Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gebrakan Baru Presiden Jokowi: Saber Pungli

20 Oktober 2016   07:12 Diperbarui: 20 Oktober 2016   07:45 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa beda korupsi dengan pungli? Bedanya, korupsi adalah perbuatan mencuri uang milik Negara, sedangkan pungli merampas uang milik rakyat. Para koruptor bermain dengan segala cara  untuk memindahkan sebagian dana  milik Negara yang bersumber dari APBN  di dalam proyek-proyek ke brankas di rumah mereka.  Sedangkan pejabat atau aparat pungli merampas uang dari dompet rakyat ke kantong masing-masing meelalui cara pemerasan. Kedua hal itu masih berlangsung selama berpuluh tahun Indonesia merdeka sampai sekarang.

Pada dasarnya, setiap instansi pemerintah yang bertugas melakukan pelayanan publik melakukan pungli. Tidak ada yang bersih dari perbuatan dosa pungli itu. Setiap instansi pelayanan publik sudah memiliki modus operandi sendiri-sendiri dalam melakukan pungli. Dalam melakukan pungli, instansi pelayanan publik mempunyai motto  yang sama,  yaitu “jika bisa dipersulit kenapa dipermudah”.

Setiap kali warga masyarakat datang ke instasi pemerintah yang bertugas melakukan pelayanan apa saja, yang terbayang duluan, berapa tarif  tidak resmi yang harus disediakan, agar surat-surat yang diperlukan keluar.  

Sasaran pungli itu sangat banyak. Ada pungli di Samsat untuk pengurusan SIM, kelurahan untuk  pengaduan e-KTP, jembatan timbang, pengurusan sertifikat tanah, izin usaha, IMB, dan izin-izin lainnya. Semua dibuat oleh aparat pemerintah berbelit-belit  dan pada ujungnya warga masyarakat terpaksa membayar uang pungli.

Memang tidak semua daerah yang punglinya masih meraja-lela. Pelayanan di tingkat kelurahan di Jakarta misalnya sudah bebas pungli. Hal itu disebabkan Gubernur Ahok sangat tegas, langsung memberikan sanksi pemecatan kalau Lurah atau aparatnya ketahuan melakukan pemerasan.

Tetapi di daerah-daerah lain, bahkan yang berjarak sedepa dari Jakarta, punglinya masih meraja lela. Mengurus IMB saja di kota Bogor memerlukan waktu berbulan-bulan, pada hal semua dokumen yang dpersyaratkan sudah lengkap. Begitu pula mengurus SIM di Kapolres.  Yang menjadi sasaran adalah warga yang mengurus SIM baru atau terlambat memperpanjang yang mengharuskan ujian praktek terlebih dahulu. Tidak ada yang bisa sekali ujian langsung lulus. Akhirnya warga masyarakat putus asa sehingga terpaksa mendekati petugas untuk urusan pungli itu agar SIM bisa keluar.

Begitu pula pelayanan oleh instansi pemerintah  di  tingkat yang lebih tinggi. Selalu dibuat tidak mudah dan pasti ada punglinya. Seperti para pelaut yang harus mengurus surat di kemenhub untuk bisa bekerja di kapal-kapal asing, mereka harus menyediakan uang pelicin jutaan rupiah.

Untunglah, setelah tepat dua tahun lamanya berkuasa, Presiden Jokowi menyatakan Perang terhadap Pungli. Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap perang terhadap pungutan liar alias pungli yang dilakukan aparat pemerintah ketika melayani masyarakat.   Dimulai dengan penggerekan di Ditjen Perhubungan Laut yang melayani kapal-kapal yang akan sauh dan berangkat, serta pelaut yang memerlukan izin kerja di kapal-kapal asing.  Suatu rapat kabinet  digelar setelah itu untuk membahas reformasi hukum, khususnya untuk membasmi tuntas segala pungli. 

Operasi pemberantasan pungli

Presiden Jokowi sudah memerintahkan Kapolri untuk melakukan pemberantasan pungli. Presiden Jokowi membentuk satuan tugas di bawah Menko Polhukam.  Tim yang dibentuk itu diberi nama 'Saber Pungli' alias Sapu Bersih Pungutan Liar. Pemberantasan pungli itu akan dlakukan secara nasional.  Sektor pelayanan yang dipantau secara ketat dimulai dari pembuatan KTP, SKCK,STNK, SIM, BPKB, IMB,  izin bongkar muat barang di pelabuhan, pelayan pajak dan bea cukai, serta sejumlah izin di berbagai kementerian lainnya. Selain melakukan penindakan,  tim 'Saber Pungli' juga akan mengkaji apakah ada aturan yang mendukung terjadinya pungli.

Gebrakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membasmi pungli  tentu perlu diapresiasi. Hanya saja dari pengalaman selama ini,  tindakan membasmi pungli sifatnya “hangat-hangat tahi ayam”. Sebentar juga perbuatan pungli akan tumbuh lagi, dan akan meraja lela lagi. 

Penyebab pertama menurut saya adalah karena sapu pembersihnya yaitu polisi,  umumnya adalah “sapu” yang sudah tercemar lama dengan perbuatan pungli.  Para polisi bisa kaya raya karena pungli sistemik yang sudah laten. Pekerjaan sehari-hari polisi tidak pernah lepas dari pungli, sejak di jalan raya, sampai pungli terhadap warga masyarakat  yang terlibat berbagai tindak kriminal, dari ringan sampai berat. 

Permasalahan kedua, budaya pungli aparat hukum dan pejabat Negara sudah berurat berakar.  Sejak mulai masuk kerja,  para aparat hukum dan pejabat sudah mencari akal untuk melakukan pungli, demi kembali modal. Mereka harus mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta untuk lolos menjadi polisi, jaksa, hakim, PNS dan  sebagainya. Akhirnya pungli menjadi mendarah-daging.

Bisakah reformasi hukum dengan cara-cara yang dilakukan Presiden Jokowi berhasil? Saya sangat meragukan. Tapi mungkin bisa  jika dilakukan secara terus menerus, konsisten dan tegas. Persoalannya seberapa lama Pemerintah memiliki energi dan stamina untuk melakukan pembasmian secara terus menerus.

Saya berpendapat bahwa Pemerintah perlu membentuk satgas pemberantasan pungli untuk setiap jenis pelayanan yang dilakukan oleh instansi-instansi  pelayanan publik.  Satgas itu harus paham betul dengan modus operandi pungli yang dilakukan oleh instansi dan  dinas  yang mereka pantau dan awasi. Para aparat dan pegawai pemerintah yang terbukti melakukan pungli langsung dipecat.

Selain itu, saya berpendapat, Pemerintah secara bertahap perlu mengubah sistem pelayanan publik. Sistem pelayanan manusia kepada manusia (tatap muka) harus diganti  dengan sistem pelayanan yang besifat digital dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi. Nantinya harus ada pelayanan KTP, Kartu keluarga, IMB, Izin Usaha dan sebagainya  secara online. Begitu pula, segala pembayaran   langsung ke bank juga secara online, sesuai tarif resmi yang ditetapkan.

Sekian dan Salam,

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun