DAMPAK PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH DALAM PERTANIAN BAWANG MERAH
Muhamad Jamal Ghofir
Akuntansi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
@mjamalghofir@gmail.com
Bawang merah (Allium cepa var aggregatum) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat berharga dan memiliki prospek yang cerah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, pendapatan petani, dan devisa negara. Keberadaan komoditas ini tidak hanya penting sebagai bumbu penyedap dengan aroma khasnya, tetapi juga karena kandungan enzimnya yang berperan dalam meningkatkan kesehatan, memiliki sifat anti-inflamasi, anti-bakteri, dan anti-regenerasi.
Menurut penelitian oleh Samadi dan Cahyono (2005), bawang merah telah dimanfaatkan sebagai pengobatan untuk penyakit maag, masuk angin, menurunkan kadar gula dan kolesterol dalam darah, serta sebagai obat untuk penyakit kencing manis. Bawang merah juga memiliki efek dalam menghilangkan lendir di tenggorokan, meningkatkan peredaran darah, menghambat penimbunan trombosit, dan meningkatkan aktivitas fibrinolitik. Ini disebabkan oleh kandungan gizi yang tinggi dalam bawang merah, di mana setiap 100 gram bahan mengandung 39 kalori, 1,5 gram protein, 0,3 gram karbohidrat, 0,2 gram lemak, 36 mg kalsium, 40 mg fosfor, 0,8 mg zat besi, dan 2 gram vitamin C.
Bawang merah dapat ditanam oleh petani dari daerah rendah hingga daerah tinggi di pusat-pusat utama. Untuk pertumbuhannya yang optimal, bawang merah membutuhkan suhu udara antara 25C hingga 30C, sinar matahari penuh di tempat yang terbuka, tanah yang gembur, subur, dan mengandung cukup bahan organik. Hal ini akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi terbaik bagi tanaman bawang merah (Wibowo, 2006).
Namun, produktivitas bawang merah di Indonesia masih rendah dengan rata-rata produktivitas nasional hanya sekitar 9,48 ton per hektar, jauh di bawah potensi produksi yang dapat mencapai lebih dari 20 ton per hektar (menurut Renstra). Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tersebut antara lain ketersediaan benih yang berkualitas, keterbatasan prasarana dan sarana produksi, serta belum diterapkannya GSP-SOP (Good Seedling Practices - Standard Operating Procedures) yang sesuai dengan kondisi lokasi, sehingga permasalahan dalam budidaya bawang merah belum dapat diatasi dengan baik (BAPPENAS, 2013).
Permasalahan yang lain juga kadang timbul dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan juga beberapa terkendala diwilayah permodalan. Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun, sangat disayangkan ketika suatu Negara yang memiliki SDA yang sangat melimpah tetapi  negara tersebut tidak bisa mengolah dan memanfaatkannya dengan baik. Bahkan pemerintah melakukan kebijakan impor khususnya pada bawang merah ini. Ketika negara melakukan impor bawang merah, itu dapat mempengaruhi harga barang yang sama didalam negeri. Hal tersebut justru dapat menyengsarakan para petani bawang merah.
Kemudian para petani dan buruh tani sering mengalami masalah di permodalan. Masalah ini disebabkan oleh mahalnya harga pupuk dan cairan atau obat pestisida. Buruh tani yang mempunyai keahlian mengolah sawah namun tidak memiliki modal, akhirnya melakukan kerjasama dengan para tuan tanah (petani) yang sudah tidak bisa bertani karena satu dan lain hal. Biasanya petani tersebut akan memberikan modal berupa tanah dan beberapa uang kepada buruh tani untuk diolah atau ditanami bawang merah selama satu periode tanam. Jadi, si petani berpihak sebagai pemodal sedangkan buruh tani sebagai pengelola usaha.
Namun, pada realitanya, pembagian keuntungan atau bagi hasil dari kerjasama tersebut masih belum mencapai kesepakatan dan kemaslahatan bersama. Biasanya kesepakatan yang dibuat diawal mengandung ketidakjelasan atau bahkan ketidakadilan. Untuk itu, disini penulis akan memberikan gambaran perihal kerjasama yang sesuai dengan syariat Islam. Kerjasama yang dimaksud menggunakan prinsip akad mudharabah.