Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Problema Suku Anak Dalam

2 November 2015   06:49 Diperbarui: 2 November 2015   07:52 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi adalah Presiden RI pertama yang berkunjung langsung ke hutan untuk menemui Suku Anak Dalam. Bung Karno pernah juga bertemu dengan tetua Suku Anak Dalam, tetapi di Istana Merdeka.

Suku Anak Dalam yang dikenal juga dengan sebutan Suku Kubu adalah salah satu suku terkebelakang yang tinggal di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di Provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang (Wikipedia). Karena mereka tinggal di hutan, maka Presiden Jokowi harus mendatangi hutan di mana mereka bermukim.

Suku ini masih nomaden, berpindah-pindah dari suatu hutan ke hutan lain yang mereka sebut tradisi melangun. Biasanya mereka pindah jika ada warga mereka yang meninggal. Mereka meninggalkan hutan itu dan mencari hutan lain yang berjarak puluhan kilometer untuk dijadikan tempat tinggal baru. Mereka bisa pindah kapan saja  jika ada anggota mereka yang meninggal. Mereka tidak peduli dengan asset dan properti yang mereka miliki. Kalau sudah ada komando dari tetua untuk pindah, mereka meninggalkan semua harta yang mereka miliki.

Konon asal usul suku Anak Dalam, berdasarkan kisah bertutur mereka, adalah orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.  Tapi ada versi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Hal Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Suku Anak Dalam atau Suku Kubu sudah mengenal uang sebagai alat tukar untuk membeli berbagai barang kebutuhan sehari-hari seadanya. Mereka juga sudah mengenal pakaian.

Pada tahun 1984-1988, sewaktu bertugas sebagai konsultan di Propinsi Jambi, saya sering bertemu rombongan orang Suku Anak Dalam yang meminta uang kepada pengendara mobil yang lewat. Tapi saya diingatkan untuk tidak memberikan uang, karena jika diberi satu orang, maka semuanya harus diberi.  Pada hal jumlah mereka puluhan orang.

Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam menjadi semakin sulit setelah hutan-hutan mereka beralih fungsi  menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit.  Selain dijadikan lahan perkebunan, hutan-hutan di Jambi dan Sumsel juga sudah beralih fungsi menjadi lokasi permukiman transmigrasi dari Jawa dan Bali. Di Provinsi Jambi terdapat sejumlah permukiman transmigrasi besar, seperti Kuamang Kuning, Hitam Hulu, Kubang Ujo dan  Singkut. Dahulunya kawasan itu adalah hutan-hutan yang didiami Suku Anak Dalam.

Karenanya hutan yang tempat tinggal mereka semakin mengecil dan menyempit. Sumber kehidupan mereka yang diperoleh dengan cara berburu dan  dicari langsung dari  hutan dan pepohonan semakin berkurang. Sementara mereka tidak memiliki tradisi bercocok tanam dan budidaya usaha peternakan atau perikanan.

Sejauh ini, terkenal satu nama yang pernah hidup bersama Suku Anak Dalam, yaitu Saur Marlina Manurung (42) atau yang dikenal dengan nama Butet Manurung. Ia seorang perempuan dengan latar belakang pendidikan Antropologi Unpad.  Ia menjadi guru dan  mendirikan “Sokola Rimba” (sekolah rimba) bagi anak-anak Suku Anak Dalam. Ia mengajarkan menulis, membaca dan berhitung kepada anak-anak suku Anak Dalam. Kisah perjuangan Butet Manurung telah difilmkan. Atas jasa dan perjuangannya, Butet Manurung memperoleh penghargaan sangat bergengsi,  Ramon Magsaysay Award.

Presiden Jokowi menawarkan bantuan rumah untuk mereka dan mengajak mereka untuk meninggalkan tradisi nomaden itu. Sejak dahulu, Kementerian Sosial dan juga Pemda sudah melakukan hal yang sama. Tetapi tidak berhasil.  Tradisi melangun yang mereka anut menyulitkan segala upaya pembinaan dan penyediaan fasilitas kehidupan, karena suatu waktu pasti akan mereka tinggalkan.

Karenanya tidak mudah melakukan pembinaan kepada warga Suku Anak Dalam. Upaya pembinaan hanya bisa berhasil jika ditujukan kepada para remaja sebelum mereka dicekoki oleh paham dan agama primitif yang didokrinkan orang tua mereka. Tidak mudah membina suku Anak Dalam karena sangat sulit mendapatkan tenaga Pembina yang mau tinggal di hutan berhari-hari, dan hidup secara mandiri seperti yang dilakukan Butet Manurung. Mereka harus berjuang sampai diterima oleh warga Suku Anak Dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun