Proyek pembangunan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (24/6). Pembangunan jalan tol di Sumatera mendukung rancangan pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera yang membujur mulai dari Aceh hingga Lampung sepanjang 2.771 kilometer dan dibagi menjadi 23 ruas. Pembangunan proyek ini dilakukan secara bertahap hingga 2025. (Kompas)
Kalau tidak ada aral melintang, pada 2019 jalan tol Sumatera dari Lampung sampai Aceh sudah selesai dan sudah bisa digunakan. Karenanya jika Tuhan memberi umur panjang dan kesehatan, saya berencana mudik lebaran, menyetir mobil bergantian dengan anak dan menantu. Saya ingin merasakan betapa nikmatnya pulang kampung melalui jalan tol itu ke kampung halaman, di sebuah desa (nagari) di dekat Kota Bukitinggi. Ikut pula dalam perjalanan itu dua orang cucu saya, sehingga semua berjumlah enam orang. Dengan mobil jenis Avanza atau Ertiga, enam penumpang termasuk yang nyopir masih cukup lega.
Soalnya dulu saya sudah beberapa kali membawa mobil dari Jakarta ke kampung melalui jalan lintas Sumatera yang non tol. Saya pernah menempuh jalan lintas tengah dan lintas timur. Jarak dari Bakauheni ke Bukittinggi sekitar 1.600 km. Kecepatan mobil hanya bisa rata-rata 40 km per jam karena jalan sempit, jalan rusak dan berlobang, dan ada truk serta bus yang menghalangi di depan karena berjalan lebih pelan. Cukup menyengsarakan dan rasanya seperti tidak akan pernah sampai di kampung.
Saya menghitung perjalanan itu dengan start dari Bakauheni, karena ada penyeberangan dengan kapal feri yang tidak bisa dipastikan waktu yang diperlukan untuk antri menyeberang. Saya berangkat dari Bogor pukul 21.00 malam dan sampai di Pelabuhan Merak sekitar pukul 24.00. Diperkirakan lama penyeberangan dan waktu tunggu di pelabuhan sekitar 4 jam.
Kalau menempuh jalan lintas tengah Sumatera, berangkat pukul 4.00 pagi dari Bakauheni maka biasanya sore hari baru sampai di Kota Lahat atau Muara Enim. Saya menginap di kota itu, karena saya tidak punya nyali membawa mobil pada malam hari di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang terkenal banyak bajing loncatnya. Pagi hari berangkat lagi melewati Lubuk Linggau, Sorolangun, Bangko, Muara Bungo, Sijunjung dan sampai di Bukittinggi sekitar pukul 21.00. Jadi perjalanan itu menghabiskan sekitar 40 jam.Â
Akan tetapi dengan jalan tol yang lebih lebih lebar, lurus dengan sedikit belokan, mungkin jarak itu bisa dipangkas menjadi 1.300 km saja. Selain itu mobil bisa dipacu dengan kecepatan 80 -100 km per jam. Jadi hanya diperlukan waktu perjalanan selama 15 jam. Di tambah dengan makan dan istirahat di rest area, maka total perjalanan hanya memerlukan sekitar 18 jam. Jika berangkat pukul 4.00 pagi di Bakauheni akan sampai di Bukittinggi pada pukul 22.00 malam.
Dengan demikian ada efisiensi waktu perjalanan sekitar 22 jam dibandingkan dengan menggunakan jalan non tol. Selain itu tidak perlu nginap di hotel di salah satu kota. Perjalanan pulang kampung itu akan menghabiskan BBM sekitar 100 liter x Rp 7.500,- = Rp 750.000,00. Ongkos penyeberangan di Merak Rp 350.000,- dan bayar tol sekitar Rp 1 juta. Sehingga perjalanan pulang kampung itu hanya menghabiskan uang sekitar Rp 2.100.000,-. Di luar makan dan minum di restoran.
Jika dibandingkan dengan menggunakan pesawat terbang tentu biaya sebesar itu jauh lebih murah. Tiket pesawat saja untuk 6 orang akan menghabiskan sekitar Rp 6 juta, di luar airport tax dan ongkos taksi. Selain itu, selama di kampung, ada mobil yang bisa digunakan untuk mengunjungi sanak keluarga dan tempat-tempat wisata alam dan kuliner yang sudah direncanakan, selain tentunya biaya BBM.
Untuk keperluan istirahat sambil berhemat, tidak perlu makan di resto mahal yang terdapat di rest area. Kita bisa keluar di kota yang paling dekat dengan jalan tol untuk mencari makan sambil istirahat di kota itu setelah makan dan shalat kita bisa membeli oleh-oleh berupa buah-buahan seperti duku, durian, jeruk, nanas dan sebagainya.
Oleh sebab itu, sebagai orang asli Sumatera, saya tidak setuju dengan pendapat Faisal Basri (FB) yang menyebutkan Presiden Jokowi sesat pikir karena membangun jalan tol Lintas Sumatera. Saya juga tidak sependapat dengan Iskandar Zulkarnain, teman Kompasioner, yang mencemaskan banyak hal dengan dibangunnya jalan tol Lintas Sumatera. Padahal keduanya asli Sumatera. Saya justru sudah membayangkan nikmatnya pulang kampung melalui jalan tol tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H