Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Janji Jokowi, Bank Untuk Petani

1 Maret 2015   21:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi, sewaktu masih menjadi pengusaha mebel kelas UMK,   tentu pernah mengalami sulitnya mendapatkan faasilitas kredit dari bank. Masalahnya,  bank-bank di Indonesia dirancang untuk melayani nasabah kelas kakap. Sehingga sebenarnya tidak ada bank bagi pengusaha kelas UMK. Bagi pelaku UMK, kredit sebesar satu milyar sudah terlalu besar. Tapi bagi bank,  proposal kredit sebesar itu terlalu kecil.  Jadi tidak ketemu “ruas dengan buku”. Pepatah melayu lain yang sama artinya, “jauh panggang dari api”. Karenanya,  jauh lebih banyak pelaku UKM yang ditolak permohonan kreditnya, ketimbang yang berhasil.

Kondisi itu terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh negara, termasuk negara paling maju seperti Amerika Serikat. UU Perbankan yang dibuat di setiap negara sepertinya menggunakan acuan yang sama. Makanya dalam film “American Heist”, gara-gara proposal kreditnya ditolak dengan alasan bank itu hanya melayani pengusaha kelas kakap, maka seorang pengusaha kelas UMK tidak keberatan diajak saudaranya merampok bank itu.

Bagi pengusaha kelas UMK, pekerjaaan untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan kredit dari bank merupakan urusan yang maha berat. Selain agunan yang pasti diminta oleh bank, para pengusaha kelas UMK harus memiliki berbagai dokumen yang menyebalkan seperti  surat izin usaha, surat-surat tentang kesehatan lingkungan, dan tentu saja proposal kredit. Para pemohon kredit harus bisa meyakinkan pihak bank bahwa bisnisnya yang akan menggunakan dana dari bank itu pasti bisa menghasilkan keuntungan sehingga sanggup membayar cicilan kredit. Karenanya, mereka lebih cenderung meminjam kepada rentenir yang bebas persyaratan meski bunga kreditnya sangat tinggi, bisa mencapai 50% per tahun.

Pada 2006, Presiden SBY pernah mengundang Profesor Muhammad Yunus, penerima Hadiah Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank (GB) dari Banglades untuk memberikan “presidential lecture “ di Istana Negara. GB merupakan bank yang khusus dirancang untuk rakyat miskin yang tidak punya agunan dan tidak punya dokumen apapun yang dipersyaratkan bank-bank konvensional. Karena keberhasilannya, GB menjadi model dan acuan seluruh negara dalam membangun bank untuk rakyat kecil, terutama para pelaku usaha mikro. Bahkan Presiden Clinton tertarik dengan konsep GB untuk direplikasi di Amerika Serikat.

Namun sayangnya,  konsep model GB tidak disambut baik oleh petinggi negara kita waktu itu,  terutama Wapres JK dan Gubernur BI Boediono. Seusai kuliah kepresidenan oleh Prof. Muhammad Yunus, JK ditanya wartawan apakah Indonesia juga akan mengadopsi GB.  JK menjawab bahwa Indonesia sudah punya bank yang beroperasi sama seperti GB,  yaitu BRI dan Bank Danamon. Jelaslah JK hanya asal jawab. Meskipun beroperasi sampai ke desa-desa,  tetapi BRI tetap saja berjalan sebagai bank konvensional.

Setelah itu, JK selaku wapres dari Presiden SBY, menginisiasi program yang cukup spektakular,  yaitu Kredit Usaha Rakyat, disingkat KUR. Menyadari beratnya beban untuk memenuhi persyaratan agunan kredit, maka dalam rangka KUR,  Pemerintah menyediakan jaminan melalui PT. Askrindo dan lembaga penjaminan lainnya sampai 75% dari nilai kredit, sedangkan 25% lainnya disediakan oleh bank. Jadi pengusaha UMK sebenarnya tidak perlu menyediakan agunan.  Persyaratan lainnya juga dipermudah.

Dengan adanya program KUR, pelaku UMK sepertinya sangat mudah mendapatkan kredit bank yang nilainya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, yang terbentang antara Rp 5 juta sampai Rp 500 juta. Demikianlah konsep  KUR di atas kertas. Tapi dalam praktek di lapangan, ternyata tidak semudah itu. Pihak bank ternyata tetap saja akan meminta berbagai persyaratan bahkan agunan. Akibatnya, tidak banyak pelaku UMK yang berhasil menjadi nasabah KUR.

Tentu bank-bank yang ditunjuk menjadi pelaksana KUR, meskipun tidak antusias menyambutnya,   harus melaporkan keberhasilan program KUR yang mereka laksanakan. Ternyata, pihak bank mempunyai cara untuk mengesankan bahwa prgram KUR yang mereka laksanakan sangat sukses. Salah satu caranya adalah melaporkan nasabah-nasabah lama yang usahanya masih bisa tergolong UMK sebagai penerima KUR. Maka dalam waktu singkat, bank-bank itu sepertinya telah menyalurkan KUR ratusan milyar rupiah.

Akhirnya program KUR mulai jarang disebut, karena tidak sesuai antara kisah keberhasilannya dengan fakta lapangan. Gaung KUR mulai sayup-sayup terdengar. Karenanya KUR harus dianggap sebagai program yang gagal.

Pada kampanye Pilpres 2014,  terkait dengan visi dan misinya dalam bidang pertanian,  Jokowi menjanjikan akan mendirikan bank untuk para petani kecil dan nelayan serta pelaku UMK. Karena berlatarbelakang pengusaha yang saya yakin, ia pernah merasakan sakitnya ditolak bank, Jokowi pastilah mengerti masalah yang dihadapi pelaku UMK dalam berurusan dengan bank.

Sayangnya,  yang terdengar dicanangkan Presiden Jokowi barulah sasaran pembangunan pertanian yaitu swasembada pangan pada tiga tahun mendatang. Tapi Presiden belum pernah lagi berbicara tentang bank untuk petani kecil dan para pelaku UMK yang lainnya. Mungkin selama 4 bulan ini Presiden Jokowi masih sangat sibuk. Jadi kita hanya bisa berharap dan sabar menunggu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun