Mantan Menpora Era KIB Jilid Satu, Adhyaksa Dault, meminta Ahok untuk pindah agama, menjadi muslim. Jika Ahok mau, maka dalam Pilgub 2017, Adhyaksa akan mendukung Ahok.
Begitulah yang disampaikan Adhyaksa Dault kepada Basuki T. Purnama, Gubernur DKI Jakarta, yang lebih popular dengan panggilan Ahok. Ia memeluk agama Kristen Katholik dan berasal dari etnis Cina.
Jadi Adhyaksa masih mempersoalkan agama Ahok. Pada hal salah satu perekat NKRI adalah Bhinneka Tunggal Ika, sebagai moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Terjemahan secara bebas dalam kehidupan berbangsa adalah siapa pun, tidak peduli agamanya, tidak peduli suku bangsanya punya hak yang sama untuk menjadi apa saja, termasuk jadi gubernur, termasuk jadi presiden.
Apalagi bangsa Indonesia terdiri dari ribuan suku bangsa dan memeluk agama yang berbeda-beda. Memang di Indonesia ada agama yang dipeluk mayoritas penduduk. Tetapi ada juga agama yang berstatus mayoritas lokal atau bahkan minoritas baik di tingkat lokal maupun nasional. Semboyan Binneka Tunggal Ika akan mempersatukan semuanya sebagai warga bangsa Indonesia. Semuanya mempunyai hak-hak yang sama dan dijamin oleh konstitusi. Jadi bangsa Indonesia itu lahir dengan semangat pluralistis. Setiap warga bangsa Indonesia harus bersedia menerima perbedaan itu.
Selain itu, pada dasarnya bangsa Indonesia memeluk agama karena faktor keturunan atau orang tua. Saya misalnya, menjadi muslim karena ayah dan ibu saya adalah muslim. Jadi saya sebenarnya menjadi muslim secara instan saja, begitu lahir langsung menjadi muslim. Saya menjalani tradisi keagamaan sejak lahir, diazankan, diajar shalat, berpuasa, dan berzakat. Dengan dibacakan azan ditelinga saya, maka artinya saya sudah di-dua kalimah syahadatkan.
Hal yang sama juga dilalui oleh para pemeluk agama lain. Mereka beragama Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Yahudi dan sebagainya, mengikuti agama orang tua masing-masing. Sejak masih balita sudah dicemplungkan dalam tradisi keagamaan yang dijalankan setiap agama. Oleh sebab itu, hampir seluruh pemeluk agama pada dasarnya adalah pemeluk agama secara instan, menjadi pemeluk agama sejak dari lahir, sejak masih balita.
Oleh sebab itu menjadi tidak relevan pula kalau ada pikiran untuk “memualafkan” seluruh warga bangsa yang berbeda agama. Setiap pemeluk agama memiliki keyakinan, iman dan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan dan termaktub dalam kitab suci agama masing-masing. Pemeluk suatu agama tidak berhak untuk menghakimi pemeluk agama lain sebagai sesat dan kafir. Karenanya, kedua kata itu seharusnya dihapus dari perbendaharaan kata Indonesia.
Selaku warga Negara Indonesia yang tidak dibangun sebagai Negara agama, maka seharusnya seorang mantan menteri mempunyai cara berpikir yang didasari oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu. Mempersyaratkan dukungan dengan pindah agama, adalah sangat bertentangan dengan semboyan Binneka Tunggal Ika. Sikap itu tidak relevan dengan upaya membangun persatuan Indonesia, sebagai sila kedua Pancasila. Jadi perilaku sang mantan menteri menunjukkan ia anti pluralistis, dan karenanya ia bukanlah seorang pancasilais sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI