Â
Namanya Abdul Hakim. Waktu ketemu saya 10 tahun yang lalu, umurnya sekitar 35 tahun. Ia berasal dari Jawa Tengah tetapi nasib membawanya terdampar di Tanjung Karang - Lampung. Saya bertemu Hakim sebagai pengusaha rumah makan Padang di dekat Pasar Parung.  Waktu itu saya mempunyai bisnis budidaya pembibitan ikan di dekat Parung, karenanya sering mampir untuk makan siang di rumah makannya.
Hakim merasa akrab dengan saya. Katanya, rumah makannya mulai ramai sejak saya makan di sana, karena saya selalu datang membawa mobil. Kalau saya dan isteri makan siang, selalu ditawarkan bonus seperti pisang, kerupuk dan sebagainya, yang tidak dihitung sewaktu bayaran.
Pada suatu kali Hakim bercerita. Sewaktu berumur belasan tahun, ia sangat miskin, tinggal di emperan toko di Tanjung Karang. Beberapa tahun ia menjadi tukang angkat barang belanjaan ibu-ibu di pasar.  Lalu ia menjadi langganan tetap seorang  ibu pemilik rumah makan Padang.  Melihat kerajinannya, si Ibu menawarkan kepadanya untuk bekerja dengannya. Ia akhirnya menjadi tangan kanan si Ibu, dan menyerahkan kepadanya urusan belanja ke pasar.
Setelah pulang dari pasar, Hakim membersihkan bahan yang baru dibeli dan memotong-motong ikan, ayam dan daging sesuai petunjuk si Ibu. Pada akhirnya, si Ibu yang menjadi induk semang Hakim mengajarkan kepadanya rahasia dapurnya, yaitu resep memasak masakan Padang.  Ia menjadi trampil memasak rendang, dendeng, gulai ikan, asam padeh dan berbagai menu masakan Padang lainnya.  Ia akhirnya diangkat menjadi menantu oleh si Ibu. Anak perempuan terkecil si Ibu dinikahinya.
Hakim menjelaskan mengapa si Ibu bersedia memberikan ilmu memasak masakan Padang kepadanya. Selama bekerja, ia tidak pernah mengeluh. Ia melakukan tugasnya dengan riang gembira. Ia bersyukur mendapatkan induk semang yang baik hati. Karenanya ia menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tidak pernah sekalipun ada kehilangan. Bahkan, ia menjaga makannya, jangan sampai mengambil makanan yang masih laku untuk dijual.
Setelah bekerja selama 15 tahun dengan si Ibu, Hakim meminta izin untuk pergi merantau ke Jawa. Ia mempunyai sedikit uang simpanan dan ingin membuka rumah makan Padang sendiri. Mula-mula ia berjualan dengan gerobak di pinggir jalan. Setelah itu ia berhasil mengontrak sebuah rumah yang dimodifikasi menjadi rumah makan.Â
Pada waktu itulah saya bertemu dengan Hakim, orang Jawa pemilik rumah makan Padang. Bulan lalu saya lewat jalan  yang dulu menjadi lokasi rumah makan Padang milik Hakim. Rupanya dalam tempo 10 tahun, sudah banyak perubahan yang terjadi. Jalan itu sudah semakin lebar. Kiri kanan jalan sudah dipenuhi oleh bangunan besar pabrik-pabrik.
Tidak ada lagi rumah makan Padang milik Hakim di sana. Mungkin ia sudah pindah ke lokasi lain. Mungkin juga ia sudah pulang Tanjung Karang, meneruskan rumah makan Padang milik si Ibu yang juga mertuanya. Tapi yang pasti, Hakim sudah memiliki modal dasar yang tidak lekang oleh panas, yaitu menjadi wirausaha rumah makan Padang. Semuanya diperoleh karena ketekunan dan kejujuran  dalam bekerja dengan orang lain.
Â
Â