Tanggal 2 Mei 2012 yang lalu dirayakan sebagai hari pendidikan nasional oleh bangsa Indonesia. Seluruh instansi/unit kerja di pusat, luar negeri, daerah termasuk sekolah/madrasah yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama melakukan upacara pengibaran bendera. Muhammad Nuh selaku Mendikbud menyampaikan pidato dengan tema “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”. Tanpa pemaknaan yang mendalam, perayaan Hardiknas hanyalah sekedar ritualitas yang tidak ada bedanya dengan hari-hari yang lain.
Perayaan tersebut dilakukan pada tanggal yang sama dengan lahirnya tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (KHD) yang mempunyai nama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Pada masa kehidupan KHD pendidikan hanya milik kaum penjajah Belanda dan kaum ningrat. Sehingga hati KHD tergerak ketika melihat fenomena tersebut dan KHD berusaha memperjuangkan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui lembaga pendidikan yang diberi nama Tamansiswa. Sebuah lembaga pendidikan yang diperuntukkan untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan kasta atau golongan.
Peninggalan KHD sampai saat ini menjadi slogan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yaitu tut wuri handayani. Prinsip yang diciptakan oleh KHD bagi dunia pendidikan adalah ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Makna dari semboyan tersebut adalah bahwa seseorang ketika di depan bisa menjadi panutan atau contoh, di tengah bisa membangun prakarsa/semangat dan di belakang bisa memberikan dorongan moral. Semboyan yang sering diucapkan dan dibahas terutama pada Hardiknas tapi belum tentu dipahami apalagi diamalkan. Sebagai buktinya saat ini banyak perilaku pemimpin negeri ini yang tidak layak untuk diteladani. Entah karena terlibat kasus korupsi, suap atau tindakan amoral lainnya. Apa penyebab dari semua ini? Apakah perayaan Hardiknas hanya sekedar momentum?
Problematika pendidikan akan selalu ada sejalan dengan kehidupan, karena pendidikan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Maju mundurnya, jatuh bangunnya, tinggi rendahnya harkat dan martabat suatu bangsa dapat ditentukan oleh pendidikan. Pendidikanlah yang paling bertanggung jawab. Setelah proses pendidikan dijalankkan berpuluh-puluh tahun di Indonesia bagaimana hasilnya? Bagaimana potret pendidikan di Indonesia saat ini?
Belum lama ini media Internasional menyoroti kasus jembatan gantung di Banten. Koran Inggris Daily Mail (20/1/2012) mengabarkan bahwa untuk bisa mengakses pendidikan beberapa anak di desa Sanghiang, Lebak, Banten harus berjuang dengan mempertaruhkan nyawa mirip dengan aksi Indiana Jones. Mereka harus menyeberangi jembatan gantung yang nyaris putus untuk bisa mencapai sekolah. Dikisahkan dalam salah satu aksinya di film Indiana Jones and The Temple of Doom, Jones harus melewati jembatan yang nyaris putus yang jika salah sedikit saja dalam melangkah bisa menyebabkan nyawa melayang. Di dunia nyata dan sebagai rutinitas sehari-hari, tanpa pemeran pengganti ataupun tali penolong, anak-anak desa Sanghiang telah melakukannya. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, dimana perhatian pemerintah dan wakil rakyat. Apa perlu menunggu kasus diekspos oleh media terlebih dahulu baru dicarikan solusi?
Di sisi yang lain biaya pendidikan masih dirasa mahal. Komersialisasi pendidikan menjadi kata yang akrab beberapa tahun terakhir. Penyebabnya adalah pemerintah melalui melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tahun 2003 pasal 50 membagi sekolah dalam tiga kategori. Tiga kategori tersebut adalah Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pengotakan tersebut dalam prakteknya menggelembungkan biaya pendidikan secara umum. Dampak negatif mengemuka, terutama bagi sekolah berstatus RSBI, karena di sekolah tersebut siswa dibagi menjadi dua, siswa reguler dan siswa internasional. Demi mengembangkan kelas internasional kelas reguler yang harus menanggung beban. (metronews, 07/04/2012)
Selain itu sistem evaluasi akhir pendidikan yang menggunakan ujian nasional (UN) juga masih menjadi persoalan yang diperdebatkan. Banyak pihak yang keberatan jika UN dijadikan sebagai standar kelulusan. Karena nasib siswa setelah belajar selama tiga tahun hanya ditentukan oleh tiga hari yang menentukan. Meski masih kontroversial, sampai sekarang UN masih tetap ada. Sehingga proses pendidikan di sekolah-sekolah hanya diorientasikan agar semua siswanya lulus UN 100%. Demi mencapai tujuan tersebut mata pelajaran yang tidak diujikan cenderung diabaikan. Semakin tinggi angka kelulusan berarti semakin baik kualitas sekolah tersebut dan berpeluang untuk menjadi sekolah favorit yang akan diantri oleh ratusan bahkan ribuan siswa baru. Meski untuk mencapai angka kelulusan tersebut semua cara dilakukan, baik dengan mengadakan jam pelajaran tambahan atau bahkan berbuat curang. Sehingga jangan heran bila waktu pelaksanaan UN dipasang kamera CCTV, dan apabila terjadi kecurangan maka polisi tak akan segan membawa mereka layaknya pelaku kejahatan kriminal.
Itulah realita pendidikan di Indonesia. Sejatinya pendidikan adalah sebuah proses yang melibatkan banyak komponen. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab masyarakat dan orang tua.
Tugas utama orang tua dalam pendidikan adalah sebagai peletak pondasi dasar. Dalam kaitannya dengan Hardiknas orang tua bisa mendidik anak dengan menjadi suri tauladan yang baik, sebagaimana prinsip yang telah dikemukakan oleh KHD yaitu ing ngarso sung tulada. Menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik sehingga menjadi karakter yang mulia. Bukan sebaliknya, melakukan perilaku tercela yang berakibat mendekam di penjara, mengabaikan pendidikan nilai dan hanya memenuhi anak dengan mencukupi kebutuhan materi saja.
Masyarakat adalah kelompok terbesar dalam suatu negara dan memiliki andil yang besar dalam pendidikan. Meski demikian banyak elemen masyarakat yang tidak tau akan tugas tersebut. Meskipun tau, kadang masyarakat seolah menutup mata dan telinga terhadap problema pendidikan yang ada. Dengan semboyan KHD ing madya mangun karsa masyarakat bisa mengawal berbagai kebijakan pemerintah, menyumbangkan ide atau solusi bukan justru merobohkan proses pendidikan dengan bersikap apatis.
Pemerintah sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 diwajibkan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Sistem pendidikan yang dimaksud harus mampu menjamin pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan, terutama bagi anak-anak sebagai generasi emas penerus keberlangsungan dan kejayaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah bisa meneladani sikap KHD yang mendirikan Tamansiswa sebagai sarana education for all bukan malah mengkotak-kotakan sekolah yang berimbas pada mahalnya biaya pendidikan.
Demikianlah untuk menjadikan generasi muda Indonesia sebagai generasi emas yang unggul dan bermartabat tidak mudah. Banyak perubahan-perubahan yang harus berani kita lakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H