Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Sakarat?

24 Januari 2015   20:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Besar kemungkinan sejarah akan  mencatat tidak lama setelah Presiden Jokowi berkuasa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bubar. Tanda-tanda akhir zaman bagi KPK sudah mulai terlihat.  Secara sistematis langkah-langkah menuju  pembubaran KPK sedang berlangsung sangat cepat.

Langkah pertama, DPR menunda pemilihan seorang pimpinan KPK untuk menggantikan Busyro Mukaddas. Alasan DPR, agar pemimpin KPK seluruhnya dipilih serentak. Dengan demikian, sampai akhir 2015, pimpinan KPK tinggal 4 orang. Pada hal UU KPK menetapkan pimpinan KPK berjumlah 5 orang.

Lalu langkah pembubaran KPK dipercepat oleh adanya koinsidensi. Dengan semangat dan keberanian untuk membersihkan negara dari koruptor,  KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) menjadi tersangka perbuatan tindak pidana korupsi. Pada hal BG adalah calon tunggal Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi untuk disetujui DPR. Ternyata DPR melecehkan ketetapan BG sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Sembilan dari sepuluh parpol di DPR menyatakan setuju BG diangkat menjadi Kapolri.

Presiden Jokowi pada mulanya masih memberikan respon seimbang antara aspek politis (kemauan DPR) dengan aspek hukum (status BG sebagai tersangka) dengan membuat Keppres penundaan pelantikan BG sebagai Kapolri. Akan tetapi banyak pihak berkepentingan yang tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Presiden Jokowi tersebut. Maka dimulailah upaya-upaya untuk menyerang KPK. Serangan telak pertama adalah melalui Hasto Kristiyanto, Plt Sekjen PDI-P, partai pendukung utama Jokowi. Hasto adalah tokoh PDIP yang nyaring mendesakkan agar BG dilantik segera menjadi Kapolri.

Serangan ditujukan kepada Abraham Samad (AS) yang menjabat Ketua KPK. Hasto menuduh  AS telah melakukan pertemuan berkali-kali dengan Jokowi yang waktu itu masih menjadi capres. AS berambisi menjadi cawapres. Jadi, penetapan BG menjadi tersangka oleh KPK diyakini sebagai balas dendam AS karena tidak dipilih menjadi cawapres. Secara akal sehat sebenarnya tidak jelas apa hubungannya antara BG calon Kapolri dengan dendam AS karena tidak menjadi calon wapres Jokowi. Namun isu itu diledakkan oleh Hasto di tengah meruncingnya suasana perseteruan Polri dengan KPK.

Tuduhan Hasto itu sebenarnya dipertanyakan oleh rekannya sendiri dari PDIP,  yaitu Seskab Andi Wijayanto dan Mendagri Tjahjo Kumulo. Mereka meragukan dan menyatakan pertemuan yang dituduhan Hasto itu setahu mereka tidak pernah ada. Meskipun demikian kerusakan sudah terjadi. Tuduhan Hasto tersebut menimbulkan masalah etik di KPK. Sebuah komite etik harus dibentuk untuk mengklarifisikasi tuduhan tersebut. Jika tuduhan itu benar, maka AS harus dipecat sebagai pimpinan KPK, dan pimpinan KPK tinggal 3 orang. Sebaliknya jika tidak benar, maka Hasto harus mempertanggung jawabkan pernyataannya sebagai fitnah dan pencemaran nama baik.

Sehari setelah serangan Hasto kepada Ketua KPK,  rakyat Indonesia, terutama aktifis anti korupsi,  kembali dikagetkan oleh peristiwa penangkapan  Bambang Wijojanto (BW), Wakil Ketua KPK,  yang dilakukan Bareskrim Polri. Penangkapan BW didasarkan atas laporan masyarakat dalam hal ini  Sugianto Sabran yang juga anggota DPR Fraksi PDI-P,  pada 15 Januari lalu, yang menuduh BW menyuruh para saksi memberikan keterangan palsu di MK dalam perkara gugatan Pilkada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dengan laporan ini Polisi bertindak cepat. BW ditangkap, diborgol dan dibawa ke Bareskrim Polri lalu dilakukan pemeriksaan dan akhirnya  ditetapkan sebagai tersangka.

Benarkah BW telah melakukan tindak pidana menyuruh sejumlah orang memberikan keterangan palsu?.  Mengenai hal itu, Prof. Saldi Isra yang menjadi juri seleksi calon pimpinan KPK sewaktu BW menjadi salah satu peserta memberikan penjelasan. Tim seleksi telah meminta keterangan BW dan menyimpulkan tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan BW.  Komisi III DPR  pada waktu itu juga menyimpulkan bahwa BW bersih.  Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar juga merasa heran, karena ia sebagai pihak yang berperkara tidak pernah diperiksa oleh Polisi. Selain itu, meskipun sebagai kuasa hukum, BW tidak berhubungan dengan saksi dan tidak pula memberi kesaksian. Ujang pun siap manakala dirinya dimintai keterangan.

Kasus gugatan Pilkada Kotawaringin Barat sendiri sudah selesai. Bahkan,  menurut Ujang Iskandar, Bupati Kotawaringin Barat,  Sugianto Sabran sebagai pihak tergugat dan kalah dalam Persidangan di MK telah mencabut pengaduannya tentang kesaksian palsu tersebut.

Akan tetapi pada saat terjadi ketegangan antara Polri dan KPK setelah BG ditetapkan sebagai tersangka, entah siapa yang menyuruh, Sugianto kembali membuat pengaduan terhadap BW,  yang direspon Bereskrim secara cepat sebagai pintu masuk.

Dengan berstatus sebagai tersangka,  maka BW tidak bisa lagi melakukan tugas-tugasnya selaku Wakil Ketua KPK. Dengan cara itu, Polri berhasil melemahkan KPK, karena pimpinan KPK hanya tinggal 3 orang dari yang seharusnya 5 orang. Bahkan, jika AS tersandung kasus yang dituduhkan Hasto, maka pimpinan KPK hanya tinggal 2 orang. Praktis KPK sudah tidak bisa lagi bekerja secara efektif.

Dari keterangan para ahli dan saksi yang terlibat langsung dalam kasus itu, serta pendapat sejumlah pimpinan lembaga negara dan lembaga  hukum,  disimpulkan bahwa    penangkapan BW tidak bisa dihindari dari aroma balas dendam Polri kepada KPK yang telah menetapkan BG sebagai tersangka. Kabareskrim sepertinya merekayasa kasus  Pilkada Kotawaringin Barat ini untuk digunakan menjerat BW, agar KPK menjadi lemah dan  berdaya. BW selama ini adalah pimpinan yang menjadi motor penggerak pemberantasan korupsi yang dilancarkan KPK.

Upaya pelemahan KPK tersebut sepertinya tidak bisa dilepaskan dari skenario yang disiapkan oleh pihak-pihak yang menginginkan pembubaran KPK.  Kita melihat, Kejagung dengan Satgas Khusus Anti Korupsi yang baru dibentuk,  sepertinya diminta untuk  bekerja cepat, untuk membuktikan lembaga kejaksaan tidak kalah dengan KPK.  Sekarang, dalam waktu kurang sebulan setelah dibentuk,  30 kasus korupsi, baik kasus lama maupun baru, mulai digarap secara intensif.

BG sendiri,  dalam penyampaian visi dan misinya dihadapan Komisi III DPR  juga akan membentuk satgas khusus polisi anti korupsi. Jika BG akhirnya dilantik menjadi Kapolri, maka dua lembaga penegak hukum itu akan bersatu padu, bersinerji untuk membuktikan mereka juga  mampu menumpas korupsi secara efektif. Bahkan mereka menyatakan memiliki kemampuan  melebihi KPK,  karena jaringan kelembagaan Polri dan Kejaksaan mencakup seluruh wilayah Indonesia.

Pada waktu itulah,  DPR didukung oleh Polri dan Kejagung mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengusulkan pembubaran KPK karena statusnya sebagai lembaga ad hoc. Mereka sangat berkeinginan KPK dibubarkan,  karena selama ini menjadi duri dalam daging.

Demikianlah, Lonceng kematian sedang disiapkan untuk menandai bubarnya KPK. Pimpinan DPR yang nyaring menuntut pembubaran KPK seperti Fahri Hamzah dari PKS,  Fadli Zon dari Gerindra, serta sejumlah anggota DPR yang teridentifikasi terlibat dalam berbagai kasus korupsi akan bergembira ria merayakan kemenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun