Mohon tunggu...
Humaniora

Wisata Kuliner Angkringan Kopi Joss, Istimewa atau Mengganggu?

25 Oktober 2017   12:19 Diperbarui: 25 Oktober 2017   13:14 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Angkringan sangat identik dengan kota Yogyakarta, hampir di setiap jalanan sudut kota Yogyakarta  terdapat gerobak kecil yang diatasnya dilapisi terpal untuk melindungi dari panasnya matahari atau basahnya hujan. Sentra dari Angkringan di kota Yogyakarta berada di sebelah  utara Stasiun Tugu, yang mana telah menjadi salah satu  icon dari kota Yogyakarta sendiri. Menambah  keistimewaan Yogyakarta itu sendiri, angkringan  ini dikenal sebagai Angkringan Kopi Joss. Tepat berada di area jalan Wongsodirjan, yang mana merupakan  jalan umum pada pagi hari hingga sore hari-nya, kemudian pada waktu malam harinya dimanfaatkan sebagai tempat nongkrong bagi masyarakat dalam maupun luar Yogyakarta.

Sepanjang jalan tersebut dijadikan oleh masyarakat sekitar menjadi lapak pedagang kaki lima yang menerapkan tema Angkringan, maka dari situlah Jalan Wongsodirjan menjadi menarik kami sebagai mahasiswa untuk mengangkat keistimewaan jalan tersebut. Sepanjang jalan Wongsodirjan masih menjadi sorotan, karena kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam menangani dan membudayakan kawasan Angkringan Kopi Joss. Paper ini fokus dalam nyamannya penggunaan trotoar di daerah utara Stasiun Tugu, mulai dari sepanjang Jalan Wongsodirjan dan Mangkubumi.

Kawasan utara Stasiun Tugu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar menjadi lapak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan bertema-kan angkringan, menjadi tempat yang diminati pengunjung sebagai tempat nongkrong karena keistimewaan dari Angkringan tersebut, yaitu sepanjang jalan tersedia minuman kopi arang yang disebut sebagai Kopi Joss. Kemudian adanya kebijakan seperti yang tercantum dalam PERWAL NO. 45 TAHUN 2007 BAB VIII PASAL 24 (1) terhitung sejak 30 Oktober 2007 bahwa didaerah milik jalan sepanjang Jalan Mangkubumi sisi barat mulai dari perempatan Tugu sampai pertigaan antara Jalan Mangkubumi dengan Jalan Wongsodirjan dilarang untuk berjualan PKL.

Namun, yang  menarik untuk dikaji adalah adanya kebijakan publik yang berlaku tentang penggunaan trotoar yang bertuliskan " DILARANG BERJUALAN DITROTOAR/ DIRUANG MILIK JALAN (PERDA KOTA YK NO.26 TAHUN 2002 dan PERWAL KOTA NO. 45 TAHUN 2007)" yang berada di lokasi Mangkubumi. Sedangkan di Wongsodirjan adalah tempat Relokasi PKL dari angkringan yang pernah membuka lapaknya di sepanjang Jalan Mangkubumi dan kemudian dipindah ke sepanjang Jalan Wongsodirjan.


B. PEMBAHASAN

1. Masalah

Beralih fungsinya ruang publik yang berada di perkotaan, menjadi sebuah masalah klasik setiap kota yang sedang dalam tahap berkembang. Salah satunya adalah yogyakarta, tata kota yang masih belum teratur dan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk membuat penataan ruang publik sering di salahgunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini dapat di klasivikasikan sebagai privatisasi ruang publik, privatisasi sendiri berarti memanfaatkan ruang publik untuk kepentingan pribadi maupun golongan untuk kepentingan komersial. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor banyaknya peralihan ruang publik menjadi area komersil yang digunakan oleh masyarakat. Seperti yang di ucapkan oleh Budi Hanoto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY kepada wartawan di Yogyakarta, Rabu (8/3/2017). "Perekonomian DIY dipengaruhi oleh perekonomian Indonesia, perkonomian Indonesia dipengaruhi ekonomi global," kata Budi. (Jognews, 09 Maret 2017)

Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat membuat Yogyakarta menjadi kota dengan tingkat konsumtif masyarakatnya yang tinggi. Yogyakarta yang juga sebagai salah satu kota wisata paling sering di kunjungi wisatawan di pulau jawa memiliki daya tariknya tersendiri. Keistimewaan Yogyakarta membuat setiap sudut kota ini sangat menjanjikan untuk kegiatan komersil. Tidak terlepas dari trotoar yang beralih fungsi menjadi area berjualan kaki lima. Banyak trotoar di kota Yogyakarta yang beralih fungsi menjadi kawasan kuliner kaki lima, seperti area ugm dan angkringan kopi jos.

 Salah satu kawasan kaki lima, atau di Yogyakarta biasa di sebut sebagai angkringan yang cukup dikenal masyarakat adalah kawasan angkringan kopi jos. Area ini sudah banyak di kenal masyarakat yogyakarta maupun luar kota Yogyakarta. Bukan hanya karena letaknya yang strategis dan wilayahnya yang cukup luas, namun menu kopi jos sudah menjadi icon kuliner khas jogja yang harus di coba ketika kita berkunjung ke Yogyakarta. Hal tersebutlah yang membuat area ini tidak pernah sepi oleh pengunjung.

Angkringan Kopi Joss dulunya tidak hanya berada di jalan Wongsodirjan saja, tapi juga disepanjang jalan Mangkubumi. Berikut saya akan menuliskan pokok-pokok informasi yang berkaitan dengan keberadaan angkringan Kopi Joss yang saya dapat dari Bapak Cipto, selaku ketua Paguyuban Angkringan Kopi Joss.

Pak Cipto merupakan ketua Paguyuban Angkringan Kopi Joss yang sudah mengelola dan memberdayakan PKL Angkringan Kopi Joss selama 4 periode kepengurusan. Paguyuban Angkringan Kopi Joss ini belum lama didirikan, kepengurusannya pun dilakukan secara sukarela.

Jumlah keseluruhan pedagang kaki lima yang ada di sepanjang Jalan Wongsodirjan adalah sebanyak 13 lapak PKL. Lapak angkringan yang berada di sepanjang jalan Mangkubumi itu dilarang dan kemudian direlokasikan di daerah Wongsodirjan. Memang sejarah awalnya angkringan Kopi Joss adalah berada di sepanjang jalan Mangkubumi namun demi program pembenahan tata kota, maka ada kebijakan untuk memindahkan atau merelokasi PKL ke Jalan Wongsodirjan.

Melihat potensi kawasan Wongsodirjan dan pesona angkringan Kopi Joss, Pak Cipto selaku ketua paguyuban mengusulkan untuk menjadikan kawasan itu sebagai kawasan wisata. Dan konon rencana atau isu ini mendapat respon positif dari pemerintah Walikota Sosromendur. Kelurahan Sosromendur sendiri merupakan kelurahan yang berbasiskan pariwisata.

Demi menghormati peraturan lalu lintas dan kenyamanan pengguna jalan maka seperti yang tercantum dalam peraturan adalah bahwa PKL harus bersih pada siang hari. Tenda atau lapak yang didirikan di trotoar pun memakai sistem bongkar pasang. Lapak PKL hanya boleh didirikan pada sisi sebelah selatan, sisi sebelah utara yang terdapat plang dilarang berjualan hanya boleh dipakai sebagai lesehan saja, tapi toh itu sama saja mengganggu pengguna jalan. Ada satu PKL yang mempunyai lapak di sisi utara karena memakai halaman pribadi si pemilik.

Mengingat kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata, budaya, kawasan dan kuliner khas Yogyakarta pasti selalu menjadi target utama wisatawan. Mengingat kopi jos adalah salah satu kuliner khas jogja pemerintah telah mengeluarkan PERWAL NO.45 TAHUN 2007 BAB VIII PASAL 24(1) untuk merelokasi pedagang kopi jos yang berada di kawasan jalan mangkubumi bagian barat untuk di pindahkan ke jalan Wongsodirjan yang terletak di utara stasiun tugu.

Mengingat pentingnya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dan wisata, pemerintah kota mencoba menata PKL kopi jos ke jalan Wongsodirjan. Penggunaan trotoar untuk tempat relokasi masih menjadi sorotan. Belum adanya lahan yang cukup luas untuk menampung kurang lebih 13 PKL kopi jos, menjadikan trotoar sebagai opsi sementara. Namun hanya bagian selatan saja yang boleh digunakan sebagai area berjualan.

Keterbatasan lahan dan konsep sederhana yang selalu menjadi ciri khas kota jogja, dimana setiap sudut kota jogja selalu dapat kita temui angkringan sederhana. Hal ini menjadi penting untuk tetap mempertahankan kesederhanaan Yogyakarta sebagai identitas kota wisata yang kaya akan budaya dan kuliner khasnya.


2. Analisis

img-20171025-wa0009-59f01c9ac226f91a6c14f213.jpg
img-20171025-wa0009-59f01c9ac226f91a6c14f213.jpg

Tidak dipungkiri bahwa Kopi Jos merupakan salah satu wisata kuliner yang paling diminati para wisatawan, melihat banyaknya pengunjung, terutama dihari libur, di Angkringan Kopi Jos. Kopi Jos sendiri sudah terbranding menjadi kunjungan wajib ketika berlibur ke Yogyakarta. Angkringan Kopi Jos termasuk sebagai pedagang kaki lima, yang menjadikan trotoar sebagai tempat paling strategis dalam berjualan. Berada ditengah kota, di dekat Malioboro, tempat wisata paling fenomenal sejak dulunya di Yogyakarta, melihat adanya potensi yang dimiliki saat berjualan di trotoar ini.

Diketahui terdapat 13 angkringan di trotoar mangkubumi, dan terus bertambah. Jumlah pengunjung atau wisatawan yang berbelanja bisa di bilang tidak sedikit. Adanya angkringan ini sangat mebantu perekonomian masyarakat yang masuk dalam golongan UMKM. Banyaknya konsumen menjadikan semakin banyaknya permintaan pasar menjadikan bergeraknya Ekonomi masyarakat. Usaha masyarakat ini biasanya di isi dalam bentuk kongsi dagang jadi varian makanan yang di jual rata-rata adalah titipan dari mitra kerjanya atau memberadayakan masyarakat sekitar. Jadi yang dilibatkan dalam penjualan atau perekonomian ini menyangkut banyak orang.

Menurut UU No. 10 Thn 2009, Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Hal ini menjadikan suatu penguat para pedagang kaki lima dalam penggunaan trotoar sebagai tempat berjualan, karena startegis dan berpotensi banyaknya pengunjung dalam melakukan transaksi jual beli dengan penjual.

Tidak lupa pula dengan UU No. 28 Thn 2009, perihal pemerintah berhak dan berkewajiban mengenakan pungutan kepada masyarakat. Hal ini juga menjadi suatu pegangan bagi pedagang di trotoar yang beranggapan mereka sudah melakukan kewajiban, yaitu membayar pungutan dari petugas pemerintahan. Dan disini pemerintah juga tidak bersalah, karena pedagang ini menggunakan haknya dalam menempatkan dagangannya di tempat yang strategis untuk membantu kelancaran dalam berjualan, yang dapat meningkatkan potensi pemasukan bagi masyarakat dan pemerintah itu sendiri.

Letak permasalahan bukan pada Angkringan Kopi Jos, karena keberadaan Angkringan ini memberikan dampak yang multiplier effect. Namun terletak pada juru parkir yang meletakan kendaraan pengunjung dipinggir jalan.  Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan ("PP 34/2006"), Trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di antara fasilitas-fasilitas lainnya yaitu: lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Dan terdapat sanksi bagi penyalahgunaan trotoar. Nah, sanksi itu hanya diberikan kepada si penyalahguna yang mengganggu pejalan kaki, selama pejalan kaki itu tidak terganggu dan merasa diambil haknya sanksi itu tidak berlaku. Dan keberadaan angkringan ini tidak mengganggu atau merebut hak pejalan kaki, karena keberadaan angkringan ini hanya dimalam hari, dan masih ada ruang yang cukup untuk pejalan kaki dalam menggunakan ruangnya.


3. Solusi

Masalah Pedagang Kaki lima tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini selalu muncul  dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan kerapihan kota atau kita kenal dengan istilah 3K, oleh karena itu PKL seringkali menjadi target utama kebijakan -- kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.

 Namun untuk kali ini kita membahas PKL angkringan kopi jos yang berada di jalan Wongsodirjan. Yang mana para PKL ini adalah hasil relokasi pemerintah kota yang masih menjadi sorotan. Karna belum adanya lahan yang cukup luas untuk menampung kurang lebih 13 PKL kopi jos, menjadikan trotoar di jalan wongsodirjan sebagai opsi paling tepat untuk sementara ini. Namun memang masih ada juru parkir  yang menggunakan jalan sebagai tempat parkir pengunjug. Ini merupakan salah satu permasalahannya.

Penggunakan trotoar sebagai relokasi PKL itu tidak salah, Karena letaknya yang strategis dan berpotensi. dan tidak terlalu mengganggu pengguna jalan, sebab angkringan dibuka di malam hari, jadi pagi hingga siang trotoar digunakan sesuai dengan fungsinya. 

Solusinya adalah jalan tersebut lebih baik jika para juru parkir mengatur kendaraan yang parkir lebih tegas mengarahkan para pengunjung untuk memarkirkan kendaraannya ke parkiran yang sudah di sediakan yaitu di parkiran Abu bakar ali dan bekas gedung xl yang berada di jalan wongsodirjan. Kemudian pemerintah juga perlu meningkatkan ketegasan dalam melaksanakan peraturan untuk memarkirkan kendaraan pengunjung di tempat parkir yang telah di sediakan.

Kemudian dari segi Mahasiswa DKV, peran yang bisa dilakukan adalah mensosialisasikan lewat video yang menyorot wisata kuliner Angkringan Kopi Joss utara setasiun Tugu Yogyakarta dengan mengangkat kesederhanaan Angkringan, tanpa merubah tampilan lapak yang merakyat. Menambahkan Sign Systemuntuk mengarahkan pengunjung ke lahan parkir yang telah disediakan juga perlu dibuat, agar keamanan dan ketertiban lalu lintas dapat terjaga.


4. Teori Pendukung

a. Teori Sosiologi Pariwisata

Kopi Jos sebagai salah satu respon dari pariwisata yang sangat padat di Yogyakarta merupakan dampak sosial ekonomi seperti yang ada dalam buku Sosiologi Pariwisata, Pitana dan Gayatri (2005) mengatakan bahwa semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukan bahwa pembangunan pariwisata pada satu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak keuntungan badan usaha milik pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah dan sebagainya.

Teori tersebut mengatakan bahwa multiplier effect ini merupakan efek dari pariwisata yang ada, selin itu kopi jos sendiri sudah tertanam sebagai salah satu objek pariwisata yang harus didatangi pada kota Yogyakarta karena sejarah dan ciri khas nya.

b. Teori Kebudayaan dan Pembangunan

Berangkat dari kebiasaan kecil untuk berkumpul, dan minum kopi bersama kopi jos sendiri menjadi kebiasaan sendiri yang ada dalam ruang lingkup masyarakat, dalam buku Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia yang disunting oleh Nat J.Collerta dan Umar Kayam (1987) mengatakan bahwa terdapat tiga alasan yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan media yang membuat suksesnya pembangunan, berikut adalah alasan tersebut;

1) Unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang menjadi sasaran program pembangunan.

2) Unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari penduduk setempat.

3) Unsur-unsur budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang terwujud maupun yang terpendam) yang sering menjadikannya sarana paling berguna untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak pada perukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud saja.

4) Jika dilihat dari teori ini, budaya ngopi ini membawa banyak obrolan orang-orang yang membawa pada banyak kemajuan pembangunan dan lain-lain.

c. Teori Post Kolonialisme

Post-kolonialisme merupakan periode setelah kolonialisme berakhir. Post-kolonialsme mulai dikenal pada tahun 1961 melalui tulisan Orientalism karya Edward Said dan The Wretched of The Earth karya Frantz Fanon, yang merupakan bentuk aspirasi dalam memberantas kolonialisme. Post-kolonialisme tumbuh subur ketika pergerakan anti kolonialisme begitu marak dilakukan. Dalam konteks Hubungan Internasional, post-kolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan terhadap teori mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik dan negara. Ada aspek-aspek penting selain ketiga hal tersebut yakni aspek kultural dan kemanusiaan, terutama pasca kolonialisme. Post-kolonialisme menyatakan bahwa kebodohan dan kemiskinan merupakan akibat kolonisasi, kemajuan negara koloni tidak terlepas dari sumbangsih negara jajahan (Wardhani 2013). Tujuan pengembangan teori postkolonialisme ini sendiri adalah untuk melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi budaya (Grovogui 2007). Kaum post-kolonialisme mendambakan adanya tatanan dunia yang lebih baik setelah kolonialisme berakhir. Tatanan dunia yang lebih baik ini didorong melalui adanya self determination dan decolonization.

Kolonialisme meninggalkan warisan budaya di negara jajahan. Contohnya adalah penggunaan jas di Indonesia sebagai pakaian resmi dalam berbagai acara. Jas adalah pakaian dari Eropa yang kerap digunakan karena cuaca di Eropa memang dingin. Sayangnya di Indonesia ini diaplikasikan mentah-mentah. Dalam kondisi tropis pun jas tetap dipakai. Warisan budaya ini tidak hanya dalam cara berpakaian, tapi juga dalam cara makan, life style bahkan pola pikir. Warisan kolonialisme semacam inilah yang ingin dihapuskan oleh post-kolonialisme.

Pada masa penjajahan Eropa muncul istilah The Man dan The Native. The Man merujuk pada ras kaukasoid bangsa Eropa, sedangkan The Native merujuk pada bangsa yang bukan merupakan ras kaukasoid. The Man menganggap diri mereka adalah ciptaan terbaik sehingga berhak untuk menguasai The Native. Post-kolonialisme menolak pembagian golongan ini karena hal pembagian ini dianggap sebagai penyelewengan kekuasaan oleh Eropa dan merupakan suatu tindakan tidak manusiawi melalui marginalisasi golongan tertentu.

Post-kolonialisme berfokus pada tiga hal yakni power, identitas dan perlawanan. Definisi power atau knowledge dalam pandangan post-kolonialisme lebih luas, tidak hanya sekedar kekuatan militer dan ekonomi semata. Kemampuan negara dalam power atau knowledge berbanding lurus dengan kemampuan negara tersebut untuk melakukan ekspansi terhadap negara lain. Identitas merupakan kategorisasi atas Barat-Timur, Utara-Selatan, The Man-The Native, Penjajah-Terjajah. Kategorisasi ini kemudian membangun interpretasi golongan tertentu bahwa memang sudah takdir mereka untuk dijajah. Interpretasi semacam inilah ayng kemudian digunakan para penjajah untuk terus melakukan ekspansi. Perlawanan merupakan wujud dari ketidakpuasan atas segala bentuk penjajahan, ketika dampak dari kolonialisme begitu nyata dirasakan.

Post-kolonialisme menyuarakan adanya emansipasi negara atas pengaruh kolonialisme. Kebebasan dan politik adalah dua hal yang menjadi sorotan post-kolonialisme. Kedua aspek tersebut hendaknya dimiliki oleh negara yang telah dinyatakan merdeka dari apapun (Grovogui 2007). Grovogui menyatakan bahwa post-kolonialisme mengarahkan negara untuk melakukan self determintion. Self determination mendorong adanya kebebasan berpolitik dalam Hubungan Internasional.

5. Referensi

a. Perspektif Kebijakan Negara bermain di Arena PKL Kopi Joss

Artikel Kompasiana yang ditulis oleh Wuri Puspita (2015) mengatakan bahwa gereget masyarakat PKL di angkringan kopi joss yang taat aturan dan sadar bahwa mereka harus berani bersuara dan juga dari sisi pemerintah yang mau mendengarkan keluh kesah PKL menciptakan proses kebijakan yang demokratis. Relokasi merupakan salah satu penyelesaian masalah yang sukses dan berjalan saling menguntungkan. Untuk pengambilan kebijakan selanjutnya pun pemerintah dan PKL masih menjalin relasi demi menciptakan daerah wisata Angkringan Kopi Joss sebagai icon Kota Yogyakarta.

Kebijakan Relokasi bisa dibilang memang sukses sebagai kebijakan yang ternyata saling menguntungkan, namun kritik saya dari lapangan PKL kopi joss adalah pemerintah masih setengah-setengah dalam membuat kebijakan. Kebijakan besar seperti tata kota yang kemudian melahirkan relokasi memang bagus, tapi kemudian masalah-masalah sepele menjadi dilupakan seperti peraturan penggunaan trotoar kemudian masalah kesemrawutan parkir masih belum terselesaikan. Sekali lagi walaupun fenomena PKL ini telah menghasilkan kebijakan namun masih ada satu PKL nakal dimana belum beranjak dari tempat mangkalnya di Jalan Mangkubumi, namun dengan kebijakan pemerintah untuk memberi tenggang waktu sampai November tahun ini sebenarnya saya tidak setuju karena memberi kesan pemerintah terlalu lunak.

Pesan dari kinerja actor-aktor dalam lingkup Angkringan kopi joss ini adalah untuk PKL sangat baik dan mau koorperatif dengan aturan yang ada juga sadar akan pentingnya dirinya untuk ikut duduk berunding di kecamatan membicarakan masa depannya bersama Pemerintah yang dalam hal ini sangat bijak dan memihak rakyat karena menyelamatkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

b. Privatisasi Ruang Publik di Kawasan Wisata Waduk Gajah Mungkur Wonogiri

Artikel lain yang ditulis dalam website Radar Planologi mengatakan bahwa banyak masalah-masalah yang ada di area Waduk Gajah Mungkur, terlebih area pintu masuk Waduk Gajah Mungkur. Masalah-masalah tersebut antara lain kurangnya tempat sampah bagi pengunjung di area tersebut, kurangnya lampu penerangan di are ini sehingga bila malam hari ini tiba area ini hanya remang-remang, kurangnya keamanan di area yang sering digunakan area parkir pengunjung. Oleh sebab itu warga Wonogiri beserta pemerintah Kabupaten Wonogiri perlu mencari solusi dari permasalahan yang kita hadapi agar fungsi waduk Gajah Mungkin selalu maksimal, keadaan area pintu waduk tetap bersih dan tidak semrawut. Langkah-langkah penataan waduk Gajah Mungkur tersebut antara lain:

1) Keadaan Waduk Gajah Mungkur harus selalu dalam batas layak dan terkontrol dengan baik terutama keadaan debet air.

2) Penambahan sarana-prasarana seperti kotak sampah bagi penunjung dan lampu penerangan jalan di area pintu air waduk Gajah Mungkur.

3) Peningkatan keamanan di area pintu air waduk Gajah Mungkur terlebih pada area yang sering digunakan sebagai tempat parkir pengunjung.

4) Lingkungan harus tertata rapi dan menarik sehingga tetap menjadi daya tarik bagi para wisatawan waduk Gajah Mungkur.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Keberadaan PKL di jalan wongsodirjan tidaklah mengganggu ataupun merebut hak pejalan kaki. Mengapa begitu, karena angkringan Kopi Jos hanya dibuka dimalam hari, sehingga fungsi trotoar di pagi hingga sore digunakan sesuai fungsinya. Di malam hari pun, penggunaan trotoar sebagai relokasi PKL tidak memakan semua jalan trotoar itu sendiri atau disebut juga makan tempat, masi ada ruang bagi pejalan kaki, sehingga tidak mengganggu atau merebut hak pejalan kaki.

Jadi, disini terlihat bahwa terbagi rata hak- hak, baik pengguna jalan maupun pedagang. Karena keberadaan angkringan juga memberikan dampak positif dan juga yang diharapkan, dan berpotensi untuk meningkatkan pemasukan masyarakat juga pemerintah, dan meningkatkan nilai jual pariwisata suatu daerah. Yang menjadi suatu masalah adalah parkir pengunjung yang tidak diletakan di lahan parkir yang sudah disediakan. Kurang tegasnya peraturan, dan warga local yang menjadi juru parkir yang tidak mau menindak tegas adanya suatu pelanggaran disitu. Dan pula, harus adanya kesadaran bersama.

2. Saran

Saran yang bisa kita berikan untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan ketertiban bagi pengendara serta pejalan kaki adalah dengan membenahi masyarakat atau pengunjung, perlu diadakan campaign. Seperti memberikan promo untuk pengunjung yang parkir ditempat yang telah disediakan dengan memberikan karcis diskon sebagai reward parkir di tempat yang benar.
 

DAFTAR PUSTAKA

Colleta dan Kayam. 1987. Kebudayaan Dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Pitana dan Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

UU No. 10 Thn 2009.

UU No. 28 Thn 2009.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

PERDA KOTA YK NO.26 TAHUN 2002.

PERWAL KOTA NO. 45 TAHUN 2007.

WEBTOGRAFI

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt57dd257b700d7/pidana-bagi-pengendara-motor-yang-melewati-trotoar

https://www.kompasiana.com/wuripuspitasari/perspektif-kebijakan-negara-bermain-di-arena-pkl-kopi-joss_5500db1ea333119a72512239 (diakses pada tanggal 24 Oktober 2017)

http://www.radarplanologi.com/2015/11/privatisasi-ruang-publik-di-kawasan-wisata-waduk-gajah-mungkur-wonogiri.html (diakses pada tanggal 24 Oktober 2017)

http://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81376-THI-PostKolonialisme%20dan%20PostStrukturalisme.html (Ika Devi Hardianti, diakses pada tanggal 25 Oktober 2017)



Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta

DKV ISI Yogyakarta

Tahun 2017/2018


Kelompok Pro Privatisasi: 

Atalya Ade Vena                      1412329024

Aulia Mareta Ratri                  1412308024

Ketut Nugraha Jati                  1412317024

Muhammad Fahmi Ihsan       1412323024

Sudi Anang Triana                  1410113124

Teguh Sulistio                         1412309024

Zulhilmi Ilmam Ahmadin      1412328024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun