Susah benar Pemerintah membenahi pelabuhan. Sudah berganti menteri yang turun tangan dan yang gagal sudah pada dicopot. Tetapi masalah dwelling time tidak juga bisa dipercepat menjadi 2 hari. Di Tanjung Priok saja paling cepat 3,5 hari, dan bahkan di Belawan Medan mencapai 7 hari. Akhirnya Presiden Jokowi meminta Kapolri dan kepolisian yang turun tangan. Mengapa hal itu bisa terjadi?.
Begitu pula, susah benar Pemerintah membenahi urusan perizinan, sehingga para investor luar negeri yang sudah menyiapkan dana jutaaan dolar terpaksa mengurungkan niatnya dan hengkang dari Indonesia. Pada hal sudah ada BKPM yang diberi tugas mempercepat perizinan bagi para investor. Mengapa hal itu bisa terjadi?.
Berkali-kali Presiden Jokowi memberikan instruksi agar harga daging diturunkan menjadi hanya Rp 80.000 saja per kg. Tapi para menteri yang menjadi pembantunya hanya bisa menjual daging sapi seharga itu di pasar-pasar murah yang sifatnya temporer. Sedangkan di pasar regular, harga daging tetap saja Rp 120.000 per kg. Pemerintah gagal menurunkan harga daging, karena bisnis pengadaan daging sudah sejak puluhan tahun dikuasai dan dijalankan oleh para mafia daging.
Maka saya jadi teringat novel yang berjudul “Pulang” yang dikarang oleh Terre Liye. Para mafia ekonomi, yang disebutkannya sebagai pelaku shadow economy, pengusaha bisnis yang bergerak di alam remang dan kegelapan, selalu menjadikan penguasaan pelabuhan sebagai basis kegiatan ekonomi mereka. Pekerjaan apa saja di pelabuhan bisa menjadi sumber duit melalui pemerasan. Bongkar muat barang merupakan salah satu bisnis yang dapat menjadi sumber pemasukan yang sangat besar. Yang setor banyak akan didahulukan. Yang tidak mau setor akan digilir paling belakang dan dibuat tidak aman.
Masalah menjadi kian rumit karena para penguasa shadow economy telah merambah masuk pada sektor formal dan legal, tidak lagi hanya bermain pada bisnis kotor seperti judi, narkoba, dan pelacuran. Mereka memiliki bank untuk mencuci uang yang dihasilkan dari usaha haram yang mereka jalankan. Mereka mendirikan perusahaan yang legal pada semua sektor ekonomi Mereka punya perusahaan property, penerbangan, ritel raksasa, perusahaan farmasi, dan bahkan juga usaha rumah sakit yang mahal. Sebagai contoh, baru saja diberitakan bahwa perusahaan farmasi membelanjakan Rp 800 milyar untuk dibagikan kepada para dokter. Mereka adalah yang mau menuliskan resep obat hasil produksi perusahaan farmasi tersebut. Pada hal sebenarnya obat-obat yang diresepkan itu tidak diperlukan oleh pasien.
Banyak pejabat di pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu adalah tangan kanan, mitra atau pelindung para mafia ekonomi. Mereka menjadi kaya karena mendapatkan bagian dari komisi yang dikantongi para mafia yang menjadi mitra mereka. Tentu kita tidak pernah lupa dengan istilah mafia migas. Mereka mendirikan perusahaan yang menjadi mitra perusahaan milik BUMN yang bernama PT.Petral. Perusahaan milik BUMN itu seharusnya bergerak secara langsung dalam pengadaan BBM bagi rakyat se Indonesia. Tapi ternyata usaha raksasa itu dikangkangi oleh perusahaan milik mafia migas yang menarik komisi atas BBM yang mereka setorkan. Uang komisi itu, sebagiannya dibagi-bagi dengan para pejabat yang menjadi pelindung mereka di pemerintahan.
Oleh sebab itu, meskipun diketahui keberadaan Petral merugikan rakyat, tapi pada masa pemerintahan SBY, sulit benar dan bahkan gagal untuk membubarkan PT. Petral. Pemilik perusahaan mitra Petral itu, yang sekarang kabur ke luar negeri, ternyata mendapat perlindungan dari penguasa. Pada era Jokowi, PT. Petral telah dibubarkan. Akan tetapi tidak jelas kelanjutannya, apakah PT. Petral benar-benar telah bubar atau masih beroperasi dengan nama lain. Bisa saja bos perusahaan mafia migasnya sudah berganti dan dilindungi oleh pejabat pemerintah lain yang baru berkuasa seiring dengan pergantian pemerintahan
Para pengusaha besar di Negara kita bisa saja hanya atas nama, karena pemilik sesungguhnya adalah para bos mafia yang tidak terlihat. Merekalah yang menggelontorkan uang milyaran dolar untuk memodali usaha mereka di berbagai sektor ekonomi seperti properti, penerbangan, ritel raksasa, dan sebagainya.
Jahatnya lagi, para pengusaha shadow economy selalu mencari jalan untuk menguasai sendiri atau secara bersama suatu bisnis yang sangat menguntungkan. Untuk itu mereka membentuk kartel untuk menguasai dan mempermainkan sektor ekonomi tertentu yang menjadi hajat orang banyak, untuk meraih untung yang lebih besar lagi.
Misalnya diberitakan KPPU kesulitan menentukan hukuman yang tepat bagi kartel 12 perusahaan peternakan ayam raksasa di Indonesia. KPPU menilai mereka secara bersama-sama telah melakukan berbagai perbuatan curang yang merugikan para peternak kecil dan rakyat selaku konsumen. Masalahnya mereka menguasai pemasaran DOC, pakan ayam, dan pasar. Harga di pasar tetap tinggi, meskipun harga beli di tingkat peternak mereka tekan serendah mungkin. Belakangan, mereka menjual DOC kualitas rendah, sehingga memerlukan masa pembesaran yang lebih panjang. Akibatnya biaya produksi peternak meningkat. Mereka juga menjaga agar pasokan ayam ke pasar tetap jumlahnya agar harganya tetap tinggi, sedangkan kelebihan pasokan ayam mereka musnahkan.
KPPU kesulitan karena jika izin usaha mereka ditutup maka stok ayam dipasaran akan menghilang untuk waktu yang lama, sehingga bisa-bisa rakyat tidak bisa lagi menikmati daging ayam untuk waktu yang panjang. Jika dikenakan denda, ternyata denda yang bisa dikenakan terlalu kecil, tidak akan memberikan efek apa-apa kepada para mafia perusahaan daging ayam potong yang kekayaannya triliunan rupiah.