Blusukan adalah kata yang dipopulerkan setelah Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, yang berarti kunjungan lapangan untuk berdialog langsung dengan rakyat. Blusukan sebenarnya sudah dilakukan di era presiden terdahulu. Di era Orde baru istilah yang digunakan adalah temuwicara. Pak Harto yang berayahkan seorang petani dan sekaligus ulu-ulu (petugas penjaga pintu air irigasi) di kampungnya, sangat senang melakukan temuwicara dengan petani dan rakyat pelaku UMK lainnya.
Akan tetapi presden berikutnya, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY tidak terlalu suka melakukan dialog dengan rakyat kecil. Mereka adalah presiden yang ingin memecahkan masalah rakyat dengan mencukupkan masukan dari orang kepercayaan masing-masing. Kalaupun mereka beberapa kali melakukan blusukan, terlihat blusukan mereka sangat elitis  dan penuh dengan kepura-puraan.
Barulah di zaman Jokowi, presiden yang dilahirkan dari keluarga miskin, menjadikan blusukan sebagai salah satu metode utama untuk mengetahui masalah, kesulitan dan suara rakyat. Tidak hanya petani, Jokowi blusukan ke semua lini, termasuk ke lembaga resmi pemerintah yang bertugas melakukan pelayanan kepada masyarakat.
Yang membedakan blusukan Pak Harto dengan Jokowi adalah rekayasa. Blusukan atau temuwicara Pak Harto dengan rakyat sarat dengan rekayasa. Biasanya suatu acara temuwicara dipersiapkan sedemikian rupa beberapa bulan sebelumnya. Selama itu pula, pejabat penting dari Jakarta maupun propinsi bolak balik mengadakan rapat.  Dari rapat-rapat itu diambil keputusan tentang hal-hal yang akan dilaporkan dan ditanyakan rakyat kepada Pak Harto. Selain itu hal yang tidak boleh dilupakan adalah meminta kemurahan hati Pak Harto untuk memberikan bantuan yang pantas diberikan.
Sekitar tahun 1984-1988, penulis bekerja sebagai konsultan koperasi di Propinsi Jambi. Pada waktu itu ada rencana temuwicara Pak Harto dengan para transmigran yang dipusatkan di Kuamang Kuning, salah satu pemukiman transmigrasi terbesar di propinsi Jambi. Rupanya panitia menemukan kesulitan untuk mendapatkan transmigran yang pintar bicara dan tidak grogian berhadapan dengan pejabat. Setelah beberapa kali diganti, panitia tidak juga berhasil menemukan transmigran yang memenuhi syarat, Â Tapi para pejabat selaku panitia tidak kehilangan akal. Panitia menetapkan seorang kepala UPT yang akan berbicara. Ia akan berbicara dengan berpura-pura sebagai wakil dari transmigran. Itulah yang terjadi, temuwicara berlangsung dengan sukses, Â dan Pak Harto senang melihat ada transmigran yang pintar, pada hal ia sebenarnya transmigran gadungan.
Sedangkan blusukan Jokowi tidak mengenal rekayasa seperti itu. Ia ingin mendengarkan rakyat berbicara secara tulus dan apa adanya. Ia ingin melihat langsung kenyataan di lapangan. Ia langsung saja ke lapangan menemui petani di sawah, pedagang di pasar, pegawai yang bertugas melakukan pelayanan publik di kantornya, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Dengan demikian, Jokowi mendapatkan masukan tentang masalah yang sesungguhnya, bukan yang sifatnya asal bapak senang (ABS). Berdasarkan hasil blusukan itu, Jokowi membuat perencanaan dan program dalam rangka pengentasan kemiskinan,  pembangunan infrastruktur ekonomi. Dari blusukan itu, Jokowi membuat program kartu Jakarta Sehat dan Jakarta Pintar. Setelah menjadi presiden, Jokowi menerikan KIS dan KIP serta KKS. Ia membuat program Tol Laut setelah mengetahui betapa timpangnya harga barang di Jakarta dan di Papua. Ia memutuskan membangun 49 bendungan baru untuk mengejar target swasembada beras. Ia membeli kapal selam setelah mendengarkan keluhan para kepala staf angkatan dan panglima TNI. Dan seterusnya..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI