Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) hadir pada acara ILC Tivione malam tadi (24/11/2015). RR kembali mengulang pernyataannya bahwa Indonesia miskin karena kaya dengan sumberdaya alam, tetapi dikuras habis dan dinikmati oleh pihak asing. Hal itu terjadi karena banyak pemimpin, para pemegang kekuasaan di negara kita yang mudah disogok oleh perusahaan-perusahaan asing.
Salah satu di antaranya adalah PT. Freport Indonesia (PFI). Perusahaan PMA yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1967.  PFI hadir  di Indonesia bersamaan dengan lahirnya pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. PFI bergerak pada usaha pertambangan berlokasi di Provinsi Papua.
Pada mulanya yang dilaporkan sebagai hasil tambang itu adalah tembaga. Tetapi ternyata batuan dan pasir kondensat di Papua itu juga mengandung emas dengan kadar yang cukup tinggi. Ada kecurigaan bahwa baru belakangan saja PFI mengakui adanya kandungan emas itu. Soalnya kondensat hasil tambang di Papua dikapalkan dan diolah di Amerika. Pihak Indonesia hanya menda-patkan laporan tertulis saja tentang tembaga dan kemudian emas yang dihasilkan.
PFI sangat penting bagi rakyat Amerika, khususnya pemegang saham perusahaaan induknya, karena PFI menjadi penyumbang deviden yang terbesar dibandingkan anak-anak perusahaan lain yang juga bergerak di bidang usaha pertambangan di berbagai tempat yang mulai ditutup karena cadangan emasnya sudah habis.
Dalam perjanjian kontrak kerjasama, pihak Pemerintah Indonesia hanya menerima royalty sebesar 1% saja, Pembagian royalty yang sangat kecil tersebut juga disebabkan pihak Amerika membarter PFI dengan dukungan politis dan ekonomi yang akan diberikan kepada rezim orde baru yang represif dan menganeksasi Timor Timur.
Kontrak kerjasama tahap kedua PFI dengan Pemerintah akan berakhir pada 2021. PFI mengetahui bahwa cadangan emas di pertambangan Papua itu masih sangat besar. Oleh sebab itu, mereka berusaha untuk mempercepat persetujuan kontrak kerjasama baru untuk jangka waktu 20 tahun lagi (s/d 2041).
Tentu saja PFI harus melakukan permainan tingkat tinggi untuk mendapatkan perpanjangan kontrak sebelum waktunya. RR menyebutkan sejumlah kebiasaan perusahaan asing dalam mendapatkan persetujuan perpanjangan kontrak. Pertama, mereka akan mendekati siapa saja yang berkuasa atau berpengaruh. Kedua, mengancam dan menakut-nakuti Pemerintah dengan berbagai hal yang menyebabkan pemerintah Negara-negara miskin terpaksa menyetujuinya. Ketiga, menyuap dan menyogok pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan.
Dalam kasus Freeport, PFI sebenarnya hampir berhasil menggolkan suatu MOU perpanjangan kontrak kerjasama dengan Pemerintah SBY, yang waktu itu dtangani oleh Menko Pereknomian Chairul Tanjung. Tapi Menko Perekonomian Chairul Tanjung berhasil diyakinkan agar penanda-tanganan MOU tersebut ditunda, karena akan berakhirnya masa jabatan SBY.
MOU tersebut akhirnya gagal, karena Presiden Jokowi menolaknya. Karenanya, Maroef Syamsuddin dan juga dengan bantuan abangnya Syafri Syamsuddin berusaha mendekati JK yang memenangkan Pilpres 2014 selaku Wapres. Lobi yang digunakan adalah sebagai sesama tokoh Sulsel.
JK rupanya sangat berkepentingan dengan PFI, karena dua grup perusahaannya Bosowa dan Bukaka sangat bernafsu melihat banyak pekerjaan besar yang dapat digarap di pertambangan Freeport.
Untuk memastikan kontrak kerjasama itu diperpanjang, maka JK harus menempatkan orangnya sebagai Menteri ESDM yang akan bertindak sebagai operator. Pilihan mereka jatuh pada Sudirman Said yang waktu itu menjabat Dirut Pindad. Dirman diangkat Menteri BUMN waktu itu (Dahlan Iskan) atas rekomendasi Syafri Syamsudin selaku Wamenhan. Tetapi Dirman juga punya pengalaman menjadi orang penting di Pertamina. Presiden Jokowi tidak kenal dengan Dirman. Tetapi Dirman mendapatkan dukungan dari JK, Rini Sumarno dan Ari Sumarno. Jokowi akhirnya menyetuju Dirman menjadi Menteri ESDM.