Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi Harus Keluar dari PDIP

12 April 2015   19:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi bertubi-tubi dipermalukan dan dilecehkan oleh Megawati dalam Kongres IV PDIP di Bali. Ia direndahkan dengan tidak memberikan penghormatan yang sepantasnya sebagai presiden Repubik Indonesia. Secara protokoler,  Jokowi dan JK seharusnya datang paling belakang dan pulang paling duluan pada acara pembukaan kongres, bukannya ia yang harus menunggu kehadiran Megawati. Ia selaku presiden tidak diberi kehormatan untuk membuka secara resmi kongres,  bahkan tidak diberi kesempatan memberikan sambutan. Ia harus merendahkan diri memakai jas merah,  pakaian kebesaran PDIP. Pada hal ia sudah menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia.

Megawati juga merendahkan Jokowi dengan mengingatkan bahwa ia menjadi presiden karena diusung oleh PDIP, karenanya harus mematuhi garis kebijakan partai. Ia disebutkan sebagai petugas partai, dan sebagai presiden ia harus melaksanakan kebijakan partai pengusungnya. Yang lebih menyakitkan,  pada pidato penutupan kongres, dengan nada tinggi Megawati mempersilahkan seluruh kader partai,  termasuk Jokowi,  jika tidak patuh sebagai petugas partai untuk keluar dari PDIP.

Sesuai tradisi negara-negara demokrasi manapun, pada mulanya seorang menjadi calon presiden memang diusung oleh partainya. Contohnya, Obama didukung oleh Partai Demokrat,  Bush oleh Partai Republik. Tetapi kesetiaan kepada partai harus berhenti pada saat ini terpilih menjadi presiden. Presiden John F. Kennedy mengucapkan satu kalimat yang dicatat dalam sejarah My loyalty to the party end, when my loyalty to the country begins!” Kesetiaan pada partai berakhir, saat tugas atau kesetiaan pada negara dimulai.

Namun dengan pongahnya,  Megawati mengatakan dirinya merasa sudah seperti presiden,  karena mempunyai anak buah jutaan orang yang tersebar di seluruh Indonesia, yang siap diperintah sewaktu-waktu. Ia mungkin tidak sampai hati mengatakan bahkan Presiden RI adalah juga anak buahnya. Ia juga mengklaim dirinya sebagai orator paling hebat di Indonesia, mungkin untuk menyindir Jokowi yang tidak pandai berpidato.

Megawati jengkel dan marah kepada Jokowi karena banyak hal. Pertama,  mungkin ada penyesalan mendukung Jokowi yang hanya anggota biasa, yang hanya anak orang miskin di Solo, yang tidak ada darah birunya. Ia mungkin diprovokasi oleh para pembisik bahwa kalau ia yang mencalonkan diri jadi presiden, pastilah sekarang ia sudah menjadi presiden,  bukannya Jokowi.

Kedua, Jokowi ternyata tidak terlalu patuh kepadanya. Selaku presiden yang memiliki hak prerogatif,  Jokowi membuat banyak keputusan strategis sendiri tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu kepadanya. Sebelum dilantik menjadi presiden, Jokowi membentuk Tim Transisi yang beranggotakan sebagian besar adalah pendukung Jokowi yang bukan anggota PDIP atau KIH. Tim inilah yang menyusun berbagai perencanaan untuk mengimplementasikan visi dan misi serta program yang dijanjikan Jokowi dalam rangka Pilpres.

Sebagian anggota Tim Transisi diangkat menjadi menteri,  tetapi bukan yang berasal dari PDIP dan KIH. Selanjutnya Jokowi mengangkat menteri-menteri dari kalangan profesional lebih banyak dari pada yang berasal dari parpol pendukungnya. Mereka itulah yang mungkin termasuk yang dituduh Megawati, sebagai penumpang gelap yang menyalib di tikungan.

Ketiga, Jokowi tidak meminta persetujuan kepada Megawati tentang nama-nama calon menteri. Ia hanya memberikan jatah posisi menteri yang namanya ditentukan sendiri oleh Jokowi,  bukan oleh Megawati. Megawati  dan para kader PDIP di DPR jengkel,  karena jatah menteri dari parpol anggota KIH lainnya tidak proporsional dengan jatah PDIP selalu pemenang kursi terbanyak di DPR.  PDIP hanya kebagian 4 posisi menteri,  sama banyak dengan menteri dari PKB dan Nasdem. Bahkan PPP  yang bukan KIH juga kebagian 1 menteri. Mungkin Jokowi salah perhitungan, sejumlah menteri yang dekat PDIP dan Megawati dikelompokkan sebagai kader PDIP,  meski tidak punya kartu anggota, seperti Andi Wijayanto, Rini Sumarno dan Riyacudu.

Kejengkelan Megawati mungkin bertambah sewaktu Jokowi membentuk lembaga staf kepresidenan yang diketuai oleh Luhut Panjaitan,  pendukung dan teman lama Jokowi,  tetapi berasal dari Golkar. Posisi itu dipandang sangat strategis,  sehingga bahkan Wapres JK juga tidak terlalu ikhlas menerimanya. Pada hal lembaga yang dipimpin Luhut Panjaitan itu hanya bertugas melaksanakan berbagai kegiatan yang ditentukan presiden. Misalnya tugas penyelenggaraan Peringatan 60 tahun KAA. Demikian pula, pada bulan-bulan ini Jokowi mengisi banyak posisi komisaris BUMN sebagian besar dari kalangan pendukungnya, bukan dari kalangan kader PDIP dan KIH.

Keempat, Jokowi membatalkan pengangkatan Budi Gunawan (BG) menjadi Kapolri. Pada BG adalah orang dekat dan kepercayaan Megawati dan menjadi ajudannya selama bertahun-tahun sewaktu ia menjadi wapres dan presiden pada 1999 sampai 2004. PDIP dan parpol anggota KIH, termasuk juga sejumlah menteri dan bahkan Wapres JK mendukung dan menekan Jokowi agar melantik BG menjadi Kapolri. Namun pada detik terakhir,  Jokowi menolak segala desakan itu dan membatalkan pengangkatan BG menjadi Kapolri.

Berbagai penghinaan yang dilakukan Megawati kepada Jokowi menurut Prof. Ikra Nusbakti, sangat tidak pantas itu. Sebenarnya secara tidak langsung Megawati telah menghina dan merendahkan pilihan rakyat Indonesia yang memilih Jokowi sebagai presiden. Ia juga telah melecehkan simbol kenegaraan,  yaitu presiden, yang padanya melekat berbagai keharusan protokoler yang harus dipenuhi oleh siapapun.

Oleh sebab itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk mengambil keputusan keluar  dari PDIP.  Ia telah dipersilahkan oleh Megawati untuk keluar jika tidak mau menjadi petugas partai. Karena kesetiaanya kepada partai harus diakhiri setelah terpilih dan dilantik menjadi presiden, maka tidak ada pilihan lain bagi  Jokowi,  ia harus keluar dari PDIP.  Ia tidak lagi menjadi petugas partai. Ia telah menjadi pemimpin bagi 250 juta rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Jokowi harus berani tegas, sebagaimana Ahok dengan gagah berani menyatakan diri keluar dari Gerindra,  karena tidak lagi cocok dengan kebijakan yang digariskan partai itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun