Mohon tunggu...
Maria Ozawa
Maria Ozawa Mohon Tunggu... -

Saya Mia Bernadetta (alias Mia B) anak manis yang sedang menanti.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pohon Tak Berbuah di Taman Eden dan Asal Mula Suami Takut Istri

12 Januari 2011   12:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada mulanya manusia dan para binatang lainnya cuma tahu satu hal: enak. Apa yg enak itu yg dicari. Yang tidak enak itu yang dihindari. Manusia pun kerjanya cuma leyeh-leyeh di padang rumput yang hijau, kalau perutnya mulai kosong dan mulai ada rasa tidak nyaman, maka ia akan bangkit mencari makanan. Bila sudah kenyang dia kembali tiduran leyeh-leyeh dan mengelus-elus perutnya yang membuncit. Di Taman Eden ada banyak pohon buah tapi ada satu pohon yang tidak berbuah yang ditulisi larangan dalam 2 bahasa:

DANGER! HIGH VOLTAGE!

Dipegang = Mati

Seperti mahluk yang masih waras pada umumnya, tentu manusia tidak mau celaka. Sudah jelas peringatannya: IF dipegang, THEN mati. Maklumlah kalau si manusia tidak pernah berani menyentuhnya; sampai suatu hari datang tamu rombongan peneliti bahasa dan antropologi, yang di antaranya ada mahasiswi jurusan bahasa yang ke Taman Eden untuk tugas makalah kuliah Teori Terjemahan Umum. "Terjemahannya kok fungsional gitu sih?" tanya si mahasiswi. "Lho yang mustinya gimana?" tanya manusia. "Ya ga papa sih. Tapi menurut bahasa aslinya, DANGER itu berbahaya. HIGH VOLTAGE itu tegangan tinggi. Itu baru terjemahan yang sesuai bahasa aslinya.  Siapa sih yang nerjemahin fungsional begini? " "Wah, ga tau persis saya. Mmm, makna aslinya gitu tho," kata si manusia manggut-manggut seolah mengerti. Kemudian si manusia mulai mikir-mikir. Dia paham apa itu bahaya. Tapi dia kurang paham maksudnya "tegangan tinggi". Dia tahu pohon ada yang tinggi dan ada yang pendek. Dia mulai menafsir, apanya yang tegang tinggi? Apanya yang bahaya? Yang jelas tegangan tinggi itu bukan mati. Dia mulai menafsir, tegangan tinggi mungkin maksudnya TEGANG SEKALI. Langsung saja ia memanjat pohon yang tak berbuah itu. "Heee ngapain kamu? Jangan dipegang." Si manusia naik ke pohon itu sampai ke puncak. Begitu memegang semacam sulur-sulur di atasnya, ia pun menjerit kesakitan dan terlontar jatuh dengan kepala duluan. "Gob***, ngapain manjat tiang listrik." bentak si mahasiswi. "Kok masih ada ya tiang listrik model kuno begini, yang kabelnya terbuka. Dan kamu kok gob*** banget. Untung saja kamu jatuh jadi nggak mampus nempel gosong di atas." Si manusia termangu duduk di tanah. Kejatuhan itu dan juga sentakan listrik telah menggoncang jiwa dan pikirannya. "Ular sialan," teriaknya kepada jaringan kabel di atas tiang listrik. "Ular jadi-jadian. Hampir saja kamu membunuh saya." "Dasar gob***!" sahut sebuah suara. Si manusia bingung celingukan. Si mahasiswi sudah tidak ada di situ. Si manusia masih merasakan sakit sekali di kepalanya gara-gara jatuh dan kena sengatan listrik tadi. Pandangannya kadang agak kabur, dan ketika sedang kabur-kaburnya, kabel listrik itu makin mirip ular naga panjangnya bukan kepalang. Si manusia tidak begitu yakin apakah itu suara si ular, ataukah suara dalam kepalanya sendiri yg sakit itu. "Dasar gob***. Inlander bermental budak. Mau saja dibodohi." "Kamu siapa? Kok seenaknya ngata-ngatai saya?" tanya manusia. "Dasar gob***. Saya ke sini untuk menyadarkan kamu dari perbudakan." "Hee, memang kamu siapa? Perbudakan apa? Memang kamu hebat kok bisa nyelametin saya?" "Hahahahaha. Liberator doesn't exist. People liberate themselves. Ngerti kamu?" "Lho kok kamu mirip YESUS? Masih sodara ya?" tanya si manusia bingung melihat wajah si ular itu. "Udah gob***, kurang wawasan pula. Anak jalanan aja kenal saya. Poster dan stiker wajah saya udah mendunia. Tentu saja saya mirip YESUS. Barang siapa berjuang untuk yang tertindas, pasti dia mirip YESUS. Tapi tidak semua yang berenang di air itu ikan. Bisa aja kadal buntung. Ngerti kamu? gob*** kok dipelihara." "Ya sudah. Jangan ngeledek terus dong. Jadi gimana supaya bisa membebaskan diri? Ajarin dong." Lalu si pria gondrong berjengggot bertopi baret itu menunjuk pohon di tengah taman. "Itu baca, apa tulisannya?" "Ga ngerti, itu bahasa latin." "Yang bawahnya lagi." "Ibrani ga ngerti. Yang Yunani ga ngerti juga." "Lhaaa, Inggris ga ngerti, Latin ga ngerti, Ibrani ga ngerti." "Kalo cuma liat bentuknya, saya bisa tahu itu tulisan bahasa Latin, atau Inggris, atau Yunani ,atau Ibrani." "Ya sudah... Tuhan bilang itu artinya apa?" "Yaa, intinya sih, pohon ini buahnya ga boleh dimakan," jawab si manusia. "Kalau dimakan, nanti saya mati." "Naah, kamu percaya? Mau tau ga arti sebenarnya? Itu buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Kalo kamu makan itu, nanti kamu akan jadi seperti Tuhan, mengetahui yang baik dan yang jahat. Ngerti kamu?" Kata si revolusioner gondong berewokan itu sambil bernyanyi lagu Internationalle. Manusia itu merenung. Apes banget hari ini. Kena setrum, jatuh dengan kepala mendarat duluan. Digoblokin-goblokin mahasiswi cakep sih mendingan. Tapi yg kedua ini lho, si YESUS jadi-jadian, cuma menang gondrong dan berewok doang, tapi belagunya setengah mampus. Si manusia mengomel dalam hati. "Hoyy, mau ga? Enak nih." Manusia melihat si mahasiswi lagi nangkring di atas dahan menikmati buah pohon pengetahuan. Manusia itu pun melihat bahwa pohon itu pohon memang beda dengan tiang listrik yang kabelnya nyetrum tadi, lalu ia pun memanjatnya. "Duduk deketan sini. Grogian banget sih jadi cowok. Nih cobain." Begitu memakan buah itu, terbukalah matanya. "Lho aku ini telanjang toh? Lho kamu juga telanjang?" serunya sambil menatap si mahasiswi dengan mata berbinar-binar. Kini dia tahu apa yang dimaksud dengan tegangan tinggi tadi. "Heee... jangan kurang ajar ya. Bukan muhrim tahu. Kayak belum pernah liat perempuan aja, segitu mupengnya."

Mereka pun jatuh gedebuk ke tanah ke semak-semak. Ribut-ribut ini terdengar ke seluruh penjuru Taman Eden. Oh ya, mahasiswi itu datang ke Taman Eden bersama rombongan penelitian dari kampusnya, dan dipimpin oleh seorang profesor Antropologi. "Ada apa ini? Ada apa ini?" Seru Tuhan. "Heee manusia, ngapain ngumpet di semak-semak gitu?" "Wah wah wah. Mau nyaingin Ariel Peterpan kalian ya?" Kata Profesor. Seperti halnya di kampung-kampung di Indonesia, di mana dua insan berlawanan jenis kedapatan bugil di semak-semak akan dibawa hansip ke penghulu, demikianlah si manusia dan si mahasiwi kena hukuman kawin paksa. "Ampun Tuhan, cewek ini nih yang ngasih buah itu ke saya. Lagipula, ngapain sih Tuhan ngasih izin peneliti masuk-masuk ke sini. Trus td itu Tuhan sendiri kan yg nyamar pake baret tentara? Gondrongnya dan berewokannya sama persis kok." "Dasar gob*** kamu. Serupa itu belum tentu sama. Yang berenang di air belum tentu ikan. Bisa aja kadal buntung." "Tuuuh. Dia juga ngomongnya persis begitu," jawab manusia. "Kamu itu udah gob***, nggak taat, nyalahin orang lain, ngeyel, kurang ajar pula," omel Tuhan. "Ya sudah, pokoknya kamu musti minggat dari sini dan kawin sama pacarmu itu. Oya Prof, kamu urus saja yah gimana prosesnya." Begitulah manusia harus berjuang supaya bisa sepadan dengan istrinya yg memang lebih pinter dari dia itu. Bila gobloknya mulai kambuh, ia pun menggigit-gigit kabel TV atau komputer, supaya sentakan-sentakan setrum bisa menggiatkan kembali sel-sel otaknya yg kendor. Meskipun manusia sudah banyak mengalami dan banyak disetrum otaknya, namun tetap saja mereka sering kembali ke cara pikir jaman jahiliyah: yaitu ketika mereka masih bertindak berdasarkan enak-tidaknya yang dia peroleh. Sang profesor pun mendesah. Kasus lagi, kasus lagi. Udah sering terjadi begini: datang bawa rombongan meneliti ke pedalaman, trus ada kepala suku atau anak kepala suku yg naksir salah satu mahasiswinya. Kadang-kadang orang pedalaman tidak paham, mereka pikir profesor itu semacam kepala suku yang juga jadi berhak mengawinkan mahasiswi anggota rombongannya. Sudah sering mahasiswi rombongannya yg ditawar 1000 ekor babi atau domba sebagai mas kawin. Tapi karena ini kasus sudah kedapatan tertangkap tangan, mudah-mudahan orang tua si mahasiswi bisa memaklumi kawin pakasa ini. Lagian si mahasiswi ini juga udah lancang ngajarin manusia berpikir kritis mempertanyakan otoritas terjemahan. Akibatnya ya begini ini. ==Gambar diambil tanpa izin, dari sini dan sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun