Mohon tunggu...
Mitra Khasyofi
Mitra Khasyofi Mohon Tunggu... Insinyur - PT Dirgantara Indonesia

Sepeda, lari dan futsal kadang bisa menjadi pengobat luka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Laut Cina Selatan dan Kesiapan Industri Pertahanan Nasional

27 Mei 2024   00:52 Diperbarui: 27 Mei 2024   00:53 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Laut Tiongkok Selatan, wilayah perairan yang terletak di sebelah barat Samudra Pasifik, berbatasan langsung dengan empat negara ASEAN yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Selain itu, wilayah ini juga berbatasan dengan Selat Taiwan di sisi utara. Dengan luas sekitar 3.500.000 km persegi, Laut Tiongkok Selatan menjadi pusat sengketa regional karena klaim sepihak oleh Tiongkok, yang dikenal dengan batas laut 9 garis putus-putus. Klaim ini didasarkan pada catatan sejarah Dinasti Han pada abad ke-2 yang mengirimkan utusan untuk berlayar dan melakukan eksplorasi, serta catatan Dinasti Song pada abad ke-10 yang menyebutkan nama Nansha dan Xisha, yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan Spratly dan Paracel.

Sejarah wilayah ini semakin kompleks dengan kolonialisasi bangsa barat pada abad ke-16, melibatkan Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris, hingga Perang Dunia II ketika Jepang melakukan ekspansi militer ke Asia Tenggara. Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Republik Cina yang baru terbentuk dan membuat peta nasional Cina yang mencakup Laut Tiongkok Selatan dengan batas 11 garis putus-putus. Perang sipil yang kemudian terjadi di Cina, yang dimenangkan oleh Partai Komunis, serta eksodus kaum republik Cina ke Taiwan, menyisakan konflik yang belum terselesaikan hingga kini.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat membutuhkan sumber daya alam untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa kekuatan militer mungkin digunakan untuk mengamankan kepentingan ekonomi, terutama energi dan bahan baku. Laut Tiongkok Selatan diketahui memiliki cadangan minyak yang signifikan, yang menjadi faktor utama dalam konflik ini.

Beberapa negara kini mempersiapkan diri menghadapi potensi konflik militer dengan Tiongkok. Pakta pertahanan seperti QUAD dan AUKUS dibentuk untuk mempersiapkan kemungkinan perang terbuka. Indonesia, meskipun tidak tergabung dalam pakta pertahanan ini, akan terkena dampak jika terjadi eskalasi konflik. Menurut kajian dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), "Laut Tiongkok Selatan merupakan titik konflik global terdekat bagi Indonesia. Eskalasi konflik di kawasan tersebut akan berdampak langsung terhadap keamanan nasional."

Konflik maritim yang mengandalkan kekuatan laut dan udara meningkatkan kebutuhan akan alat pertahanan seperti kapal perang dan pesawat udara. Beberapa negara yang terlibat dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan menggunakan produk pertahanan buatan Indonesia, seperti pesawat CN235 dan NC 212 buatan PT Dirgantara Indonesia, serta kapal perang jenis Landing Dock dari PT PAL yang dipesan oleh Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah tersebut.

Konflik di Laut Tiongkok Selatan tidak hanya menjadi ancaman keamanan kawasan, tetapi juga membuka peluang bagi industri pertahanan untuk memasarkan produk dan jasanya. Peningkatan kebutuhan alat pertahanan dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas produk industri pertahanan nasional. Pemerintah Indonesia telah menggabungkan beberapa perusahaan BUMN yang memproduksi alat pertahanan dalam klaster industri pertahanan bernama Defend ID, dengan tujuan memperkuat ekosistem pertahanan nasional dan memperbaiki kinerja bisnis.

Tren penyusutan kapasitas industri pertahanan dan riset berdampak pada ketahanan nasional. Dorongan untuk membeli alat pertahanan dari luar merupakan strategi dalam geoekonomi. Industri pertahanan, sebagai penggerak ekonomi, berpotensi menciptakan konflik untuk menghasilkan perputaran uang dan aktivitas ekonomi.

Kemandirian dalam industri pertahanan sangat penting di tengah konflik geopolitik dan gejolak ekonomi. Konflik kawasan dapat menyadarkan kembali pentingnya membangun industri pertahanan nasional. Pandemi COVID-19 menunjukkan betapa pentingnya kemandirian dalam penelitian dan pengembangan produk, serta kemampuan untuk memproduksi kebutuhan dalam negeri. Kemampuan riset yang baik, didukung industri dan skala ekonomi yang memadai, akan membawa pada kemandirian. Kemandirian industri pertahanan akan memperkuat posisi Indonesia dalam menjaga keamanan dan stabilitas kawasan, serta memitigasi dampak dari konflik Laut Tiongkok Selatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun