertama, Presiden Jokowi dan Pimpinan DPR menunda pembahasan Revisi UU KPK menunggu situasi dingin terlebih dahulu. Revisi UU KPK yang dimotori oleh PDIP dan didukung penuh oleh Golkar menyebabkan Presiden Jokowi kesulitan dalam bersikap. Menolak Revisi UU KPK artinya melawan kebijakan yang dibuat oleh partainya sendiri. Sementara itu, pada sisi lain,  terdapat penolakan yang bersifat massif dari rakyat, dari tokoh-tokoh masyarakat dan dari perguruan tinggi.

Kedua, penundaan revisi UU KPK adalah sebagai upaya untuk menjadikan PDIP, Golkar dan parpol lain pendukung Revisi UU KPK tidak kehilangan muka. Presiden Jokowi yang orang Solo, sebenarnya tidak setuju dengan sejumlah pasal yang melemahkan KPK. Hal itu sudah disampaikannya berkali-kali. Tapi ia mencari cara agar tidak menolak secara langsung. Untuk itu, dengan alasan menghormati proses politik yang sudah berlangsung di DPR, diusulkan dan kemudian disepakati pembahasan revisi UU KPK tersebut ditunda. Lebih baik DPR konsentrasi saja dulu pada pembahasan UU Anti Terorisme.

Seluruh parpol di DPR sebenarnya  sudah merasakan dan mengalami sakitnya tertusuk pedang KPK, yang menghujam sejumlah anggota mereka, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka yang terkena telah merasakan “nikmatnya” hidup dalam tahanan dan penjara. KPK  berbeda dengan Polisi dan Jaksa yang bisa diajak main mata dan saling memanfaatkan dalam urusan korupsi. KPK tidak bisa diajak kerjasama dan  tidak pandang bulu. Yang terbukti melakukan korupsi akan merasakan dinginnya dinding penjara.  Itulah sebabnya KPK masih terus mendapat kepercayaan dari rakyat.

Meskpun demikian, setiap Parpol mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri dalam urusan revisi UU KPK.  PDIP dan Golkar merasa cukup pede untuk merombak UU KPK yang tujuannya agar KPK lemah. Mereka menginginkan sejumlah kewenangan KPK yang luar biasa harus diamputasi.

PDIP merasa pede hendak merevisi UU KPK karena faktor Jokowi. Rakyat pasti akan memilih PDIP, betapapun partai ini sangat menjengkelkan dan memuakkan, karena rakyat  akan tetap memilih Jokowi. Untuk memilih dan mempertahankan Jokowi menjadi presiden pada 2019, rakyat harus memilih PDIP terlebih dahulu.

PDIP sangat yakin, Jokowi tidak akan meninggalkan mereka, tidak akan mendirikan partai baru atau pindah partai. Jokowi tidak sama dengan Ahok yang hengkang dari Gerindra karena tidak samaan visi dan misi.

Partai Golkar mendukung revisi UU KPK karena mereka tidak peduli. Sebagai partai paling tua, Partai Golkar meyakini, sejak dulu di zaman orde baru dan di era reformasi ini,  akan tetap menjadi partai besar, paling tidak partai terbesar kedua. Jadi yang perlu dilakukan adalah bagaimana melindungi kader-kadernya dari jangkauan tangan KPK. Oleh sebab itu, pasal-pasal dalam UU KPK yang menjadikan KPK kuat  dan perkasa harus dihapus.

Selain itu, para petinggi Partai Golkar adalah tokoh-tokoh yang sangat lihai dalam permainan korupsi dan “untouchable”.  Kita bisa sebutkan nama seperti Idrus Marham, Setya Novanto, Zainuddin Amali, Alex Nurdin, Mahyudin, Azis Syamsuddin, Bambang Susatyo, termasuk juga Ade Komaruddin. Nama mereka sering disebut dalam kasus korupsi, tetapi kasus yang melibatkan mereka raib, karena tidak cukup bukti yang bisa dikumpulkan. Adapula mantan narapidana korupsi Nurdin Halid yang tetap eksis dan bahkan menduduk jabatan tinggi sebagai waketum Golkar versi ARB.

Lain lagi halnya dengan Partai Gerindra. Setelah ditinggalkan oleh partai-partai anggota koalisi dalam KMP, Gerindra memutuskan untuk berpaling kembali kepada rakyat. Partai ini  ingin mendapatkan dukungan yang lebih besar dari rakyat pada Pilkada serentak 2017 dan pemilu 2019. Pada 2014, Partai Gerindra mendapatkan 73 kursi di DPR, jauh meningkat dari perolehan pada 2009 yang hanya 30 kursi. Oleh sebab itu, Gerindra berambisi menjadi partai nomor satu, mengalahkan Golkar dan PDIP yang tidak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat.  

Demikian pula halnya  dengan Partai Demokrat yang dipimpin oleh mantan Presiden SBY. Partai ini sudah merasakan betapa enaknya berkuasa karena mendapatkan dukungan rakyat. Selama 10 tahun SBY menjadi presiden. Tapi karena banyak kadernya yang tersangkut korupsi dan kinerja SBY sebagai presiden yang tidak memuaskan, rakyat berpaling dari partai ini.

Partai Demokrat telah merasakan betapa sakitnya ditinggalkan rakyat, 87 kursi di DPR melayang, dari 148 kursi pada 2009 menjadi hanya 61 kursi pada 2014. Oleh sebab itu, untuk kembali berkuasa, Partai Demokrat harus berusaha mendapatkan kembali kepercayaan rakyat. Karenanya, mereka memilih sikap menolak revisi UU KPK,  sebagai cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun