PDIP adalah partai “penguasa” karena Presiden Jokowi adalah kader yang diusung partai itu menjadi Capres pada Pilpres 2014. Jokowi memenangkan Pilpres 2014 tersebut. Karenanya PDIP disebut sebagai partai penguasa.
Tetapi PDIP tidak selalu seiring sejalan dengan Presiden Jokowi meskipun memiliki kesamaan visi dan misi mengenai Trisakti dan Nawacita. Tetapi pada tataran operasional, banyak kebijakan dan keputusan Presiden Jokowi yang tidak disukai oleh PDIP.
Jokowi terbukti bukanlah presiden yang lemah dan bisa diatur-atur oleh Megawati. Jokowi tidak bodoh untuk memahami bahwa ia menjadi presiden karena dipilih dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia yaitu oleh 54% rakyat yang terdaftar sebagai pemilih. Sedangkan kontribusi PDIP, jika mengacu hasil Pemilu Legislatif, hanya 19% suara. Hal itulah yang tidak mau dipahami oleh Megawati dan jajaran PDIP.
Maka terjadi perbedaan yang cukup tajam dalam kebijakan yang ditempuh Jokowi dengan kemauan PDIP, khususnya Megawati. Perbedaan itu sudah dimulai saat Jokowi mengumumkan menteri Kabinet Kerja pada akhir Oktober 2014. PDIP kecewa berat. Ternyata hanya 4 menteri yang benar-benar kader asli PDIP. Ada sejumlah menteri yang disangka dari PIP, tetapi dipandang bukan dari lingkungan kader PDIP asli, seperti Menhan, Menteri BUMN dan Seskab. Jadi PDIP dan Megawati kecewa berat.
Lalu dalam hal pengangkatan Kapolri. PDIP mendukung pengangkatan Budi Gunawan, mantan ajudan Megawati pada waktu menjabat Presiden RI-5 untuk menjadi Kapolri. Tetapi Jokowi mengangkat calon lain, yaitu Badrodin Haiti. PDIP dan Megawati semakin kecewa.
Kekecewaan PDIP dan Megawati tersebut diledakkan pada Kongres PDIP di Bali bulan April 2015 yang lalu. Megawati memarahi Jokowi dihadapan peserta Kongres. Sebelumnya Megawati memperlakukan Jokowi selaku Presiden secara tidak pantas, ikutan menunggu kehadiran Megawati untuk membuka kongres. Presiden Jokowi juga tidak diberi kesempatan berpidato.
Lalu Megawati berpidato. Ia mengingatkan bahwa PDIP-lah yang mengusung Jokowi menjadi presiden. Ia hanya “petugas partai” yang harus melaksanakan kebijakan partai. Bahkan Megawati selaku Ketum PDIP mempersilah siapapun (termasuk Jokowi tentunya) yang tidak mau menerima posisinya sebagai “petugas partai”, keluar dari PDIP.
Akan tetapi Jokowi tidak terlalu menghiraukan peringatan Megawati tersebut. Ia jalan terus dengan program kerjanya tanpa memperdulikan keberatan dan desakan PDIP. Misalnya, melalui Pansus Pelabuhan II yang diketuai oleh Diyah Pitloka dari PDIP, merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk memecat Menteri BUMN Rini Sumarno. Tetapi rekomendasi itu diabaikan oleh Jokowi.
Terakhir, PDIP menjadi motor penggerak di DPR untuk merevisi UU KPK. Terlihat, sebenarnya tujuan revisi UU KPK itu adalah untuk mengamputasi sejumlah kewenangan KPK yang mereka pandang terlalu besar. PDIP ingin memastikan bahwa KPK adalah lembaga penegak hukum adhoc yang jelas masa eksistensinya, setelah itu dibubarkan. PDIP inginnya KPK memiliki kewenangan yang sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Karenanya PDIP tidak menyukai KPK yang bisa melakukan penyadapan. Selain itu PDIP menginginkan KPK diberi hak untuk menghentikan perkara korupsi ( yang dicurigai untuk memungkinkan terjadi tawar menawar). Selain itu, KPK harus ada yang mengawasi, sehingga menjadikan lembaga ini tidak lagi independen.
Tetapi dalam pertemuan Pimpinan DPR dan Presiden Jokowi disepakati pembahasan mengenai Revisi UU KPK tersebut ditunda dulu. Masih ada RUU lain yang dipandang lebih penting didahulukan. Maka hasrat PDIP yang menggebu-gebu untuk memotong sayap KPK harus ditunda dulu.
Sebenarnya yang tersirat dari penundaan itu adalah penolakan Presiden terhadap revisi UU KPK. Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia setuju dilakukan revisi UU KPK asalkan untuk memperkuat KPK, bukan untuk melemahkannya. Pimpinan DPR dan Presiden Jokowi menyepakati penundaan pembahasan sebagai cara untuk tidak mempermalukan PDIP sebagai inisiator revisi UU KPK.