Mohon tunggu...
Dominikus Ledo
Dominikus Ledo Mohon Tunggu... -

menjadi manusia yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gemohing: Cara Orang Lamaholot Bergotong-Royong

12 Mei 2015   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila di hadapan forum BPUPKI, Bung Karno dengan berapi-api mengatakan bahwa dia bukanlah pencipta Pancasila, melainkan penggali. Pancasila berakar pada bangsa Indonesia dan bahwa perasan dari Pancasila ialah ekasila yakni gotong-royong. Di tanah Flobamora, tentu ada juga budaya gotong-royong sebagai mana dimaksud oleh Soekarno itu. Salah satunya adalah orang Lamaholot.

Suku bangsa Lamaholot pada dasarnya tersebar dari wilayah paling timur pulau Flores atau yang lebih dikenal sebagai Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lomblen (yang sekarang lebih dikenal sebagai Lembata) sampai dengan Pulau Pantar di Alor. Hampir sebagian besar masyarakatnya sehari-hari bekerja sebagi petani. Ada juga yang berprofesi sebagai pelaut dan pedagang, serta bekerja pada instansi-instansi pemerintahan, namun jumlahnya tidak banyak. Meskipun demikian, mereka juga menggarap lahan, entah itu menggarapnya sendiri atau menyewa penggarap dengan sistem upah dalam bentuk pemberian gaji atau pun bagi hasil. Orang Lamaholot memiliki suatu budaya gotong royong dalam kehidupan mereka yang dikenal dengan sebutan gemohing. Memang gemohing lebih sering dipraktikan dalam bidang pertanian, tetapi uniknya gemohing tidak terbatas pada penggarapan lahan melainkan juga dalam hal lain seperti membangun rumah, atau pun pendidikan. Selain itu, gemohing juga menjual tenaga kerja mereka kepada mereka yang tidak mampu menggarap lahannya sendiri dan hasil pendapatnya masuk dalam kas gemohing. Prinsipnya adalah bahwa mereka harus mengerjakan pekerjaan mereka secara bersama-sama agar pekerjaaan-pekerjaan tersebut menjadi lebih mudah karena sudah seharusnya manusia bekerja sama antara satu dengan yang lainnya.

Pada dasarnya gemohing atau istilah lainnya kenol’eng atau ma’ong tersebut berbentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari utusan-utusan keluarga-keluarga yang bersepakat membentuk gemohing. Gemohing berangkat dari kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih banyak untuk mengolah lahan pertanian. Jumlah anggota berkisa antara 10-50 orang. Satu keluarga bisa mengirim lebih dari satu orang untuk menjadi anggota gemohing. Harus dewasa dan bukan anak-anak karena pertimbangan kemampuan kerja. Ada juga gemohing yang disesuaikan dengan struktur kelemebagaan gereja, misalnya gemohing umat yang dipimpin langsung oleh dewan pastoral paroki tingkat stasi serta gemohing mudika untuk pemuda-dan pemudi Katolik. Anak-anak SD pun sering membentuk kelompok gemohingnya sendiri. Anggotanya sedikit dan mereka dibayar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti mengangkat pasir, menyiangi rumput atau pun memetik hasil perkebunan seperti kelapa, jambu mente dan lain sebagainya. Bayaran yang mereka dapatkan dipakai untuk membeli permen atau pun alat tulis. Keanggotaan gemohing bersifat terbuka, siapa saja boleh bergabung. Mereka yang memiliki banyak lahan, dapat pula bergabung dengan lebih dari satu gemohing tergantung penyesuaian jadwal kerja.

Para anggota gemohing akan bersama-sama mengerjakan lahan setiap anggota secara bergilir mulai dari pembersihan sampai dengan panen. Penetuan siapakah yang lahannya akan digarap dilakukan melalui musyawarah “elo”. Karena mereka bekerja sejak pagi sampai sore maka tuan kebun atau anggota yang lahannya dikerjakan pada hari itu bertanggung jawab menyediakan makanan dan minuman ala kadarnya. Jikalau si tuan kebun memiliki banyak lahan maka dia kan menyediakan lauk dading anjing, ayam atau bahkan babi. Tidak lupa pula sirih pinang dan tembakau serta tuak.  Tuak sering kali dilarang atau pun dibatasi karena efeknya pada kerja, kecuali kalau pekerjaan sudah selesai barulah tuak boleh diminum. Semuanya tergantung kemampuan pemilik kebun dan biasanya disepakati bersama terlebih dahulu. Namun, tidak jarang pula masing-masing anggota membawa makanan dari rumah untuk kemudian dimakan bersama saat makan siang. Peralatan kerja dibawa oleh masing-masing anggota.

Yang lebih menarik adalah suasana ketika mereka berkerja. Mereka bekerja sambil menyanyikan syair,  berbalas pantun atau pun bermain menebak dalam bahasa daerah mereka sendiri. Mereka yang tua lebih memilih menyanyikan syair yang berbau mistis atau yang bercerita tentang kehidupan sosial sementara yang muda akan berbalas pantun yang berhubungan dengan cinta. Tidak heran banyak yang mengatakan bahwa, gemohing juga ajang bagi para pemuda dan pemudi untuk mencari jodoh. Bila ada yang jengkel atau tersinggung saat berbalas pantun, ia tidak oleh mendendam. Karena jika orang tersebut menyimpan dendam dan dikathui oleh yang lain, maka ia akan didenda atau bahkan dikeluarkan dari kelompok. Ada pula yang bekerja sambil bersorak. Pemimpin gemohing akan memimpin sorakan. Apabila sang pemimpin berteriak “mie” maka para anggota akan memebalas dengan “ho”, kemudian “neke” dijawab “ho”, “wana” “ho” secara terus-menerus. Sorakan dan nyaian merupakan penyemangat dan ketukannya disesuaikan dengan gerakan menebas atau mencangkul.

Gemohing, tidak hanya sebatas pengolahan kebun. Jikalau ada anggota yang hendak membangun rumah, maka para anggota yang lain wajib membantu. Karena tidak semua memiliki kebutuhan membangun rumah maka biasanya anggota yang hendak membangun rumah akan memberi bayaran (biasanya lebih murah) kepada kelompoknya. Uang tersebut akan masuk dalam kas gemohing nantinya akan dikelola atau digunakan untuk mendanai acara bersama dan sumbangan bagi anggota yang mengalami kedukaan. Ada pula yang langsung dibagikan kepada anggota secara merata. Kegiatan gemohing pun tidak hanya bekerja, ada juga yang menjalankan arisan terutama arisan pendidikan untuk membantu biaya sekolah anak-anak para anggota secara bergilir. Apabila tiba hari raya seperti natal dan tahun baru, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul bersama.

Sesuai dengan sumber daya yang ada, gemohing memang belum mampu menangani pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi. Gemohing berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka sepakati. Begitu pula dengan pemberlakuan sanksi. Keputusan-keputusan dibuat dalam musyawarah atau yang dikenal dengan “pupu wekiket’maring oneket”. Apabila sekarang kita temukan ada kelompok-kelompok tani di sana, kelompok-kelompok tersebut dulunya adalah gemohing itu sendiri meski beberapa memang baru.

Sumber. http://www.jurnalis-ntt.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun