Mohon tunggu...
Mitchel Vinco
Mitchel Vinco Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tak pernah juara, tak ingin menyerah. Merasa kesehatan terlalu mahal, dan pendidikan semakin liar. Masih berwacana, karena memang bukan pengambil kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paskah dan Sosialisme

23 April 2011   20:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:28 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paskah akhirnya menghampiri kita lagi. Saat-saat permenungan puncak kisah sengsara Yesus Kristus pun kembali mengetuk hati yang dingin ini. Teringat sejenak, tentang sebuah julukan yang sempat menghampiriku, “Katolik Napas”, alias “Katolik Natal dan Paskah”. Jelas saja, karena waktu-waktu SMP dan SMA bagi saya, hanya menyentuh gereja di dua perayaan itu saja.

Apakah untuk penebusan dosa, ataukah nalar saya sekarang makin membutuhkan Tuhan, tahun-tahun terakhir saya begitu menikmati jalannya misa di gereja, detik per detik. Jarang sekali rasa bosan muncul ketika beribadah di gereja, sebuah hal yang sering muncul ketika masih bersekolah.

Mengikuti perayaan “Tri Hari Suci”, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci (atau Malam Paskah), ada beberapa ayat bacaan yang menggelitik saya. Apakah umat lain merasakan, atau memang sudah sering diperbincangkan? Saya justru baru sadar sekarang.

Sosialisme Pada Perjamuan Paskah

Pada Kamis Putih salah satu bacaan adalah tentang “Aturan Perjamuan Paskah”. Demikian kutipannya “…hendaknya mereka masing-masing mengambil seekor anak domba untuk satu keluarga… Tetapi apabila ada keluarga yang terlalu kecil untuk menghabiskan seekor anak domba, hendaknya mereka itu menggabungkan diri dengan keluarga tetangga, sehingga cukuplah jumlah orang. Perhitungan mengenai jumlah orang, yang turut makan dari anak domba itu harus kamu buat menurut banyaknya yang dapat dihabiskan masing-masing.”

Menurut saya kutipan ini mengajak untuk saling berbagi. Janganlah menikmati sesuatu secara berlebih, hendaklah yang berlebihan itu dibagikan. Masih teringat apa yang saya baca dalam buku “Onze Ong”, penuturan langsung yang diberikan alm. Ong Hok Ham, bahwa penguasa jaman dulu (Orde Baru) membuang tembakau ke laut untuk menjaga harga pasarannya tetap tinggi. Atau juga di Kalimantan Barat pada jaman Orde Baru, bertruk-truk jeruk dari Tebas, Sambas, dibiarkan membusuk, demi menjaga harga pasaran. Tidak ketinggalan, sebuah hal yang sering diperbincangkan, dan masih harus dibuktikan, bahwa restoran-restoran franchise membuang ke tong sampah makanan-makanan yang tidak habis dijual. Padahal di dunia ini, angka kelaparan masihlah sangat tinggi.

Perjamuan Paskah Pada Perjanjian Baru

Sejak perjanjian baru ada perubahan dalam tradisi paskah. “Yesus pada malam Ia diserahkan, mengambil roti dan mengucap syukur, lalu membagi-bagikan roti itu …”. Dari sebuah roti, Yesus membelah-belah roti itu dan membagikan pada para muridnya, sehingga semua memperolehnya. Di luar adanya tafsir teologis yang metafisis, di mana saya tidak kompeten menjelaskannya. Namun, peristiwa memecahkan roti dan membagikannya, merupakan simbol tentang sosialisme. Dari roti yang satu kita dapat memakannya bersama, walau pecahannya hanya kecil-kecil saja.

“Demikian juga Ia mengambil piala sesudah makan, lalu mengedarkannya…”. Di sini juga terlihat, bagaimana simbol kebersamaan, berbagi, sangat menonjol. Dari sebuah piala, diedarkan, dan semuanya dapat meminumnya, walau sedikit-sedikit pula.

Penutup

Sosialisme hanyalah sebuah konsep yang langsung muncul di pikiran saya, sebagai guru sejarah. Masih banyak tafsir bebas yang bisa dilakukan dari kutipan-kutipan di atas. Apakah itu disebut solidaritas, kebersamaan, atau pelayanan umum. Bahkan di negara atheis pun, nilai-nilai demikian dapat disebut dengan kata lain.

Paskah membawa sebuah permenungan, tentang keselamatan manusia. Dewasa ini keselamatan manusia, dalam hal bebas dari kemiskinan belumlah benar-benar tampak. Ada mereka yang kaya raya, tapi ada pula yang meninggal karena kelaparan. Dapatkah kita menyalahkan si miskin karena kurang berusaha? Dan melihat kematian demi kematian di depan mata kita secara acuh tak acuh. Apakah benar roti dunia ini sudah dibelah bagi seluruh umat manusia? Ataukah ada roti-roti besar yang dinikmati segelintir orang saja. Saya akhirnya teringat sebuah ayat favorit “apa yang kaulakukan terhadap saudaramu yang paling hina, maka kau lakukan juga terhadap-Ku (Tuhan)”.

Selamat Paskah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun