Saya hadir di Kompasianival 2016 dengan harapan bisa ketemu sejumlah penulis artikel di Kompasiana. Tapi tidak banyak yang saya kenal, karena sebagian besar peserta adalah anak muda. Yang tua dan gaek seperti saya hanya  beberapa orang yang sempat saya temui.  Di pintu masuk saya dihadang oleh Thamrin Sonata. Lalu sewaktu mencari kursi untuk duduk  saya melihat  dan salaman dengan Pak Tjiptadinata dan Ibu Roselina.Â
Pada pertengahan acara saya melihat wajah dan mendatangi Adi Bermasa, penulis Kompasiana asal Padang. Capek duduk saya bangkit dan keliling. Saya bertemu dengan Pak Axtea 99 yang nama aslinya adalah Eddy Sudirman, seumuran dengan saya, sama-sama 66 tahun, hanya saya lebih tua 3 bulan.  Lalu saya berkenalan dengan Susy Haryawan, penulis  muda yang termasuk paling produktif di Kompasiana. Ternyata ia bermukim di Salatiga, Jawa Tengah. Saya ketemu juga dengan Pak Thamrin Dahlan yang baru siang hari hadir di Kompasianival. Ada pula Pak Taufik Uek yang rajin menulis tentang masjid  di berbagi  belahan dunia.
Lalu saya berkenalan dengan Irwan Rinaldi Sikumbang, yang rajin menulis tentang banyak hal, termasuk perjalanan dan olah raga. Ia rupanya barusan pensiun. Â Tapi saya tidak menemukan Iskandar Zulkarnain, yang rupanya masih asyik berkelana di Flores dengan sepeda motor.
Demikianlah, saya sempat ngobrol sambil berdiri dengan mereka. Pak Axtea menceritakan pengalaman menulisnya, pernah 55 kali ditolak admin, karena kebanyakan mengutip. Beliau rupanya setelah pensiun baru mulai belajar menulis dan karenanya banyak mengutip, dan ditolak. Tapi sekarang sudah menjadi penulis artikel hebat di Kompasiana. Tulisannya banyak yang dipilih admin dengan status pilihan.
Dengan Susy Haryawan saya sempat membicarakan tentang cara penulisan terkait dengan sumber atau refensi. Saya dan Pak Susy sepakat. karena artikel di Kompasiana bukan tulisan ilmiah, maka tidak diperlukan benar dituliskan sumbernya seperti di skripsi. Bahkan meskipun menggunakan sejumlah sumber, tulisan yang dibuat sudah diubah dengan redaksional yang berbeda dari yang dikutip, sehingga yang terbaca lebih mencerminkan pendapat penulis sendiri.
Saya juga sempat menemui dan ngobrol sebentar dengan tuan rumah, Pak Pepih Nugraha. Kami sempat bicara sebentar saja tentang buku catatan harian Ahmad Wahib, yang kopinya saya kirimkan kepada Pak Pepih Nugraha.
Kemudian saya menemui Pak Tjiptadinata Effendi dan isteri yang duduk di conter penerbit buku yang dikomandani  oleh Pak Thamrin Sonata. Saya ngobrol agak lama, untuk menggali pengalaman hidup Pak Tjiptadinata Effendi. Seringkali bahasa yang kami gunakan adalah Bahasa Minang.
Ternyata dari penulis artikel di Kompasiana yang saya temui, penulis yang berasal atau perantau dari Padang (Sumatera Barat) cukup banyak. Jadi, ada Pak Tjiptadinata Effendi, kelahiran Payakumbuh dan dibesarkan di kota Padang. Sedangkan ibu Roselina dilahirkan di Solok. Mereka bertemu di Padang sewaktu menjadi siswa SMA Don Bosco. Â
Lalu ada pula Pak Thamrin Dahlan yang sekarang rajin menulis pantun di Facebook. Â Beliau sebenarnya dilahirkan di kota Tempino, Provinsi Jambi. Tapi ibu beliau berasal dari Lintau, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat dan ayah dari Bengkulu. Sesuai adat Matriarkat Minangkabau, Pak Thamrin Dahlan adalah orang Minang benaran.
Lalu ada Pak Adi Bermasa yang orang Padang benaran serta bermukim di Padang. Umurnya 65 tahun, lebih muda satu tahun dari saya. Beliau hadir di Kompasianival berbarengan dengan suatu acara dengan anak beliau di Bandung. Sebagai orang Padang, mantan wartawan di Harian Singgakang, Â beliau banyak menulis tentang berbagai masalah di Sumatera Barat.
Selanjutnya, Irwan Rinaldi Sikumbang. Ia seorang penulis produktif di Kompasiana. Berasal dari Padang Tarok, sebuah nagari di jalan lurus setelah Baso menuju kota Payakumbuh. Usianya 56 tahun, dan katanya barusan pensiun dari kantor di mana ia bekerja. Sikumbang adalah nama sukunya (marga), sama dengan saya yang bersuku Sikumbang.